Abah Uca

Sabtu, 10 April 2010

Obrolan Imajiner Abah Uca dengan Nabi Ibrahim : Dikdik Dahlan L.

“Heran, kok bisa ya Anda menyanggupi menyembelih anak sendiri ?”
Mendengar pertanyaan Abah Uca seperti itu, Nabi Ibrahim menjawab : “Tentu, karena aku yakin sekali bahwa Allah menciptakan segala sesuatu tak mungkin sia-sia, Allah menggelindingkan dan memutar sesuatu pun, tentu tidak akan ada yang sia-sia, begitu juga perintah untuk menyembelih putraku lewat tanganku sendiri, insya Allah tidak akan sia-sia. Abah tahu nggak kalau saya pernah dihukum oleh penguasa dengan dilempar ke bara api ? Bukankah Ismail yang masih bayi pun pernah aku tinggalkan bersama ibunya di sebuah lembah tanpa perbekalan yang mencukupi ? Bulu kuduk saya juga sempat berdiri ketika mendengar cerita istriku di saat ia berlari – lari antara bukit Shafa dan Marwa untuk mencari setetes air, aku bayangkan betapa bengkak-bengkaknya kaki istriku, betapa paraunya tenggorokan anakku yang terus menangis dan berteriak sambil menahan haus. Jantungku berdetak keras ketika mendengar cerita itu, karena memang Ismail yang masih bayi itu belum pantas untuk menerima cobaan seberat itu. Tapi kemudian, atas kehendak Allah pula istri dan anakku mampu keluar dari cobaan itu. Abah sendiri bagaimana, seandainya menerima perintah yang sama untuk menyembelih anak sendiri ?”
“Emmmh…..?” tak ada jawaban dari mulut Abah Uca.
“Kalau Abah disuruh bunuh istri ? atau disuruh bakar rumah sendiri ? atau disuruh mencokel mata sendiri ?
“Eueu…. “ jemari Abah Uca menggaruk – garuk rambut kepalanya sendiri.
“Untunglah yang diperintahkan selanjutnya hanya sekedar memotong hewan ternak. Engga ada apa – apanya itu, apalagi tidak sampai wajib, kan ?”
“Engga ada apa – apanya bagaimana ?” mulut Abah Uca tanggung nyeplos.
“Ya engga ada apa – apa kalau dibandingkan dengan apa yang pernah kamu rasakan. Coba, berapa liter air yang pernah engkau gunakan selama hidup, gratis lagi. Kalau pun bayar, insya Allah tidak akan pernah seimbang dengan kemanfaatan yang kamu reguk dari setetes air sekalipun. Ketika aku khawatir tidak memiliki keturunan, aku berdoa tiap saat dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Kemudian Allah mengabulkan permohonanku itu, maka ketika Allah hendak mengambilnya kembali, apa pantas saya harus mengingkarinya ? Dulu, ketika kamu belum punya rumah, saya yakin kamu juga berdo’a kepada Allah dan kemudian Allah mengabulkannya lewat cara apapun bahkan kamu merasa bahwa itu hasil usaha kamu sendiri. Kalau kamu yakin bahwa itu rizki dari Allah, kenapa tak menjawab ketika saya tanya dengan pengandaian tadi ? (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Bulletin Gema Mujahidin Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar