Abah Uca

Minggu, 11 April 2010

Kegelisahan Abah Uca : Dikdik Dahlan L.

“Waktu itu dingin, tidak berperikemanusiaan, tidak berperikebinatangan bahkan sama sekali tidak berperikemakhlukan. Seluruh makhluk, tidak dikecualikan selalu bergesekan dengan waktu, tidak hanya bertetangga tapi hidup bersama waktu. Tapi waktu memang begitu, tak mau tahu dengan persoalan orang lain. Coba bayangkan, betapa banyak mahasiswa yang terancam drop out, tapi karena memang sibuk demo, boro – boro ngegarap skripsi. Nah, waktu mah enggak mau tahu, terus aja menggerogoti kesempatan”.
“Waktu itu memang bebal. Saya ini udah bosan hidup, saya perkirakan paling cuma tiga atau empat tahun lagi kesempatan hidup saya. Tapi dasar waktu, dia enggak mau khianat dengan mempercepat langkahnya. Apa memang saya ini sudah bosan hidup ? Bagaimana tidak bosan ? Orang lain mah dalam waktu satu jam saja bisa menghasilkan uang sekian juta rupiah, buat kita mah boro – boro satu juta, seribu perak juga kadang sampai kadang tidak. Orang lain mah dalam waktu dua puluh empat jam teh bisa mengurus rakyat, memberikan ketenangan dan keamanan kepada sekian juta manusia, kita mah dalam tempo yang sama malah sering tidak bisa memanfaatkan waktu hanya sekedar mengurusi diri sendiri. Orang lain mah dalam waktu delapan jam waktu kerja teh bisa menghasilkan sekian kemanfaatan kepada orang lain, kita mah dalam waktu yang sama itu hanya bisa termanfaatkan untuk makan, main dan melamun tak berujung, tak berpangkal. Orang lain mah tidur teh cukup hanya empat sampai lima jam sehari, kita mah sepuluh jam saja belum cukup. Lebih parah lagi, kita mah makan teh hanya butuh waktu tidak lebih dari 30 menit, orang lain mah sepuluh menit juga cukup”.
“Kalau saja waktu itu bisa diatur sedemikian rupa, barangkali tidak sepatutnya saya harus bosan hidup. Apa memang waktu itu tidak bisa diatur ? Ah, kayaknya bisa. Atau justru kita yang di atur waktu ? Memangnya waktu bisa ngatur ? Bukankah manusia makhluk paling sempurna ? Lalu waktu itu apa ?
“Kata sebagian orang, waktu itu adalah uang. Karena itu, bagi mereka tidak mengherankan kalau setiap detik dalam benaknya adalah bagaimana cara mengeruk uang sebanyak – banyaknya. Kata yang lain, waktu itu adalah pedang, seperti sebuah benda mati yang tajam dan dahulu biasa dipergunakan sebagai senjata melawan musuh. Memangnya waktu itu seluruhnya hanya untuk melawan musuh ? Kalau tidak punya musuh ? Apa mugkin pedang itu bisa melukai tuannya ? Sangat mungkin, seperti juga waktu, kalau tidak dimanfaatkan, secara perlahan bisa membunuh siapa saja; membunuh cita dan harapan seseorang. Nah, kalau menurut kita sendiri apa ? Apa bagi kita, waktu itu uang, pedang, kambing, kebo, atau … ? Tik, tok, tik, tok… satu menit. Tik, tok, tik, tok… dua menit …, terus saja berjalan si kehed mah, tidak peduli saya teh lagi mikirin manehna“. Gerutunya, sambil melilitkan serban ke lehernya menahan dingin malam tahun baru. Dari tempat duduknya di beranda rumah, lewat celah daun pintu yang terbuka sedikit ia menengok jam dinding yang menempel di ruang tengah.
“Sabelas saparapat, empat lima menit lagi …” (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin - Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar