Abah Uca

Senin, 12 April 2010

Serakah : Dikdik Dahlan L.

Menjelang maghrib, di sebuah sudut stasiun Kiara condong berkumpul tiga orang manusia berbeda usia. Dua diantara mereka adalah perempuan, satu berusia lanjut dan yang lainnya masih anak-anak. Kedua orang ini sepertinya pasangan seorang nenek dengan cucunya. Sedangkan satu orang lagi diperkirakan berumur antara 35 sampai 40 tahun, masih belia. Ia mengenakan pakaian wanita, memakai lipstik juga celak mata dan bersepatu hak tinggi. Tapi suara dan beberapa bagian tubuhnya tidak bisa ia sembunyikan dari identitas sebenarnya, laki-laki. Dari tadi, ia selalu memanggil dirinya dengan nama Rosa.
“Iih, hari ini mah Rosa sial. Masa cuma dapet delapan belas ribu perak”
“Emangnya Rosa pingin dapet berapa ?”
“Biasanya juga enggak kurang dari tiga puluh. Emang apes, ini hari mah. Ema sendiri dapet berapa ?”
“Kalau bagi ema mah, berapa pun sih, ya disyukuri saja. Wong, kita cuma minta – minta, kok. Modal kita mah cuma menahan malu”. Tangannya meraih kepala si cucu yang tengah terkantuk-kantuk, lalu disandarkannya di dadanya sendiri.
“Emangnya ema malu ?
“Dulu sih iya, tapi sekarang mah enggak. Nagapain pake malu segala, tuh banyak orang yang serakah, pada enggak malu…”
“Tapi, serakah itu bisa jadi maju lho “. potong rosa, centil. ”Contonya, dulu orang Belanda, ngapain mereka datang ke Indonesia kalau bukan di dorong oleh sifat keserakahan, lalu mereka menjajah kita. Nah, sekarang juga banyak orang yang sedang mencoba meneliti tentang kemungkinan hidup di beberapa planet selain bumi. Apa itu bukan serakah. Ema juga kalau lagi ngamen suka melihat orang-orang berdasi. Mereka itu juga sama engga cukup dengan yang dimilikinya sekarang. Sudah suaminya bekerja, istrinya bekerja juga, eeh di rumahnya buka juga warung. Malah di kantor mereka, masing-masing punya sampingan. Kita mah cuma ngamen, titik. Itupun dengan mengorbankan anak cucu yang sengaja tidak kita sekolahkan. Rosa yakin, kalau ema engga bawa cucu, pendapatan ema engga bakal segitu banyak. Jadi memang harus serakah ?”
“Aah, sudah. Bingung ema mah, pake ngomong-ngomong planet segala. Tuh keretanya sudah datang”.
(Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Buletin Gema Mujahidin - Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar