Abah Uca

Minggu, 11 April 2010

Abah Uca Owah : Dikdik Dahlan L.

Terhitung sejak tanggal 6 Juli 2004 Abah Uca kelihatan murung. Selain sekedar pergi ke mesjid untuk berjama’ah shalat fardlu lima waktu, hari-hari Abah Uca hanya dihabiskan untuk mengurung diri di dalam rumahnya.
Namun dua hari terakhir ini, sama sekali malah tidak terlihat batang hidungnya, sekalipun di teras mesjid. Memperhatikan gelagat ini, salah seorang jama’ah yang masih tergolong muda, menyengaja datang menjenguk ke rumah Abah Uca. Cukup lama ia mematung di depan daun pintu menunggu jawaban salamnya. Baru kali ketiga ucapan salamnya ada yang menjawab, dan tak lain adalah Abah Uca sendiri. Keheranan semakin menjadi setelah matanya secara tak sengaja melihat sebuah tas ransel, seonggok dus bertali rapia dan sehelai tikar yang tergulung rapi.
“Barang punya siapa, Bah ?”
“Punya Abah “
“Memangnya mau ke mana ?” susulnya
“Tapa”
“Oooh…. Pasti Abah kecewa dengan hasil pemilu presiden kemarin, ya ?
“Apa mungkin Allah sudah buta ?”
“Ditanya, kok malah balik nanya, si Abah mah !”
“Tapi, begitu ‘kan realitasnya ? Hampir semua orang meyakini kebersihan, keberanian dan kecerdasannya, tapi semua orang meninggalkannya”.
“Kita ambil saja hikmahnya !”
“Itu mah retorika orang kalah” sungutnya sambil melotot
“Sepak bola juga ada yang kalah dan menang atuh Bah. Tuh di DPR juga kalau enggak bisa diambil secara mupakat mah, diambil voting, ada yang menang dan kalah juga “
“Termasuk kalah dicurangi ?”
“Hiss, jangan gegabah nanti terdengar sama cakcak bodas ! Kalau memang ada bukti, adukan saja atuh, Bah ! Yang pasti jangan mengira – ngira apalagi menuduh dan memfitnah. Jangan – jangan, karena kita yang gegabah ngomong, idola Abah yang bersih, jujur dan berani itu malah jadi ternoda oleh bibir Abah sendiri. Kalau ada indikasi kecurangan, barangkali karena Tim Sukses Capres Abah itu maksimal dalam kampanye tapi tidak memiliki senjata ampuh untuk menangkal berbagai indikasi kecurangan selama dan pasca Pemilu. Nah, mungkin inilah salah satu hikmah yang dapat kita petik”
“Hikmah – hikmah, weh. Ateul aing mah !”
“Owah sugan si Abah teh ?” (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar