Abah Uca

Minggu, 11 April 2010

Abah Uca Unjuk Rasa : Dikdik Dahlan L.

Dihadapkan dengan nama-nama Akbar Tanjung, Megawati, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid, Abah Uca jelas tidak ada apa-apanya. Orang yang kenal kepada Abah Uca mungkin hanya sebatas kerabat, teman lama dan warga sekampung, tapi kepada Ketua umum Golkar, PDI Perjuangan, Ketua PAN apalagi Presiden mungkin hanya hitungan jari yang tidak mengenalnya. Bahkan akhir-akhir ini, keempat nama tadi seakan-akan menjadi maskot berbagai unjuk rasa, kerusuhan, demonstrasi, dan sewaktu-waktu nyaris menjadi “Nabi” atau justru sebaliknya diposisikan sebagai kambing hitam dengan resiko setiap saat mesti siap untuk dijegal, ditendang bahkan dibuang sekalipun.
Adalah Abah Uca, hari itu berdandan beda dengan hari-hari biasanya. Selepas shalat shubuh ia turun dari rumah panggungnya bercelana hitam rapi, bersepatu mengkilap dengan rambut tersisir rapi tanpa topi, tanpa kopiah bahkan cenderung lengket menyebarkan aroma wangi minyak rambut. Dari lehernya tergantung selembar dasi berwarna hitam garis putih menutup sebagian bulatan kancing bajunya yang berwarna putih, rapi dan juga menebar wangi parfum bahkan sedikit agak menyengat.
Hari itu, setiap orang yang berpapasan dengan Abah Uca dapat dipastikan muncul keinginan sekalipun sekedar untuk melirik apa yang ditempelkan di baju putihnya. Di dada kirinya tergantung gambar plus tulisan “Abdurrahman Wahid No !”, kemudian dibawahnya gambar plus tulisan “Akbar Tanjung No !”, sedangkan di dada kirinya tergantung pula gambar dan tulisan “Amien Rais No !” kemudian di bawahnya gambar plus tulisan “Megawati No !”.
Seharian penuh ia berjalan menelusuri jalan ramai, keluar masuk gang, tempat perbelanjaan bahkan untuk beberapa saat sering menyengaja berdiri mematung di perempatan atau pertigaan jalan. Seharian penuh pula ia nyaris menjadi tontonan gratis sekalipun tidak terlalu menghibur, kecuali pada saat ia dipanggil untuk bersujud menunaikan shalat fardlu. Ia berganti pakaian : berpeci hitam, memakai baju takwa, dan bersarung. Sedangkan pakaian “dinasnya” hari itu, sesaat sebelum wudlu pun sudah dilipatnya. Ketika ditanya alasan ganti pakaian, Abah Uca menjawab : “Kadang-kadang di tengah-tengah pergulatan ritual dengan Tuhan pun, manusia tidak jujur”.
Setelah shalat, pakaian “dinasnya” dipakainya lagi, kemudian berjalan lagi, menjadi tontonan lagi serta setiap orang yang berpapasan selalu melirik, dan membaca lagi apa yang ditempelkan di bajunya. Abah Uca sendiri terus berjalan tak acuh, tanpa ekspresi, seakan-akan tak terjadi apa- apa dengan dirinya. Ia hanya membalas anggukan kepala dan senyum kepada orang yang melempar senyum dan anggukan kepala atau menerima jabat tangan dari orang yang sengaja ingin berjabat tangan. Setelah itu, setelah berlalu dari hadapannya, Abah Uca kembali berjalan tanpa ekspresi. Berbeda dengan orang yang memperhatikannya. Setiap orang yang berhasil membaca serta menyimak gambar dan tulisan di bagian depan baju Abah Uca dapat dipastikan terdorong pula untuk melirik kembali sosok lelaki berangsur renta itu sekalipun hanya sekedar melihat punggungnya. Tapi justru dipunggungnya, kembali orang terperangah dan berusaha untuk kembali membaca sesuatu. Di punggung baju putih Abah Uca tergambar sebuah kepulan asap yang berpangkal dari belahan celana bagian pantatnya seakan-akan menggambarkan kepulan asap “kentut”. Di bagian dalam gambar kepulan asap itu jelas tertulis : “KEJUJURAN, YES !”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin – Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar