Abah Uca

Sabtu, 10 April 2010

Antrian Minyak Tanah : Dikdik Dahlan L.

Sejak sekitar pukul 05.00 shubuh, ada sekitar lima belas orang mengantri di depan sebuah pangkalan minyak tanah. Masing – masing tangannya menenteng kompan atau jeriken kosong. Ada yang membawa dua, tiga bahkan lebih. Hampir tidak ada satupun yang hanya membawa satu kompan. Masing – masing tetap pada posisinya, sesuai dengan urutan kedatangan. Bahkan, agar posisinya tidak ditempati orang lain, sudah dua kali seorang ibu memanggil anaknya untuk menggantikannya berdiri di posisinya, selama buang hajat dan memandikan salah seorang putranya.
Mereka sengaja mengantri untuk sekedar berjaga-jaga dari kemungkinan lenyapnya minyak tanah di pasaran menyusul kenaikan harga BBM. Mereka mengaku, sengaja mengantri bukan untuk menimbun, tapi sekedar menyimpan “persediaan”, dari pada tidak bisa menanak nasi. Mereka sengaja mengantri sejak pagi hari, karena tahu kalau BBM akan naik dan secara kebetulan, semalam, sekitar pukul 23.00 pangkalan milik Pak Haji mendapat droping minyak tanah.
Pukul 07.00 teng, salah seorang pembantu Pak Haji membuka pintu. Antrian merangsek, dan tanpa diduga, lima menit kemudian jumlah antrian itu bertambah sekitar tiga kali lipat. Ada bocah, ada ibu – ibu, dan bahkan ada yang lanjut usia. Antriannya rapi, tidak berdesak-desakan, apalagi berlomba dan saling berebut posisi. Maklum mereka sama- sama satu kampung.
Pembantu Pak Haji, ternyata tidak sendiri. Ia ditemani dua orang karyawan lainnya untuk membuka dan sekaligus berbenah warung tempat selama ini mereka bekerja. Seperempat jam kemudian mulailah ketiganya melayani antrian. Sementara Pak Haji sendiri, dari luar hanya terlihat kopiah putihnya saja. Ia duduk di depan laci, dan bertindak sebagai kasir. Satu persatu antrian dilayani sesuai pesanan dan permintaan, kemudian membayar melalui tangan Pak Haji.
Giliran Abah Uca, tetangga Pak Haji yang hanya terhalang tiga rumah di belakang warungnya. Ia membawa tiga buah jeriken dan satu kompan. Ketika ia ditanya oleh pelayan berapa liter minyak yang akan dibelinya, Abah Uca menggelengkan kepala.
“Lalu Abah mau apa ?” susul pelayan
“Abah mah hanya mau jual jeriken-jerikan dan kompan ini”
“Kenapa dijual ?”
“Hasil dari penjualan jeriken ini langsung akan saya belikan beras dan ikan asin kepada Pak Haji”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar