Setelah selama enam hari bergelut dengan setumpuk pekerjaan teriring sekian persoalan yang datang silih berganti, setiap Sabtu siang selalu menyempatkan diri pulang kampung menengok keluarga. Kurang lebih empat jam lamanya waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak dari Bandung ke rumah mertua dan selalu menyisakan rasa capek serta pegal linu di beberapa persendian. Satu kali jalan, paling tidak harus empat kali berganti kendaraan roda empat plus satu kali naik ojeg.
Sudah lebih dari empat tahun hal itu dijalani terhias suka-duka. Di satu sisi, tersimpan satu kebanggaan karena si kecil yang baru berusia tiga setengah tahun itu selama ini dibesarkan di tengah keakraban dengan alam pegunungan, bersama hijaunya rerumputan, bersama nakalnya ayam, bebek, bahkan ikan di kolam pinggir rumah. Ia bahkan sekarang lebih pandai ketimbang ayahnya sendiri berlari di pematang sawah. Di lain sisi, terbesit perasaan berdosa karena dalam seminggu, sebagai seorang ayah hanya mampu menyisakan waktu selama satu hari dua malam untuk bercengkrama.
Setiap Sabtu sore atau sudah masuk dalam kegelapan malam, bila ada suara motor yang berhenti di depan rumah, si kecil pasti berlari dan memastikan bahwa yang turun dari ojeg itu adalah ayahnya. Ia menghampiriku, menyalamiku, kemudian aku memangku dan memeluknya. Ia tersenyum, dan sekejap saja kami sudah terlibat dalam obrolan antara seorang ayah dengan anaknya. Sesekali kalau aku membawa sesuatu, ia pasti akan bertanya tentang apa yang dibawa, dan untuk siapa bawaan itu. Sekejap saja, rasa capek dan pegal linu setelah empat jam perjalanan, setelah enam hari memeras otak dan tenaga di tempat kerja hilang di balik senyum mungil si kecil yang selama dalam pangkuanku ia bercerita tentang layangannya yang putus, tentang pedangnya yang patah, atau tentang pensil dan penghapusnya yang minta diganti karena hilang. Beberapa kali air mata ini sempat berlinang sekalipun selalu berhasil kusembunyikan dihadapannya. Itulah barangkali, bukti bahwa anak adalah perhiasan kehidupan, sehingga tenaga dan pikiran, lelah dan kantuk sering hilang dengan sendirinya ketika si kecil melempar senyum dan menyapa dengan kelembutannya. Hanya saja, kita sering lupa kalau kita pernah kecil seperti si kecil sekarang yang selalu menumbuhkan kebanggaan, membesarkan hati, memompa semangat bahkan menjadi pelepas dahaga orang tua. Karena keangkuhan, ketakaburan dan berlindung dari “kesibukan” sering kita lupa akan tugas kita untuk mengembangkan senyum orang tua yang sudah mulai renta. Bahkan sering pula kita dengan sengaja tak mau mendengar sekedar cerita atau keluhan orang tua yang dilontarkanya secara terbata-bata.
“Robighfirli wa liwalidaya warhamhuma kama robbayani shagira” do’a itulah yang diajarkan kepada si kecil beberapa hari ini kalau kebetulan ia minta uang jajan. Ia tak akan menerima uang recehan sebelum dengan lantang mengucapkan doa itu. Sengaja hal ini dipaksakan sejak dini kepada si kecil dengan harapan agar anaknya (cucuku) kelak pun pandai mendo’akannya, bukan sekedar senyum, bukan sekedar menyerahkan oleh-oleh setiap kali datang menjenguk, tapi lebih dalam lagi adalah ketulusan do’a dan pancaran kebahagiaan dari raut wajah orang tua sebagai imbas dari sikap untuk membahagiakannya. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin Bandung, saat usia anak cikalku berusia 3 tahun lebih)
Senin, 12 April 2010
Pengaduan : Dikdik Dahlan L
Ketika tulisan ini sampai di tangan para pembaca, saya tepat berusia 41 tahun. Tanggal yang disebut sebagai tanggal kelahiran saya itu sebenarnya bukan tanggal yang pasti karena di ijazah Sekolah Dasar, dulu tertulis 12 Juni kemudian di rubah menjadi 13 Juli sekedar untuk menyeragamkan dengan ijazah SLTP, SMU bahkan Sertifikat Taman Kanak-kanak. Sedangkan ayah saya semasa hidupnya berkeyakinan bahwa tanggal kelahiran saya adalah tanggal 11 Juni.
Kenangan masa kanak-kanak sering menjadi hiasan indah dalam kehidupan seseorang. Bagi saya, kebahagiaan itu mungkin sedikit terbatasi karena harus bergelut dengan sebuah penyakit yang menyerang selama kurang lebih tiga tahun. Namun demikian, seperti anak-anak lainnya saya sempat menikmati bermain petak umpet, berlari menelusuri gang-gang, atau bahkan bertengkar, beradu mulut dan biasanya berakhir dengan tangisan.
Ada yang menarik dan sering harus tertawa sendiri kalau mengingat pertengkaran di antara kami, sewaktu masih tergolong ingusan. Waktu itu, kalau bertengkar, biasanya kami menyebut seseorang atau sesuatu yang dijadikan tempat pengaduan dan kemudian lawan bicara pun akan mencari tempat pengaduan yang lebih tinggi, lebih disegani dan lebih ditakuti. Bila lawan bicara menyebut kakaknya sebagai tempat pengaduan, maka saya akan menyebut ayah sebagai tempat pengaduan, kemudian si lawan bicara pun mencari pengaduan yang sekiranya dapat mengalahkan ayah.
“Sok, bejakeun siah ka pulisi (saya adukan kamu ke polisi)”
Mendengar polisi yang menjadi tempat pengaduannya maka saya akan berkata : “Keun bae, bejaken wae ka tentara ! (enggak masalah, saya adukan saja kamu ke tentara !)”
“Sok, abdi mah rek bebeja wae ka Presiden ! (Silahkan, saya akan mengadukan kamu kepada presiden !)”.
Dalam benak kami, anak-anak ingusan saat itu, presiden adalah orang yang paling tinggi, paling disegani, dan tidak ada manusia lain yang bisa menandinginya. Polisi, maupun tentara saja yang dilengkapi dengan berbagai senjata sekalipun, tetap harus tunduk kepada perintah presiden. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali membawa nama tuhan :
“Keun bae, bejakeun wae ka Allah (enggak masalah, saya adukan saja kamu kepada Allah !)”
Mendengar Allah yang dijadikan tempat pengaduan, kontan anak yang menjadi lawan pertengkaran terdiam dan biasanya langsung menangis. Allah, dalam pandangan kami yang masih ingusan waktu itu, adalah Dzat yang paling tinggi, paling perkasa, paling berkuasa, dan tidak mungkin ada sesuatu pun yang mampu melebihi kebesaran, dan keperkasaan-Nya. Dalam pandangan kami, segala kehendak dan keputusan Allah tidak mungkin dapat dicegah atau ditolak oleh hamparan laut yang luas, oleh gunung yang berdiri kokoh, oleh gajah yang kami kenal sebagai hewan terbesar, termasuk oleh seorang presiden yang polisi dan tentara saja tunduk kepadanya.
Tapi itu dulu, kurang dari tiga puluh tahun silam. Sekarang, tahun 2001 ini, polisi sudah berani “membangkang” kepada presiden, dan sang presiden pun mulai berani protes pada Tuhan. Jadi, kalau dulu anak yang bertengkar setelah mendengar Allah sebagai tempat pengaduan menangis, saya khawatir anak-anak sekarang malah tertawa dan dia bilang : “Ah, teu sieun ku Allah ayeuna mah, bejakeun wae ka Gus Dur (Ngapain, sekarang udah kagak takut lagi sama Allah, saya adukan kamu ke Gus Dur)”
Kenangan masa kanak-kanak sering menjadi hiasan indah dalam kehidupan seseorang. Bagi saya, kebahagiaan itu mungkin sedikit terbatasi karena harus bergelut dengan sebuah penyakit yang menyerang selama kurang lebih tiga tahun. Namun demikian, seperti anak-anak lainnya saya sempat menikmati bermain petak umpet, berlari menelusuri gang-gang, atau bahkan bertengkar, beradu mulut dan biasanya berakhir dengan tangisan.
Ada yang menarik dan sering harus tertawa sendiri kalau mengingat pertengkaran di antara kami, sewaktu masih tergolong ingusan. Waktu itu, kalau bertengkar, biasanya kami menyebut seseorang atau sesuatu yang dijadikan tempat pengaduan dan kemudian lawan bicara pun akan mencari tempat pengaduan yang lebih tinggi, lebih disegani dan lebih ditakuti. Bila lawan bicara menyebut kakaknya sebagai tempat pengaduan, maka saya akan menyebut ayah sebagai tempat pengaduan, kemudian si lawan bicara pun mencari pengaduan yang sekiranya dapat mengalahkan ayah.
“Sok, bejakeun siah ka pulisi (saya adukan kamu ke polisi)”
Mendengar polisi yang menjadi tempat pengaduannya maka saya akan berkata : “Keun bae, bejaken wae ka tentara ! (enggak masalah, saya adukan saja kamu ke tentara !)”
“Sok, abdi mah rek bebeja wae ka Presiden ! (Silahkan, saya akan mengadukan kamu kepada presiden !)”.
Dalam benak kami, anak-anak ingusan saat itu, presiden adalah orang yang paling tinggi, paling disegani, dan tidak ada manusia lain yang bisa menandinginya. Polisi, maupun tentara saja yang dilengkapi dengan berbagai senjata sekalipun, tetap harus tunduk kepada perintah presiden. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali membawa nama tuhan :
“Keun bae, bejakeun wae ka Allah (enggak masalah, saya adukan saja kamu kepada Allah !)”
Mendengar Allah yang dijadikan tempat pengaduan, kontan anak yang menjadi lawan pertengkaran terdiam dan biasanya langsung menangis. Allah, dalam pandangan kami yang masih ingusan waktu itu, adalah Dzat yang paling tinggi, paling perkasa, paling berkuasa, dan tidak mungkin ada sesuatu pun yang mampu melebihi kebesaran, dan keperkasaan-Nya. Dalam pandangan kami, segala kehendak dan keputusan Allah tidak mungkin dapat dicegah atau ditolak oleh hamparan laut yang luas, oleh gunung yang berdiri kokoh, oleh gajah yang kami kenal sebagai hewan terbesar, termasuk oleh seorang presiden yang polisi dan tentara saja tunduk kepadanya.
Tapi itu dulu, kurang dari tiga puluh tahun silam. Sekarang, tahun 2001 ini, polisi sudah berani “membangkang” kepada presiden, dan sang presiden pun mulai berani protes pada Tuhan. Jadi, kalau dulu anak yang bertengkar setelah mendengar Allah sebagai tempat pengaduan menangis, saya khawatir anak-anak sekarang malah tertawa dan dia bilang : “Ah, teu sieun ku Allah ayeuna mah, bejakeun wae ka Gus Dur (Ngapain, sekarang udah kagak takut lagi sama Allah, saya adukan kamu ke Gus Dur)”
Hati dan Lidah : Dikdik Dahlan L.
Alkisah seseorang dipanggil oleh majikannya. Ia disuruh untuk menyembelih seekor kambing. Lalu majikannya berkata : “Pilihkan bagiku bagian mana dari tubuh kambing itu yang paling baik !”
Setelah menyembelih kambing, sebagaimana titah majikannya tadi, ia menyuguhkan hati dan lidah kambing untuk sang majikan.
Entah apa yang dilakukan si majikan setelah menerima kedua bagian tubuh kambing itu. Selang beberapa hari, si majikan kembali meminta untuk disembelihkan lagi seekor kambing, dan berkata lagi : "Sekarang, pilihkan bagiku bagian yang paling buruk dari tubuh kambing itu !”
Kambing kedua disembelih lagi sebagaimana titah majikannya, lalu kembali ia menyerahkan hati dan lidah kambing kepada majikannya.
Melihat apa yang disuguhkan di hadapannya, muka si majikan terlihat sedikit memerah menahan amarah, lalu ia memanggil orang yang menyuguhkan hati dan lidah sekaligus penyembelih kambing tadi.
“Telah lama engkau bersamaku, mengapa hari ini engkau berani mempermainkanku ?”
“Ampun tuanku, sudikah tuan menjelaskan apa sebenarnya dosa yang telah saya perbuat ?”
“Beberapa hari yang lalu saya menyuruh engkau menyembelih kambing dan meminta agar engkau menunjukkan dua bagian tubuh kambing yang paling baik. Engkau menyerahkan hati dan lidah kambing kepadaku. Tapi ketika aku menyuruh hal yang sama dan sekarang engkau kupinta untuk memilihkan bagian tubuh yang paling buruk, engkau kembali menyerahkan hati dan lidah kambing seperti yang kau serahkan kepadaku beberapa hari yang lalu. Bukankah ini bukti bahwa engkau telah mempermainkan aku ?” si majikan menjelaskan kekesalannya.
“Ampun tuanku, dalam pandangan saya, hati dan lidah adalah sebaik-baiknya bagian tubuh seseorang, tetapi bisa juga menjadi bagian terburuk dari tubuh seseorang. Kebaikan dan keburukan seseorang sangat bergantung kepada apa yang tersirat dalam hatinya. Kebaikan dan keburukan lidah seseorang, sebagaimana hatinya, lidah pun sangat mempengaruhi kebaikan, keburukan bahkan keselamatan si pemilik lidah. Tidak sedikit orang yang meninggalkan shalat berjama’ah dan memilih munfarid hanya karena “tidak suka” kepada imam. Tidak sedikit pula orang yang terbunuh akibat tidak bisa menjaga lidah”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Setelah menyembelih kambing, sebagaimana titah majikannya tadi, ia menyuguhkan hati dan lidah kambing untuk sang majikan.
Entah apa yang dilakukan si majikan setelah menerima kedua bagian tubuh kambing itu. Selang beberapa hari, si majikan kembali meminta untuk disembelihkan lagi seekor kambing, dan berkata lagi : "Sekarang, pilihkan bagiku bagian yang paling buruk dari tubuh kambing itu !”
Kambing kedua disembelih lagi sebagaimana titah majikannya, lalu kembali ia menyerahkan hati dan lidah kambing kepada majikannya.
Melihat apa yang disuguhkan di hadapannya, muka si majikan terlihat sedikit memerah menahan amarah, lalu ia memanggil orang yang menyuguhkan hati dan lidah sekaligus penyembelih kambing tadi.
“Telah lama engkau bersamaku, mengapa hari ini engkau berani mempermainkanku ?”
“Ampun tuanku, sudikah tuan menjelaskan apa sebenarnya dosa yang telah saya perbuat ?”
“Beberapa hari yang lalu saya menyuruh engkau menyembelih kambing dan meminta agar engkau menunjukkan dua bagian tubuh kambing yang paling baik. Engkau menyerahkan hati dan lidah kambing kepadaku. Tapi ketika aku menyuruh hal yang sama dan sekarang engkau kupinta untuk memilihkan bagian tubuh yang paling buruk, engkau kembali menyerahkan hati dan lidah kambing seperti yang kau serahkan kepadaku beberapa hari yang lalu. Bukankah ini bukti bahwa engkau telah mempermainkan aku ?” si majikan menjelaskan kekesalannya.
“Ampun tuanku, dalam pandangan saya, hati dan lidah adalah sebaik-baiknya bagian tubuh seseorang, tetapi bisa juga menjadi bagian terburuk dari tubuh seseorang. Kebaikan dan keburukan seseorang sangat bergantung kepada apa yang tersirat dalam hatinya. Kebaikan dan keburukan lidah seseorang, sebagaimana hatinya, lidah pun sangat mempengaruhi kebaikan, keburukan bahkan keselamatan si pemilik lidah. Tidak sedikit orang yang meninggalkan shalat berjama’ah dan memilih munfarid hanya karena “tidak suka” kepada imam. Tidak sedikit pula orang yang terbunuh akibat tidak bisa menjaga lidah”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Semangat Hijrah : Dikdik Dahlan L.
Begitu monumentalnya kejadian hijrah Nabi sehingga kejadian ini dijadikan tonggak pemberlakuan tahun hijriyah dan sekaligus mengalahkan pamor moment – moment lain yang dialami Nabi serta para shahabatnya, seperti waktu kelahiran Nabi, Nuzul Al – Qur’an, Isra Mi’raj, Perang Badar, Futh Makkah dan lain-lain. Kejadian hijrah Nabi menjadi awal pembangunan serta peletakkan sendi dan dasar pemberlakuan syariat Islam yang pada saat itu masih asing bahkan dianggap mengancam dan merusak tatanan kehidupan bangsa Quraisy yang dianggapnya sudah mapan. Karena itu kaum kufar Makkah selalu memburu Muhammad dan pengikutnya, sekalipun Rasulullah sudah berada di luar kota Makkah. Perang Badar, Perang Uhud dan serentetan pertempuran lainnya adalah bukti reaksi mereka terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi yang jelas-jelas bertolak belakang dengan nafsu mereka.
Agenda pertama dan utama yang dilakukan oleh Nabi sesampainya di Kota Yastrib adalah menjalin persaudaraan antara pendatang dan penduduk asli Yastrib, sekalipun istilah dan penyebutan tetap membedakannya; Muhajirin (untuk pendatang dari Makkah) dan Anshor (untuk penduduk asli Kota Yastrib). Keduanya dipersaudarakan oleh Rasulullah dan hidup rukun dibawah pimpinan serta pembinaan Nabi, karenanya kota ini kemudian disebut Madinatun-nabi (Medinah).
Persatuan dan persaudaraan inilah yang kemudian menjadi nafas kehidupan mereka, membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Lihatlah Salman Alfarisi, asalnya ia adalah seorang budak yang tidak lama setelah kejadian hijrah itu ia kemudian dimerdekakan oleh Rasulullah atas biaya bersama. Persaudaraan yang ditanamkan Rasulullah menumbuhkan kepercayaan diri Salman Al-Farisi untuk menyampaikan gagasan strategi perang. Nama Salman sampai saat ini masih harum dan dikagumi sekalipun jasadnya sudah terbujur kaku sejak empat belas abad yang lalu. Abdurrahman bin Auf, ia datang ke Medinah tanpa kekayaan sedikitpun. Tapi karena kepercayaan diri yang ditanamkan oleh Rasulullah, ia tidak meminta dibelas kasihani, ia hanya minta ditunjuki jalan ke pasar, dan dalam waktu yang singkat Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai salah seorang saudagar terkemuka. Demikian juga ketika genderang perang Badar ditabuh oleh kaum Quraisy, kepercayaan diri yang tumbuh dikalangan kaum muslimin menjadikannya mampu memukul mundur 1000 orang pasukan kaum Quraisy dan memaksanya pulang dengan kekalahan, kepedihan dan dendam membara, padahal kaum muslimin sendiri hanya berjumlah 313 orang, dengan kesiapan dan perlengkapan seadanya.
Kehidupan kaum Muslimin di Kota Medinah adalah awal kehidupan yang bersendikan syariat Islam yang sebenar-benarnya, terbebas dari perilaku jahiliyah yang salah satunya selalu menggantungkan diri kepada ramalan, spekulasi dan kepercayan yang tidak berdasar seperti tathoyur dan lain sebagainya. Kehidupan kaum muslimin di Kota Medinah adalah kehidupan yang selalu ditopang dengan kepercayaan diri, langkah rasional, sedia mau melakukan koreksi dan introspeksi disertai semangat tawakal sebagai ruh untuk melakukan inofasi dan kreasi.
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah engkau. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa merenungkan, melihat, menoleh ke masa lampau, supaya pengalaman masa lalu itu menjadi bekal untuk menyongsong masa depannya. Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang engkau kerjakan”
Insyirah : bila engkau telah selesai menunaikan sebuah tugas dan aktivitas, hendaklah engkau bengkit kembali dan sandarkanlah harapanmu pada Tuhanmu.
Agenda pertama dan utama yang dilakukan oleh Nabi sesampainya di Kota Yastrib adalah menjalin persaudaraan antara pendatang dan penduduk asli Yastrib, sekalipun istilah dan penyebutan tetap membedakannya; Muhajirin (untuk pendatang dari Makkah) dan Anshor (untuk penduduk asli Kota Yastrib). Keduanya dipersaudarakan oleh Rasulullah dan hidup rukun dibawah pimpinan serta pembinaan Nabi, karenanya kota ini kemudian disebut Madinatun-nabi (Medinah).
Persatuan dan persaudaraan inilah yang kemudian menjadi nafas kehidupan mereka, membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Lihatlah Salman Alfarisi, asalnya ia adalah seorang budak yang tidak lama setelah kejadian hijrah itu ia kemudian dimerdekakan oleh Rasulullah atas biaya bersama. Persaudaraan yang ditanamkan Rasulullah menumbuhkan kepercayaan diri Salman Al-Farisi untuk menyampaikan gagasan strategi perang. Nama Salman sampai saat ini masih harum dan dikagumi sekalipun jasadnya sudah terbujur kaku sejak empat belas abad yang lalu. Abdurrahman bin Auf, ia datang ke Medinah tanpa kekayaan sedikitpun. Tapi karena kepercayaan diri yang ditanamkan oleh Rasulullah, ia tidak meminta dibelas kasihani, ia hanya minta ditunjuki jalan ke pasar, dan dalam waktu yang singkat Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai salah seorang saudagar terkemuka. Demikian juga ketika genderang perang Badar ditabuh oleh kaum Quraisy, kepercayaan diri yang tumbuh dikalangan kaum muslimin menjadikannya mampu memukul mundur 1000 orang pasukan kaum Quraisy dan memaksanya pulang dengan kekalahan, kepedihan dan dendam membara, padahal kaum muslimin sendiri hanya berjumlah 313 orang, dengan kesiapan dan perlengkapan seadanya.
Kehidupan kaum Muslimin di Kota Medinah adalah awal kehidupan yang bersendikan syariat Islam yang sebenar-benarnya, terbebas dari perilaku jahiliyah yang salah satunya selalu menggantungkan diri kepada ramalan, spekulasi dan kepercayan yang tidak berdasar seperti tathoyur dan lain sebagainya. Kehidupan kaum muslimin di Kota Medinah adalah kehidupan yang selalu ditopang dengan kepercayaan diri, langkah rasional, sedia mau melakukan koreksi dan introspeksi disertai semangat tawakal sebagai ruh untuk melakukan inofasi dan kreasi.
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah engkau. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa merenungkan, melihat, menoleh ke masa lampau, supaya pengalaman masa lalu itu menjadi bekal untuk menyongsong masa depannya. Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang engkau kerjakan”
Insyirah : bila engkau telah selesai menunaikan sebuah tugas dan aktivitas, hendaklah engkau bengkit kembali dan sandarkanlah harapanmu pada Tuhanmu.
Serakah : Dikdik Dahlan L.
Menjelang maghrib, di sebuah sudut stasiun Kiara condong berkumpul tiga orang manusia berbeda usia. Dua diantara mereka adalah perempuan, satu berusia lanjut dan yang lainnya masih anak-anak. Kedua orang ini sepertinya pasangan seorang nenek dengan cucunya. Sedangkan satu orang lagi diperkirakan berumur antara 35 sampai 40 tahun, masih belia. Ia mengenakan pakaian wanita, memakai lipstik juga celak mata dan bersepatu hak tinggi. Tapi suara dan beberapa bagian tubuhnya tidak bisa ia sembunyikan dari identitas sebenarnya, laki-laki. Dari tadi, ia selalu memanggil dirinya dengan nama Rosa.
“Iih, hari ini mah Rosa sial. Masa cuma dapet delapan belas ribu perak”
“Emangnya Rosa pingin dapet berapa ?”
“Biasanya juga enggak kurang dari tiga puluh. Emang apes, ini hari mah. Ema sendiri dapet berapa ?”
“Kalau bagi ema mah, berapa pun sih, ya disyukuri saja. Wong, kita cuma minta – minta, kok. Modal kita mah cuma menahan malu”. Tangannya meraih kepala si cucu yang tengah terkantuk-kantuk, lalu disandarkannya di dadanya sendiri.
“Emangnya ema malu ?
“Dulu sih iya, tapi sekarang mah enggak. Nagapain pake malu segala, tuh banyak orang yang serakah, pada enggak malu…”
“Tapi, serakah itu bisa jadi maju lho “. potong rosa, centil. ”Contonya, dulu orang Belanda, ngapain mereka datang ke Indonesia kalau bukan di dorong oleh sifat keserakahan, lalu mereka menjajah kita. Nah, sekarang juga banyak orang yang sedang mencoba meneliti tentang kemungkinan hidup di beberapa planet selain bumi. Apa itu bukan serakah. Ema juga kalau lagi ngamen suka melihat orang-orang berdasi. Mereka itu juga sama engga cukup dengan yang dimilikinya sekarang. Sudah suaminya bekerja, istrinya bekerja juga, eeh di rumahnya buka juga warung. Malah di kantor mereka, masing-masing punya sampingan. Kita mah cuma ngamen, titik. Itupun dengan mengorbankan anak cucu yang sengaja tidak kita sekolahkan. Rosa yakin, kalau ema engga bawa cucu, pendapatan ema engga bakal segitu banyak. Jadi memang harus serakah ?”
“Aah, sudah. Bingung ema mah, pake ngomong-ngomong planet segala. Tuh keretanya sudah datang”.
(Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Buletin Gema Mujahidin - Bandung)
“Iih, hari ini mah Rosa sial. Masa cuma dapet delapan belas ribu perak”
“Emangnya Rosa pingin dapet berapa ?”
“Biasanya juga enggak kurang dari tiga puluh. Emang apes, ini hari mah. Ema sendiri dapet berapa ?”
“Kalau bagi ema mah, berapa pun sih, ya disyukuri saja. Wong, kita cuma minta – minta, kok. Modal kita mah cuma menahan malu”. Tangannya meraih kepala si cucu yang tengah terkantuk-kantuk, lalu disandarkannya di dadanya sendiri.
“Emangnya ema malu ?
“Dulu sih iya, tapi sekarang mah enggak. Nagapain pake malu segala, tuh banyak orang yang serakah, pada enggak malu…”
“Tapi, serakah itu bisa jadi maju lho “. potong rosa, centil. ”Contonya, dulu orang Belanda, ngapain mereka datang ke Indonesia kalau bukan di dorong oleh sifat keserakahan, lalu mereka menjajah kita. Nah, sekarang juga banyak orang yang sedang mencoba meneliti tentang kemungkinan hidup di beberapa planet selain bumi. Apa itu bukan serakah. Ema juga kalau lagi ngamen suka melihat orang-orang berdasi. Mereka itu juga sama engga cukup dengan yang dimilikinya sekarang. Sudah suaminya bekerja, istrinya bekerja juga, eeh di rumahnya buka juga warung. Malah di kantor mereka, masing-masing punya sampingan. Kita mah cuma ngamen, titik. Itupun dengan mengorbankan anak cucu yang sengaja tidak kita sekolahkan. Rosa yakin, kalau ema engga bawa cucu, pendapatan ema engga bakal segitu banyak. Jadi memang harus serakah ?”
“Aah, sudah. Bingung ema mah, pake ngomong-ngomong planet segala. Tuh keretanya sudah datang”.
(Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Buletin Gema Mujahidin - Bandung)
Ikhlas : Dikdik Dahlan L.
Kecewa, sebuah kata yang sebenarnya selalu diupayakan untuk dihindari. Kecewa, sering datag manakala kenyataan justru tak sepadan atau bahkan bertentangan dengan harapan. Kekecewaan akan semakin memuncak ketika kenyataan yang tidak sesuai harapan itu merupakan ujung dari perjalanan yang berliku dan melelahkan. Kecewa, nampaknya tidak mungkin menimpa manakala segala sesuatu yang dikerjakan selalu dalam bingkai tawakal. Faidza faragta fanshab wa ila rabbika farghab.
Dari firman Allah di atas dapat dipahami bahwa kata kunci dari semua itu adalah keikhlasan. Keikhlasan selalu membina agar segala sesuatu yang dikerjakan diserahkan seluruhnya kepada Allah semata yang pasti Maha Mengetahui, yang pasti Maha Bijaksana. Tidak berharap pujian, tidak berharap pengembalian atau menggantungkan harapan – harapan lain. Ketika sesuatu disikapi sebaliknya, bersiaplah untuk menerima kekecewaan, bersiaplah untuk merasa bahwa waktu dan segala pengorbanan itu bisa tidak berarti apa – apa, karena mungkin puncak dari perjalanan itu justru tidak memenuhi harapan.
Ikhlas terbenam dalam niat hati, dan niat adalah pengikat sekaligus penentu amal. Keikhlasan seseorang benar- benar menjadi sangat penting agar hidup terasa lebih bermakna, mudah, dan indah.
Orang Ikhlas adalah orang yang memusatkan perhatian dan segala aktivitasnya hanya untuk dan kepada Allah semata. Ia mencari dan mengeluarkan harta di jalan dan sesuai dengan ketentuan Allah. Tidak ada rekayasa apapun, karena ia sangat sadar justru Allah Maha Memiliki segala rekayasa, apalagi Allah tidak pernah berkepentingan dengan segala rekayasa manusia. Justru sebaliknya, manusia yang sangat bergantung kepada rekayasa Allah semata.
Orang yang ikhlas selalu memancarkan kekuatan ruhiyah yang dahsyat, karena tutur katanya, dan segala perilakunya mengalir bagai aliran air bening dari hulu ke hilir. Setiap orang akan selalu tenang dan merasa aman hidup berdampingan dengan orang yang ikhlas. Setiap orang yang berhubungan dengan dirinya tak perlu menaruh curiga kalau dirinya akan ditipu daya. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya selalu ringan, mudah dan memberikan kesejukan, tidak memekakan telinga, tidak membuat hati teriris, tidak pula mengundang nafsu amarah orang yang di ajak bicara.
Demikian pula dengan perilakunya, tidak pernah menyempitkan apalagi menyudutkan, yang dikembangkan justru selalu memberi kelapangan. Setiap yang dikatakan dan diperbuatnya adalah kata-kata terbaik dan perbuatan terbaiknya. Ia ingin selalu memberikan yang terbaik bagi siapapun. Sungguh merupakan kenikmatan tersendiri bagi mereka yang berteman dengan orang – orang yang ikhlas. Dengan kekuatan keikhlasan yang dimilikinya, orang – orang ikhlas akan selalu berihsan (berbuat dan berkata yang terbaik) dengan sesama manusia seperti upayanya menyuguhkan pengabdian terbaiknya dihadapan Allah. Semoga. (Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Dari firman Allah di atas dapat dipahami bahwa kata kunci dari semua itu adalah keikhlasan. Keikhlasan selalu membina agar segala sesuatu yang dikerjakan diserahkan seluruhnya kepada Allah semata yang pasti Maha Mengetahui, yang pasti Maha Bijaksana. Tidak berharap pujian, tidak berharap pengembalian atau menggantungkan harapan – harapan lain. Ketika sesuatu disikapi sebaliknya, bersiaplah untuk menerima kekecewaan, bersiaplah untuk merasa bahwa waktu dan segala pengorbanan itu bisa tidak berarti apa – apa, karena mungkin puncak dari perjalanan itu justru tidak memenuhi harapan.
Ikhlas terbenam dalam niat hati, dan niat adalah pengikat sekaligus penentu amal. Keikhlasan seseorang benar- benar menjadi sangat penting agar hidup terasa lebih bermakna, mudah, dan indah.
Orang Ikhlas adalah orang yang memusatkan perhatian dan segala aktivitasnya hanya untuk dan kepada Allah semata. Ia mencari dan mengeluarkan harta di jalan dan sesuai dengan ketentuan Allah. Tidak ada rekayasa apapun, karena ia sangat sadar justru Allah Maha Memiliki segala rekayasa, apalagi Allah tidak pernah berkepentingan dengan segala rekayasa manusia. Justru sebaliknya, manusia yang sangat bergantung kepada rekayasa Allah semata.
Orang yang ikhlas selalu memancarkan kekuatan ruhiyah yang dahsyat, karena tutur katanya, dan segala perilakunya mengalir bagai aliran air bening dari hulu ke hilir. Setiap orang akan selalu tenang dan merasa aman hidup berdampingan dengan orang yang ikhlas. Setiap orang yang berhubungan dengan dirinya tak perlu menaruh curiga kalau dirinya akan ditipu daya. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya selalu ringan, mudah dan memberikan kesejukan, tidak memekakan telinga, tidak membuat hati teriris, tidak pula mengundang nafsu amarah orang yang di ajak bicara.
Demikian pula dengan perilakunya, tidak pernah menyempitkan apalagi menyudutkan, yang dikembangkan justru selalu memberi kelapangan. Setiap yang dikatakan dan diperbuatnya adalah kata-kata terbaik dan perbuatan terbaiknya. Ia ingin selalu memberikan yang terbaik bagi siapapun. Sungguh merupakan kenikmatan tersendiri bagi mereka yang berteman dengan orang – orang yang ikhlas. Dengan kekuatan keikhlasan yang dimilikinya, orang – orang ikhlas akan selalu berihsan (berbuat dan berkata yang terbaik) dengan sesama manusia seperti upayanya menyuguhkan pengabdian terbaiknya dihadapan Allah. Semoga. (Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Minggu, 11 April 2010
Rumitnya Pengangguran dan Rendahnya Kemauan : Dikdik Dahlan L.
Konon sekira 40 % dari angkatan kerja bangsa Indonesia saat ini tergolong sebagai penganggur alias tidak punya pekerjaan yang menghasilkan nafkah. Diperkirakan setiap tahunnya angka itu akan terus membengkak sebanyak satu juta orang pertahun apabila kondisi perekonomian bangsa gemah ripah loh jinawi ini tidak berubah. Anak – anak muda Jawa Barat yang tergolong ke dalam angka 40 % itu suka berseloroh menamakan dirinya sebagai “pejabat”, pengangguran Jawa Barat. Agak kepinggir sedikit, mereka menyebutnya Ujang atau Neng “Hardolin” yang kerjaan sehari – harinya hanya sekedar dahar, (maaf) modol dan ulin (Makan, Buang Air Besar dan Main- main).
Dalam sebuah obrolan teman saya ada yang su’udzhon, konon katanya pula sebagian golongan yang saat ini ramai – ramai ikut bursa calon legislative, terutama untuk tingkat Kabupaten dan Kota tidak sedikit yang berasal dari para penganggur. Bedanya, sedikit diantara mereka ada yang diembel – embeli oleh gelar kesarjanaan sehingga kerennya disebut “penganggur intelek”, atau secara kebetulan punya “modal”, baik berupa uang bapaknya, berupa peluang karena pengabdiannya kepada partai atau sekedar modal nekad plus tebal muka untuk sekedar luar – leor dina raraga ngedeukeutan, ngadeuheus, ngadodoho bahkan mungkin ngabeubeutkeun batur sakastrol. Padahal, modal yang disebut “modal” Caleg itu minimal sakieu keur pendaftaran, sakitu kontribusi ka partai, sa-eheu keur kampanye, pokna transparan.
Pengangguran dan lapangan kerja seperti menjadi momok menyeramkan terutama di kalangan para petinggi negara. Mereka mungkin sadar kadzal fakru ayakunal kufro, kondisi fakir yang diderita oleh seseorang sangat mungkin memotivasi untuk berbuat kufur. Pengangguran ditakutkan akan menjadi penyulut merebaknya kriminalitas.
Konon, kata Aa Gym sebenarnya tidak perlu ada pengangguran kalau mau melaksanakan kita 3M-nya, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari yang kecil. Cukupkah wejangan Aa Gym itu ?
Dalam sebuah film mandarin yang sudah lupa judul dan pemerannya ada satu dialog yang sampai detik ini masih teringat sekalipun film itu dijajakan di bioskop bioskop sekira sepuluh tahun yang lalu. Dihadapan gurunya, seorang murid mengadu tentang sukarnya latihan yang harus ia jalani “Aku tidak mampu”. Gurunya menimpali “Bukan tidak mampu, tidak mau”. Sejak itu semakin lengketlah dengan ungkapan “ada kemauan ada jalan”, “Banyak jalan menuju Roma”. Dalam bahasa agama, kemauan itu mungkin adalah niat : innamal ‘amalu bin niyat. Bukan sekedar amal yang mengiringi niat tapi lebih dari itu niat memotivasi dan menjiwai amal. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Dalam sebuah obrolan teman saya ada yang su’udzhon, konon katanya pula sebagian golongan yang saat ini ramai – ramai ikut bursa calon legislative, terutama untuk tingkat Kabupaten dan Kota tidak sedikit yang berasal dari para penganggur. Bedanya, sedikit diantara mereka ada yang diembel – embeli oleh gelar kesarjanaan sehingga kerennya disebut “penganggur intelek”, atau secara kebetulan punya “modal”, baik berupa uang bapaknya, berupa peluang karena pengabdiannya kepada partai atau sekedar modal nekad plus tebal muka untuk sekedar luar – leor dina raraga ngedeukeutan, ngadeuheus, ngadodoho bahkan mungkin ngabeubeutkeun batur sakastrol. Padahal, modal yang disebut “modal” Caleg itu minimal sakieu keur pendaftaran, sakitu kontribusi ka partai, sa-eheu keur kampanye, pokna transparan.
Pengangguran dan lapangan kerja seperti menjadi momok menyeramkan terutama di kalangan para petinggi negara. Mereka mungkin sadar kadzal fakru ayakunal kufro, kondisi fakir yang diderita oleh seseorang sangat mungkin memotivasi untuk berbuat kufur. Pengangguran ditakutkan akan menjadi penyulut merebaknya kriminalitas.
Konon, kata Aa Gym sebenarnya tidak perlu ada pengangguran kalau mau melaksanakan kita 3M-nya, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari yang kecil. Cukupkah wejangan Aa Gym itu ?
Dalam sebuah film mandarin yang sudah lupa judul dan pemerannya ada satu dialog yang sampai detik ini masih teringat sekalipun film itu dijajakan di bioskop bioskop sekira sepuluh tahun yang lalu. Dihadapan gurunya, seorang murid mengadu tentang sukarnya latihan yang harus ia jalani “Aku tidak mampu”. Gurunya menimpali “Bukan tidak mampu, tidak mau”. Sejak itu semakin lengketlah dengan ungkapan “ada kemauan ada jalan”, “Banyak jalan menuju Roma”. Dalam bahasa agama, kemauan itu mungkin adalah niat : innamal ‘amalu bin niyat. Bukan sekedar amal yang mengiringi niat tapi lebih dari itu niat memotivasi dan menjiwai amal. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Abah Uca Owah : Dikdik Dahlan L.
Terhitung sejak tanggal 6 Juli 2004 Abah Uca kelihatan murung. Selain sekedar pergi ke mesjid untuk berjama’ah shalat fardlu lima waktu, hari-hari Abah Uca hanya dihabiskan untuk mengurung diri di dalam rumahnya.
Namun dua hari terakhir ini, sama sekali malah tidak terlihat batang hidungnya, sekalipun di teras mesjid. Memperhatikan gelagat ini, salah seorang jama’ah yang masih tergolong muda, menyengaja datang menjenguk ke rumah Abah Uca. Cukup lama ia mematung di depan daun pintu menunggu jawaban salamnya. Baru kali ketiga ucapan salamnya ada yang menjawab, dan tak lain adalah Abah Uca sendiri. Keheranan semakin menjadi setelah matanya secara tak sengaja melihat sebuah tas ransel, seonggok dus bertali rapia dan sehelai tikar yang tergulung rapi.
“Barang punya siapa, Bah ?”
“Punya Abah “
“Memangnya mau ke mana ?” susulnya
“Tapa”
“Oooh…. Pasti Abah kecewa dengan hasil pemilu presiden kemarin, ya ?
“Apa mungkin Allah sudah buta ?”
“Ditanya, kok malah balik nanya, si Abah mah !”
“Tapi, begitu ‘kan realitasnya ? Hampir semua orang meyakini kebersihan, keberanian dan kecerdasannya, tapi semua orang meninggalkannya”.
“Kita ambil saja hikmahnya !”
“Itu mah retorika orang kalah” sungutnya sambil melotot
“Sepak bola juga ada yang kalah dan menang atuh Bah. Tuh di DPR juga kalau enggak bisa diambil secara mupakat mah, diambil voting, ada yang menang dan kalah juga “
“Termasuk kalah dicurangi ?”
“Hiss, jangan gegabah nanti terdengar sama cakcak bodas ! Kalau memang ada bukti, adukan saja atuh, Bah ! Yang pasti jangan mengira – ngira apalagi menuduh dan memfitnah. Jangan – jangan, karena kita yang gegabah ngomong, idola Abah yang bersih, jujur dan berani itu malah jadi ternoda oleh bibir Abah sendiri. Kalau ada indikasi kecurangan, barangkali karena Tim Sukses Capres Abah itu maksimal dalam kampanye tapi tidak memiliki senjata ampuh untuk menangkal berbagai indikasi kecurangan selama dan pasca Pemilu. Nah, mungkin inilah salah satu hikmah yang dapat kita petik”
“Hikmah – hikmah, weh. Ateul aing mah !”
“Owah sugan si Abah teh ?” (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Namun dua hari terakhir ini, sama sekali malah tidak terlihat batang hidungnya, sekalipun di teras mesjid. Memperhatikan gelagat ini, salah seorang jama’ah yang masih tergolong muda, menyengaja datang menjenguk ke rumah Abah Uca. Cukup lama ia mematung di depan daun pintu menunggu jawaban salamnya. Baru kali ketiga ucapan salamnya ada yang menjawab, dan tak lain adalah Abah Uca sendiri. Keheranan semakin menjadi setelah matanya secara tak sengaja melihat sebuah tas ransel, seonggok dus bertali rapia dan sehelai tikar yang tergulung rapi.
“Barang punya siapa, Bah ?”
“Punya Abah “
“Memangnya mau ke mana ?” susulnya
“Tapa”
“Oooh…. Pasti Abah kecewa dengan hasil pemilu presiden kemarin, ya ?
“Apa mungkin Allah sudah buta ?”
“Ditanya, kok malah balik nanya, si Abah mah !”
“Tapi, begitu ‘kan realitasnya ? Hampir semua orang meyakini kebersihan, keberanian dan kecerdasannya, tapi semua orang meninggalkannya”.
“Kita ambil saja hikmahnya !”
“Itu mah retorika orang kalah” sungutnya sambil melotot
“Sepak bola juga ada yang kalah dan menang atuh Bah. Tuh di DPR juga kalau enggak bisa diambil secara mupakat mah, diambil voting, ada yang menang dan kalah juga “
“Termasuk kalah dicurangi ?”
“Hiss, jangan gegabah nanti terdengar sama cakcak bodas ! Kalau memang ada bukti, adukan saja atuh, Bah ! Yang pasti jangan mengira – ngira apalagi menuduh dan memfitnah. Jangan – jangan, karena kita yang gegabah ngomong, idola Abah yang bersih, jujur dan berani itu malah jadi ternoda oleh bibir Abah sendiri. Kalau ada indikasi kecurangan, barangkali karena Tim Sukses Capres Abah itu maksimal dalam kampanye tapi tidak memiliki senjata ampuh untuk menangkal berbagai indikasi kecurangan selama dan pasca Pemilu. Nah, mungkin inilah salah satu hikmah yang dapat kita petik”
“Hikmah – hikmah, weh. Ateul aing mah !”
“Owah sugan si Abah teh ?” (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Abah Uca Unjuk Rasa : Dikdik Dahlan L.
Dihadapkan dengan nama-nama Akbar Tanjung, Megawati, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid, Abah Uca jelas tidak ada apa-apanya. Orang yang kenal kepada Abah Uca mungkin hanya sebatas kerabat, teman lama dan warga sekampung, tapi kepada Ketua umum Golkar, PDI Perjuangan, Ketua PAN apalagi Presiden mungkin hanya hitungan jari yang tidak mengenalnya. Bahkan akhir-akhir ini, keempat nama tadi seakan-akan menjadi maskot berbagai unjuk rasa, kerusuhan, demonstrasi, dan sewaktu-waktu nyaris menjadi “Nabi” atau justru sebaliknya diposisikan sebagai kambing hitam dengan resiko setiap saat mesti siap untuk dijegal, ditendang bahkan dibuang sekalipun.
Adalah Abah Uca, hari itu berdandan beda dengan hari-hari biasanya. Selepas shalat shubuh ia turun dari rumah panggungnya bercelana hitam rapi, bersepatu mengkilap dengan rambut tersisir rapi tanpa topi, tanpa kopiah bahkan cenderung lengket menyebarkan aroma wangi minyak rambut. Dari lehernya tergantung selembar dasi berwarna hitam garis putih menutup sebagian bulatan kancing bajunya yang berwarna putih, rapi dan juga menebar wangi parfum bahkan sedikit agak menyengat.
Hari itu, setiap orang yang berpapasan dengan Abah Uca dapat dipastikan muncul keinginan sekalipun sekedar untuk melirik apa yang ditempelkan di baju putihnya. Di dada kirinya tergantung gambar plus tulisan “Abdurrahman Wahid No !”, kemudian dibawahnya gambar plus tulisan “Akbar Tanjung No !”, sedangkan di dada kirinya tergantung pula gambar dan tulisan “Amien Rais No !” kemudian di bawahnya gambar plus tulisan “Megawati No !”.
Seharian penuh ia berjalan menelusuri jalan ramai, keluar masuk gang, tempat perbelanjaan bahkan untuk beberapa saat sering menyengaja berdiri mematung di perempatan atau pertigaan jalan. Seharian penuh pula ia nyaris menjadi tontonan gratis sekalipun tidak terlalu menghibur, kecuali pada saat ia dipanggil untuk bersujud menunaikan shalat fardlu. Ia berganti pakaian : berpeci hitam, memakai baju takwa, dan bersarung. Sedangkan pakaian “dinasnya” hari itu, sesaat sebelum wudlu pun sudah dilipatnya. Ketika ditanya alasan ganti pakaian, Abah Uca menjawab : “Kadang-kadang di tengah-tengah pergulatan ritual dengan Tuhan pun, manusia tidak jujur”.
Setelah shalat, pakaian “dinasnya” dipakainya lagi, kemudian berjalan lagi, menjadi tontonan lagi serta setiap orang yang berpapasan selalu melirik, dan membaca lagi apa yang ditempelkan di bajunya. Abah Uca sendiri terus berjalan tak acuh, tanpa ekspresi, seakan-akan tak terjadi apa- apa dengan dirinya. Ia hanya membalas anggukan kepala dan senyum kepada orang yang melempar senyum dan anggukan kepala atau menerima jabat tangan dari orang yang sengaja ingin berjabat tangan. Setelah itu, setelah berlalu dari hadapannya, Abah Uca kembali berjalan tanpa ekspresi. Berbeda dengan orang yang memperhatikannya. Setiap orang yang berhasil membaca serta menyimak gambar dan tulisan di bagian depan baju Abah Uca dapat dipastikan terdorong pula untuk melirik kembali sosok lelaki berangsur renta itu sekalipun hanya sekedar melihat punggungnya. Tapi justru dipunggungnya, kembali orang terperangah dan berusaha untuk kembali membaca sesuatu. Di punggung baju putih Abah Uca tergambar sebuah kepulan asap yang berpangkal dari belahan celana bagian pantatnya seakan-akan menggambarkan kepulan asap “kentut”. Di bagian dalam gambar kepulan asap itu jelas tertulis : “KEJUJURAN, YES !”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Adalah Abah Uca, hari itu berdandan beda dengan hari-hari biasanya. Selepas shalat shubuh ia turun dari rumah panggungnya bercelana hitam rapi, bersepatu mengkilap dengan rambut tersisir rapi tanpa topi, tanpa kopiah bahkan cenderung lengket menyebarkan aroma wangi minyak rambut. Dari lehernya tergantung selembar dasi berwarna hitam garis putih menutup sebagian bulatan kancing bajunya yang berwarna putih, rapi dan juga menebar wangi parfum bahkan sedikit agak menyengat.
Hari itu, setiap orang yang berpapasan dengan Abah Uca dapat dipastikan muncul keinginan sekalipun sekedar untuk melirik apa yang ditempelkan di baju putihnya. Di dada kirinya tergantung gambar plus tulisan “Abdurrahman Wahid No !”, kemudian dibawahnya gambar plus tulisan “Akbar Tanjung No !”, sedangkan di dada kirinya tergantung pula gambar dan tulisan “Amien Rais No !” kemudian di bawahnya gambar plus tulisan “Megawati No !”.
Seharian penuh ia berjalan menelusuri jalan ramai, keluar masuk gang, tempat perbelanjaan bahkan untuk beberapa saat sering menyengaja berdiri mematung di perempatan atau pertigaan jalan. Seharian penuh pula ia nyaris menjadi tontonan gratis sekalipun tidak terlalu menghibur, kecuali pada saat ia dipanggil untuk bersujud menunaikan shalat fardlu. Ia berganti pakaian : berpeci hitam, memakai baju takwa, dan bersarung. Sedangkan pakaian “dinasnya” hari itu, sesaat sebelum wudlu pun sudah dilipatnya. Ketika ditanya alasan ganti pakaian, Abah Uca menjawab : “Kadang-kadang di tengah-tengah pergulatan ritual dengan Tuhan pun, manusia tidak jujur”.
Setelah shalat, pakaian “dinasnya” dipakainya lagi, kemudian berjalan lagi, menjadi tontonan lagi serta setiap orang yang berpapasan selalu melirik, dan membaca lagi apa yang ditempelkan di bajunya. Abah Uca sendiri terus berjalan tak acuh, tanpa ekspresi, seakan-akan tak terjadi apa- apa dengan dirinya. Ia hanya membalas anggukan kepala dan senyum kepada orang yang melempar senyum dan anggukan kepala atau menerima jabat tangan dari orang yang sengaja ingin berjabat tangan. Setelah itu, setelah berlalu dari hadapannya, Abah Uca kembali berjalan tanpa ekspresi. Berbeda dengan orang yang memperhatikannya. Setiap orang yang berhasil membaca serta menyimak gambar dan tulisan di bagian depan baju Abah Uca dapat dipastikan terdorong pula untuk melirik kembali sosok lelaki berangsur renta itu sekalipun hanya sekedar melihat punggungnya. Tapi justru dipunggungnya, kembali orang terperangah dan berusaha untuk kembali membaca sesuatu. Di punggung baju putih Abah Uca tergambar sebuah kepulan asap yang berpangkal dari belahan celana bagian pantatnya seakan-akan menggambarkan kepulan asap “kentut”. Di bagian dalam gambar kepulan asap itu jelas tertulis : “KEJUJURAN, YES !”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Kegelisahan Abah Uca : Dikdik Dahlan L.
“Waktu itu dingin, tidak berperikemanusiaan, tidak berperikebinatangan bahkan sama sekali tidak berperikemakhlukan. Seluruh makhluk, tidak dikecualikan selalu bergesekan dengan waktu, tidak hanya bertetangga tapi hidup bersama waktu. Tapi waktu memang begitu, tak mau tahu dengan persoalan orang lain. Coba bayangkan, betapa banyak mahasiswa yang terancam drop out, tapi karena memang sibuk demo, boro – boro ngegarap skripsi. Nah, waktu mah enggak mau tahu, terus aja menggerogoti kesempatan”.
“Waktu itu memang bebal. Saya ini udah bosan hidup, saya perkirakan paling cuma tiga atau empat tahun lagi kesempatan hidup saya. Tapi dasar waktu, dia enggak mau khianat dengan mempercepat langkahnya. Apa memang saya ini sudah bosan hidup ? Bagaimana tidak bosan ? Orang lain mah dalam waktu satu jam saja bisa menghasilkan uang sekian juta rupiah, buat kita mah boro – boro satu juta, seribu perak juga kadang sampai kadang tidak. Orang lain mah dalam waktu dua puluh empat jam teh bisa mengurus rakyat, memberikan ketenangan dan keamanan kepada sekian juta manusia, kita mah dalam tempo yang sama malah sering tidak bisa memanfaatkan waktu hanya sekedar mengurusi diri sendiri. Orang lain mah dalam waktu delapan jam waktu kerja teh bisa menghasilkan sekian kemanfaatan kepada orang lain, kita mah dalam waktu yang sama itu hanya bisa termanfaatkan untuk makan, main dan melamun tak berujung, tak berpangkal. Orang lain mah tidur teh cukup hanya empat sampai lima jam sehari, kita mah sepuluh jam saja belum cukup. Lebih parah lagi, kita mah makan teh hanya butuh waktu tidak lebih dari 30 menit, orang lain mah sepuluh menit juga cukup”.
“Kalau saja waktu itu bisa diatur sedemikian rupa, barangkali tidak sepatutnya saya harus bosan hidup. Apa memang waktu itu tidak bisa diatur ? Ah, kayaknya bisa. Atau justru kita yang di atur waktu ? Memangnya waktu bisa ngatur ? Bukankah manusia makhluk paling sempurna ? Lalu waktu itu apa ?
“Kata sebagian orang, waktu itu adalah uang. Karena itu, bagi mereka tidak mengherankan kalau setiap detik dalam benaknya adalah bagaimana cara mengeruk uang sebanyak – banyaknya. Kata yang lain, waktu itu adalah pedang, seperti sebuah benda mati yang tajam dan dahulu biasa dipergunakan sebagai senjata melawan musuh. Memangnya waktu itu seluruhnya hanya untuk melawan musuh ? Kalau tidak punya musuh ? Apa mugkin pedang itu bisa melukai tuannya ? Sangat mungkin, seperti juga waktu, kalau tidak dimanfaatkan, secara perlahan bisa membunuh siapa saja; membunuh cita dan harapan seseorang. Nah, kalau menurut kita sendiri apa ? Apa bagi kita, waktu itu uang, pedang, kambing, kebo, atau … ? Tik, tok, tik, tok… satu menit. Tik, tok, tik, tok… dua menit …, terus saja berjalan si kehed mah, tidak peduli saya teh lagi mikirin manehna“. Gerutunya, sambil melilitkan serban ke lehernya menahan dingin malam tahun baru. Dari tempat duduknya di beranda rumah, lewat celah daun pintu yang terbuka sedikit ia menengok jam dinding yang menempel di ruang tengah.
“Sabelas saparapat, empat lima menit lagi …” (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin - Bandung)
“Waktu itu memang bebal. Saya ini udah bosan hidup, saya perkirakan paling cuma tiga atau empat tahun lagi kesempatan hidup saya. Tapi dasar waktu, dia enggak mau khianat dengan mempercepat langkahnya. Apa memang saya ini sudah bosan hidup ? Bagaimana tidak bosan ? Orang lain mah dalam waktu satu jam saja bisa menghasilkan uang sekian juta rupiah, buat kita mah boro – boro satu juta, seribu perak juga kadang sampai kadang tidak. Orang lain mah dalam waktu dua puluh empat jam teh bisa mengurus rakyat, memberikan ketenangan dan keamanan kepada sekian juta manusia, kita mah dalam tempo yang sama malah sering tidak bisa memanfaatkan waktu hanya sekedar mengurusi diri sendiri. Orang lain mah dalam waktu delapan jam waktu kerja teh bisa menghasilkan sekian kemanfaatan kepada orang lain, kita mah dalam waktu yang sama itu hanya bisa termanfaatkan untuk makan, main dan melamun tak berujung, tak berpangkal. Orang lain mah tidur teh cukup hanya empat sampai lima jam sehari, kita mah sepuluh jam saja belum cukup. Lebih parah lagi, kita mah makan teh hanya butuh waktu tidak lebih dari 30 menit, orang lain mah sepuluh menit juga cukup”.
“Kalau saja waktu itu bisa diatur sedemikian rupa, barangkali tidak sepatutnya saya harus bosan hidup. Apa memang waktu itu tidak bisa diatur ? Ah, kayaknya bisa. Atau justru kita yang di atur waktu ? Memangnya waktu bisa ngatur ? Bukankah manusia makhluk paling sempurna ? Lalu waktu itu apa ?
“Kata sebagian orang, waktu itu adalah uang. Karena itu, bagi mereka tidak mengherankan kalau setiap detik dalam benaknya adalah bagaimana cara mengeruk uang sebanyak – banyaknya. Kata yang lain, waktu itu adalah pedang, seperti sebuah benda mati yang tajam dan dahulu biasa dipergunakan sebagai senjata melawan musuh. Memangnya waktu itu seluruhnya hanya untuk melawan musuh ? Kalau tidak punya musuh ? Apa mugkin pedang itu bisa melukai tuannya ? Sangat mungkin, seperti juga waktu, kalau tidak dimanfaatkan, secara perlahan bisa membunuh siapa saja; membunuh cita dan harapan seseorang. Nah, kalau menurut kita sendiri apa ? Apa bagi kita, waktu itu uang, pedang, kambing, kebo, atau … ? Tik, tok, tik, tok… satu menit. Tik, tok, tik, tok… dua menit …, terus saja berjalan si kehed mah, tidak peduli saya teh lagi mikirin manehna“. Gerutunya, sambil melilitkan serban ke lehernya menahan dingin malam tahun baru. Dari tempat duduknya di beranda rumah, lewat celah daun pintu yang terbuka sedikit ia menengok jam dinding yang menempel di ruang tengah.
“Sabelas saparapat, empat lima menit lagi …” (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin - Bandung)
Kerugian : Dikdik Dahlan L
Allah mempergunakan kata “waktu” untuk menunjuk kerugian yang dialami sebagian besar manusia. Kerugian sebenar-benarnya kerugian, karena pernyataan ini datang justru langsung dari Allah, pencipta dan pengawas serta hakim segenap manusia. Pernyataan ini tentu tidak akan pernah digubris dan dianggap angin lalu saja oleh orang yang tidak pernah mengenal Allah, tidak meyakini akan kehidupan akhirat kelak. Sebaliknya, pernyataan ini justru akan senantiasa menjadi salah satu rambu utama bagi mereka yang memiliki harapan merenggut kebahagiaan dunia akhirat, yang jelas-jelas juga dijanjikan oleh Allah. Kebahagiaan hakiki, yang kadang sulit pula dimengerti oleh manusia. Kebahagiaan hakiki yang sering datang secara rahasia dan tersembunyi.
Berkenaan dengan putaran waktu, dalam surat Al-Hasyr ayat 18 – 19 Allah telah wanti-wanti mengingatkan “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah engkau. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa merenungkan, melihat, menoleh ke masa lampau, supaya pengalaman masa lalu itu menjadi bekal untuk menyongsong masa depannya. Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang engkau kerjakan”
Allah mengingatkan hendaknya orang-orang Mukmin mempunyai semacam kesadaran sejarah masa lalu. Hal-hal yang sudah dilalui hendaknya dicamkan, ditelaah, dan dicermati. Hal-hal yang bagus, baik dan benar selayaknya dipertahankan dan ditingkatkan. Sebaliknya yang buruk, tidak benar apalagi berupa kemungkaran dan durhaka semestinya ditaubati, dibuang serta ditutup dengan kegiatan yang lebih bermanfaat dan menjamin lebih dekatnya kepada keridloan serta rahmat Allah.
Bermanfaat dalam arti kemanfaatan secara horizontal, baik untuk kebaikan diri pribadi dan keluarga, ketentraman bermasyarakat maupun kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara vertical, sebagai manusia beragama, selain bermanfaat juga dikehendaki agar kegiatan itu memiliki nilai dihadapan Sang Khalik.
Menilik pernyataan dan anjuran Allah di atas, insya Allah, sebenarnya justru orang mukmin yang berhak menguasai dunia. Tidak mungkin berada dalam genggaman orang lain. Orang mukmin adalah orang aktiv, kreatif dan dinamis. Orang mukmin tidak mukmin merasa rugi, merugikan atau dirugikan terutama oleh putaran waktu. Orang mukmin akan senantiasa memanfaatkan langkah-langkah detik senapas dengan lengkah-langkah kreatifnya. Orang mukmin akan senantiasa aktiv dan inopatif melangkah mengiringi langkah-langkah detik. Gambaran keseharian orang mukmin, adalah gambaran keseharian sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat Insyirah : bila engkau telah selesai menunaikan sebuah tugas dan aktivitas, hendaklah engkau bengkit kembali dan sandarkanlah harapanmu pada Tuhanmu. Harapan itu adalah keinginan, tapi itu juga adalah rahasia Allah, karena itu tempat sandarannya pun adalah Allah semata. Sehingga karenanya orang mukmin tidak pernah rugi. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin - Bandung)
Berkenaan dengan putaran waktu, dalam surat Al-Hasyr ayat 18 – 19 Allah telah wanti-wanti mengingatkan “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah engkau. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa merenungkan, melihat, menoleh ke masa lampau, supaya pengalaman masa lalu itu menjadi bekal untuk menyongsong masa depannya. Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang engkau kerjakan”
Allah mengingatkan hendaknya orang-orang Mukmin mempunyai semacam kesadaran sejarah masa lalu. Hal-hal yang sudah dilalui hendaknya dicamkan, ditelaah, dan dicermati. Hal-hal yang bagus, baik dan benar selayaknya dipertahankan dan ditingkatkan. Sebaliknya yang buruk, tidak benar apalagi berupa kemungkaran dan durhaka semestinya ditaubati, dibuang serta ditutup dengan kegiatan yang lebih bermanfaat dan menjamin lebih dekatnya kepada keridloan serta rahmat Allah.
Bermanfaat dalam arti kemanfaatan secara horizontal, baik untuk kebaikan diri pribadi dan keluarga, ketentraman bermasyarakat maupun kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara vertical, sebagai manusia beragama, selain bermanfaat juga dikehendaki agar kegiatan itu memiliki nilai dihadapan Sang Khalik.
Menilik pernyataan dan anjuran Allah di atas, insya Allah, sebenarnya justru orang mukmin yang berhak menguasai dunia. Tidak mungkin berada dalam genggaman orang lain. Orang mukmin adalah orang aktiv, kreatif dan dinamis. Orang mukmin tidak mukmin merasa rugi, merugikan atau dirugikan terutama oleh putaran waktu. Orang mukmin akan senantiasa memanfaatkan langkah-langkah detik senapas dengan lengkah-langkah kreatifnya. Orang mukmin akan senantiasa aktiv dan inopatif melangkah mengiringi langkah-langkah detik. Gambaran keseharian orang mukmin, adalah gambaran keseharian sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat Insyirah : bila engkau telah selesai menunaikan sebuah tugas dan aktivitas, hendaklah engkau bengkit kembali dan sandarkanlah harapanmu pada Tuhanmu. Harapan itu adalah keinginan, tapi itu juga adalah rahasia Allah, karena itu tempat sandarannya pun adalah Allah semata. Sehingga karenanya orang mukmin tidak pernah rugi. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin - Bandung)
Selebritis dan Abah Uca : Dikdik Dahlan L.
Berita selebritis nampaknya tak pernah habis seiring bermunculannya segudang selebritis lainnya yang datang kemudian.
Menonton tayangan tentang aktivitas berikut obrolan dengan wajah-wajah cantik dan tampan sepertinya tak kunjung membosankan. Hampir seluruh stasiun televisi memiliki program serupa. Alhasil, hampir setiap hari para pemirsa disuguhi oleh berita-berita seputar mereka. Lihatlah Betis (Berita Selebritis), Cek & Ricek, Kabar-kabari, Ngobras (Ngobrol Bareng Indra Safera), Kiss (Kisah Seputar Selebritis), Go Show, dan sejumlah nama program serupa lainnya.
Seorang putri remaja di sebuah desa yang belum terjamah angkutan pedesaan dengan lugas dan penuh percaya diri memaparkan dari ujung rambut sampai ujung mata kaki tentang Ayu Azhari, tentang Iis Dahlia, Desy Ratnasari dan segudang selebritis lainnya. Tapi jangan aneh, tiba-tiba si putri diam seribu bahasa ketika ditanya tentang perjuangan Imam Bonjol, Muh.Hatta apalagi tentang riwayat Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin serta shahabat Rasul lainnya.
Berita selebritis telah menjadi kebutuhan harian sebagian masyarakat kita. Bagi sebagian pemirsa, ucapan, pakaian, mode rambut, sampai bagaimana cara batuk dan bersinnya seorang selebritis bisa menjadi sumber rujukan aktivitas dan perilaku keseharian mereka. Bagi kelompok masyarakat lain, agaknya tayangan selebritis juga menjadi hiburan sekaligus obat pelipur lara di tengah kebingungan dan krisis multi dimensional yang semakin menghimpit.
Adalah Abah Uca yang selama ini justru merasa sakit hati dengan tayangan-tayangan tentang selebritis ini. Mulutnya mengacau hampir ke semua tetangga yang dijumpainya : “Kapan sih kehidupan ini berpihak kepada rakyat kecil ? Kenapa sih gambaran rakyat kecil seperti kita ini seakan-akan tabu untuk diperlihatkan ? Apa memang semua orang telah menjadi penjilat, sudah tebal muka, dan tidak mau jujur dengan apa yang dimiliki ? Melalui sinetron-sinetron, kita dipaksa menikmati gambaran tentang kehidupan sebagian kecil saja masyarakat kita yang memiliki rumah bagai istana dengan kendaraan mengkilat berjejer. Kita juga sering dipaksa membersihkan halaman dan selokan, bergotong royong menambal jalan desa yang bolong-bolong manakala pejabat mau lewat di depan rumah. Diskusi atau seminar sepertinya tak dinilai bermutu kalau tidak diselenggarakn di hotel-hotel berbintang. Bangsa kita sepertinya tak pernah memiliki rakyatnya yang melarat karena yang ditayangkan adalah cukup sebatas selebritis yang sangat biasa pulang pergi ke luar negeri, keluar-masuk salon dan mall untuk sekedar ganti baju dan lipstik. Bukan menayangkan kami, si Abah Uca yang pernah menjual kompan dan jerigen minyak tanah untuk sekedar membeli ikan asin atau kehidupan para nelayan, petani, buruh, sopir bajaj dan banyak rakyat melarat lainnya.
Rakyat melarat seperti kita hanya dibutuhkan untuk sekedar “atas nama”, setelah itu “dikipas-kipas”, tapi tak pernah diberi “angin”. Mungkin termasuk Pak Bendot (Alm). Untuk siapa sebenarnya ia berkata ?”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Menonton tayangan tentang aktivitas berikut obrolan dengan wajah-wajah cantik dan tampan sepertinya tak kunjung membosankan. Hampir seluruh stasiun televisi memiliki program serupa. Alhasil, hampir setiap hari para pemirsa disuguhi oleh berita-berita seputar mereka. Lihatlah Betis (Berita Selebritis), Cek & Ricek, Kabar-kabari, Ngobras (Ngobrol Bareng Indra Safera), Kiss (Kisah Seputar Selebritis), Go Show, dan sejumlah nama program serupa lainnya.
Seorang putri remaja di sebuah desa yang belum terjamah angkutan pedesaan dengan lugas dan penuh percaya diri memaparkan dari ujung rambut sampai ujung mata kaki tentang Ayu Azhari, tentang Iis Dahlia, Desy Ratnasari dan segudang selebritis lainnya. Tapi jangan aneh, tiba-tiba si putri diam seribu bahasa ketika ditanya tentang perjuangan Imam Bonjol, Muh.Hatta apalagi tentang riwayat Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin serta shahabat Rasul lainnya.
Berita selebritis telah menjadi kebutuhan harian sebagian masyarakat kita. Bagi sebagian pemirsa, ucapan, pakaian, mode rambut, sampai bagaimana cara batuk dan bersinnya seorang selebritis bisa menjadi sumber rujukan aktivitas dan perilaku keseharian mereka. Bagi kelompok masyarakat lain, agaknya tayangan selebritis juga menjadi hiburan sekaligus obat pelipur lara di tengah kebingungan dan krisis multi dimensional yang semakin menghimpit.
Adalah Abah Uca yang selama ini justru merasa sakit hati dengan tayangan-tayangan tentang selebritis ini. Mulutnya mengacau hampir ke semua tetangga yang dijumpainya : “Kapan sih kehidupan ini berpihak kepada rakyat kecil ? Kenapa sih gambaran rakyat kecil seperti kita ini seakan-akan tabu untuk diperlihatkan ? Apa memang semua orang telah menjadi penjilat, sudah tebal muka, dan tidak mau jujur dengan apa yang dimiliki ? Melalui sinetron-sinetron, kita dipaksa menikmati gambaran tentang kehidupan sebagian kecil saja masyarakat kita yang memiliki rumah bagai istana dengan kendaraan mengkilat berjejer. Kita juga sering dipaksa membersihkan halaman dan selokan, bergotong royong menambal jalan desa yang bolong-bolong manakala pejabat mau lewat di depan rumah. Diskusi atau seminar sepertinya tak dinilai bermutu kalau tidak diselenggarakn di hotel-hotel berbintang. Bangsa kita sepertinya tak pernah memiliki rakyatnya yang melarat karena yang ditayangkan adalah cukup sebatas selebritis yang sangat biasa pulang pergi ke luar negeri, keluar-masuk salon dan mall untuk sekedar ganti baju dan lipstik. Bukan menayangkan kami, si Abah Uca yang pernah menjual kompan dan jerigen minyak tanah untuk sekedar membeli ikan asin atau kehidupan para nelayan, petani, buruh, sopir bajaj dan banyak rakyat melarat lainnya.
Rakyat melarat seperti kita hanya dibutuhkan untuk sekedar “atas nama”, setelah itu “dikipas-kipas”, tapi tak pernah diberi “angin”. Mungkin termasuk Pak Bendot (Alm). Untuk siapa sebenarnya ia berkata ?”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)
Kolor Ijo : Dikdik Dahlan L.
“… ia menyebutkan didatangi makhluk bertelingan panjang, bermulut monyong, berperut buncit, dan badannya cebol. Sekujur badanya dipenuhi bulu. Dan – mungkin ini yang menentukan – Cuma bercelana kolor hijau.” (Kompas, Rabu 28 Januari 2004).
Korban pun sempat memperlihatkan luka ditubuhnya yang merupakan bekas cakaran sang “kolor ijo”, Kaus yang dipakainya sobek – sobek sedangkan tali kutangnya putus. Tidak hanya itu, isu “kolor ijo” pun berlanjut dengan perampokan dan pemerkosaan terhadap korban. Tak ayal, masyarakat semakin heboh. Sebagian warga sengaja memasang isim – yang berupa secarik kertas bertuliskan huruf arab dengan motif sarang laba – laba – atau menggantung bambu kuning, daun kelor dan sesihung bawang putih pas di pintu masuk rumah karena dipercaya benda – benda itu dapat menangkal masuknya jin, syaithan, tuyul dan genderewo masuk rumah.
Tidak hanya di Bekasi hal itu terjadi, di banyak tempat pun dapat dijumpai. Isu “kolor ijo” menjadi buah bibir para ibu di mulut gang sambil memilih belanjaan dapur yang terjaja di atas gerobak roda tukang sayur. Sang “kolor ijo” sendiri sampai detik ini belum pernah menampakan jati dirinya selain kepada tiga pelapor yang terdiri dari 3 (tiga) orang ibu berasal dari Bekasi itu.
Di Majelengka, kemarin juga beredar isu adanya 3 (tiga) buah tuyul yang mencuri uang jutaan. Kabarnya, sang tuyul sudah dapat dijinakkan bahkan uang yang dicurinya sempat dikembalikan.
Percaya atau enggak percaya, itulah isu yang sempat beredar di tengah sebagian atau sebuah komunitas masyarakat. Namun yang pasti, masyarakat itu adalah masyarakat yang hidup di tengah suatu bangsa bernama Indonesia. Sepertinya bangsa yang penduduknya mayoritas muslim ini masih banyak terpengaruhi oleh hal – hal yang berbau mistis. Ingatlah ketika yang terhormat Bapak Menteri Agama Republik Indonesia berusaha menggali situs Batu Tulis Bogor, dan 7 (tujuh) orang peziarah yang dipimpin seorang ibu rumah tangga menggali tanah di sekitar pusaran Ratu Sang Prabu di obyek wisata istana presiden Bogor. Dua kegiatan terakhir ini bermula dari wangsit. Lalu apa sebenarnya wangsit itu ? Sebuah ungkapan yang biasa dijadikan modal larisnya praktek – praktek paranormal dan dukun. Padahal, menurut Permadi dan Ki Gendeng Pamungkas yang dikenal para normal itu, orang yang suka minta wejangan kepada dukun dan paranormal adalah orang – orang yang sudah luntur dan hilang kepercayaan dirinya. Kalau kepercayaan diri sudah hilang, apa masih tersisa keinginan untuk berbuat ? Jadi, isu “Kolor ijo”, tuyul atau bahkan merebaknya tayangan – tayangan berbau mistis di televisi kita adalah gambaran sesungguhnya tentang masyarakat kita. Wallahu’alam. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletn Gema Mujahidin – Bandung)
Korban pun sempat memperlihatkan luka ditubuhnya yang merupakan bekas cakaran sang “kolor ijo”, Kaus yang dipakainya sobek – sobek sedangkan tali kutangnya putus. Tidak hanya itu, isu “kolor ijo” pun berlanjut dengan perampokan dan pemerkosaan terhadap korban. Tak ayal, masyarakat semakin heboh. Sebagian warga sengaja memasang isim – yang berupa secarik kertas bertuliskan huruf arab dengan motif sarang laba – laba – atau menggantung bambu kuning, daun kelor dan sesihung bawang putih pas di pintu masuk rumah karena dipercaya benda – benda itu dapat menangkal masuknya jin, syaithan, tuyul dan genderewo masuk rumah.
Tidak hanya di Bekasi hal itu terjadi, di banyak tempat pun dapat dijumpai. Isu “kolor ijo” menjadi buah bibir para ibu di mulut gang sambil memilih belanjaan dapur yang terjaja di atas gerobak roda tukang sayur. Sang “kolor ijo” sendiri sampai detik ini belum pernah menampakan jati dirinya selain kepada tiga pelapor yang terdiri dari 3 (tiga) orang ibu berasal dari Bekasi itu.
Di Majelengka, kemarin juga beredar isu adanya 3 (tiga) buah tuyul yang mencuri uang jutaan. Kabarnya, sang tuyul sudah dapat dijinakkan bahkan uang yang dicurinya sempat dikembalikan.
Percaya atau enggak percaya, itulah isu yang sempat beredar di tengah sebagian atau sebuah komunitas masyarakat. Namun yang pasti, masyarakat itu adalah masyarakat yang hidup di tengah suatu bangsa bernama Indonesia. Sepertinya bangsa yang penduduknya mayoritas muslim ini masih banyak terpengaruhi oleh hal – hal yang berbau mistis. Ingatlah ketika yang terhormat Bapak Menteri Agama Republik Indonesia berusaha menggali situs Batu Tulis Bogor, dan 7 (tujuh) orang peziarah yang dipimpin seorang ibu rumah tangga menggali tanah di sekitar pusaran Ratu Sang Prabu di obyek wisata istana presiden Bogor. Dua kegiatan terakhir ini bermula dari wangsit. Lalu apa sebenarnya wangsit itu ? Sebuah ungkapan yang biasa dijadikan modal larisnya praktek – praktek paranormal dan dukun. Padahal, menurut Permadi dan Ki Gendeng Pamungkas yang dikenal para normal itu, orang yang suka minta wejangan kepada dukun dan paranormal adalah orang – orang yang sudah luntur dan hilang kepercayaan dirinya. Kalau kepercayaan diri sudah hilang, apa masih tersisa keinginan untuk berbuat ? Jadi, isu “Kolor ijo”, tuyul atau bahkan merebaknya tayangan – tayangan berbau mistis di televisi kita adalah gambaran sesungguhnya tentang masyarakat kita. Wallahu’alam. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletn Gema Mujahidin – Bandung)
Bunuh Diri : Dikdik Dahlan L.
Masih ingat Heryanto ? Siswa kelas VI Sekolah Dasar Muara Sanding IV Garut itu mencoba mengakhir hidupnya dengan cara gantung diri karena malu tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler yang hanya 2.500 perak itu. Nyawa Heryanto bisa diselamatkan, tapi bukan tidak mungkin Heryanto – heryanto lain bisa bermunculan. Terakhir percobaan bunuh diri di kalangan anak belia terjadi pada pertengahan bulan Februari kemarin yang dilakukan oleh Nazar Ali Julian ( 13 tahun) penduduk Desa Ciwalen Kec. Sukaresmi – Cianjur. Republika menemukan selama 2004 terjadi tiga kasus bunuh diri anak. Lalu, selama 2003, sedikitnya terjadi empat kasus serupa.
Sebuah stasiun televisi swasta beberapa hari yang lalu menayangkan berita dua mayat yang bergelantung di dahan sebuah pohon. Warga tidak hanya menyaksikan leher yang tergantung dengan tali, tidak jauh dari lokasi mayat itu ditemukan juga botol minuman keras. Diduga sebelum mereka mengakhiri hidupnya mereka menenggak minuman itu terlebih dahulu. Namun yang pasti, sampai detik ini belum terungkap apa motif yang melatar-belakangi bunuh diri berjama’ah itu.
Fenomena bunuh diri, belakangan seperti telah menjadi pilihan untuk lari dari persoalan, ketimbang harus berfikir, bertindak dan mencari solusi untuk memecahkan persoalan – persoalan yang dihadapinya. Tanpa bermaksud menyalahkan kemajuan teknologi, bukan tidak mungkin tayangan – tayangan tentang perilaku kekerasan di televisi juga banyak berpengaruh dan mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya secara tragis.
Bunuh diri adalah cara meangkhiri hidup. Artinya, si pelaku sudah tidak memiliki kesanggupan, kesiapan, dan kenyamanan untuk hidup dan melanjutkan kehidupannya sampai ajal yang telah ditentukan Tuhan menjemput. Lalu sebenarnya apa yang menjadi factor hilangnya kesangguipan, kesiapan dan kenyamanan hidup itu ? Jawabnya, banyak factor.
Islam sendiri sangat menghargai kehidupan. Salah satu bukti, Islam melalui lisan para Nabi dan para pewarisnya yaitu ulama, sampai detik ini tetap mengharamkan percobaan pembunuhan sekalipun kepada seonggok jabang bayi yang baru terjadi pembuahan (Abortus Provocatus kriminalis). Karena itu pula, kehidupan seorang mukmin yang memiliki kebersihan tauhid selalu menyertakan sikaf khauf dan raja’. Di satu pihak ia akan selalu takut kepada Allah sehingga karenya ia selalu rendah hati dan tidak takabur, sementara di lain pihak hidupnya pun selalu optimis, karena ia yakin rahman dan rahim Allah akan selalu menyertainya. Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuan. Seberat apapun persoalan yang dihadapi, tentu adalah hasil pertimbangan Allah bahwa : persoalan itu mampu dipecahkan dan pasti ada jalan keluarnya. Hiduplah secara mulia atau mati dalam keadaan syahid, bukan sia – sia. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletn Gema Mujahidin – Bandung)
Sebuah stasiun televisi swasta beberapa hari yang lalu menayangkan berita dua mayat yang bergelantung di dahan sebuah pohon. Warga tidak hanya menyaksikan leher yang tergantung dengan tali, tidak jauh dari lokasi mayat itu ditemukan juga botol minuman keras. Diduga sebelum mereka mengakhiri hidupnya mereka menenggak minuman itu terlebih dahulu. Namun yang pasti, sampai detik ini belum terungkap apa motif yang melatar-belakangi bunuh diri berjama’ah itu.
Fenomena bunuh diri, belakangan seperti telah menjadi pilihan untuk lari dari persoalan, ketimbang harus berfikir, bertindak dan mencari solusi untuk memecahkan persoalan – persoalan yang dihadapinya. Tanpa bermaksud menyalahkan kemajuan teknologi, bukan tidak mungkin tayangan – tayangan tentang perilaku kekerasan di televisi juga banyak berpengaruh dan mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya secara tragis.
Bunuh diri adalah cara meangkhiri hidup. Artinya, si pelaku sudah tidak memiliki kesanggupan, kesiapan, dan kenyamanan untuk hidup dan melanjutkan kehidupannya sampai ajal yang telah ditentukan Tuhan menjemput. Lalu sebenarnya apa yang menjadi factor hilangnya kesangguipan, kesiapan dan kenyamanan hidup itu ? Jawabnya, banyak factor.
Islam sendiri sangat menghargai kehidupan. Salah satu bukti, Islam melalui lisan para Nabi dan para pewarisnya yaitu ulama, sampai detik ini tetap mengharamkan percobaan pembunuhan sekalipun kepada seonggok jabang bayi yang baru terjadi pembuahan (Abortus Provocatus kriminalis). Karena itu pula, kehidupan seorang mukmin yang memiliki kebersihan tauhid selalu menyertakan sikaf khauf dan raja’. Di satu pihak ia akan selalu takut kepada Allah sehingga karenya ia selalu rendah hati dan tidak takabur, sementara di lain pihak hidupnya pun selalu optimis, karena ia yakin rahman dan rahim Allah akan selalu menyertainya. Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuan. Seberat apapun persoalan yang dihadapi, tentu adalah hasil pertimbangan Allah bahwa : persoalan itu mampu dipecahkan dan pasti ada jalan keluarnya. Hiduplah secara mulia atau mati dalam keadaan syahid, bukan sia – sia. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletn Gema Mujahidin – Bandung)
Langganan:
Postingan (Atom)