Abah Uca

Minggu, 11 April 2010

Rumitnya Pengangguran dan Rendahnya Kemauan : Dikdik Dahlan L.

Konon sekira 40 % dari angkatan kerja bangsa Indonesia saat ini tergolong sebagai penganggur alias tidak punya pekerjaan yang menghasilkan nafkah. Diperkirakan setiap tahunnya angka itu akan terus membengkak sebanyak satu juta orang pertahun apabila kondisi perekonomian bangsa gemah ripah loh jinawi ini tidak berubah. Anak – anak muda Jawa Barat yang tergolong ke dalam angka 40 % itu suka berseloroh menamakan dirinya sebagai “pejabat”, pengangguran Jawa Barat. Agak kepinggir sedikit, mereka menyebutnya Ujang atau Neng “Hardolin” yang kerjaan sehari – harinya hanya sekedar dahar, (maaf) modol dan ulin (Makan, Buang Air Besar dan Main- main).
Dalam sebuah obrolan teman saya ada yang su’udzhon, konon katanya pula sebagian golongan yang saat ini ramai – ramai ikut bursa calon legislative, terutama untuk tingkat Kabupaten dan Kota tidak sedikit yang berasal dari para penganggur. Bedanya, sedikit diantara mereka ada yang diembel – embeli oleh gelar kesarjanaan sehingga kerennya disebut “penganggur intelek”, atau secara kebetulan punya “modal”, baik berupa uang bapaknya, berupa peluang karena pengabdiannya kepada partai atau sekedar modal nekad plus tebal muka untuk sekedar luar – leor dina raraga ngedeukeutan, ngadeuheus, ngadodoho bahkan mungkin ngabeubeutkeun batur sakastrol. Padahal, modal yang disebut “modal” Caleg itu minimal sakieu keur pendaftaran, sakitu kontribusi ka partai, sa-eheu keur kampanye, pokna transparan.
Pengangguran dan lapangan kerja seperti menjadi momok menyeramkan terutama di kalangan para petinggi negara. Mereka mungkin sadar kadzal fakru ayakunal kufro, kondisi fakir yang diderita oleh seseorang sangat mungkin memotivasi untuk berbuat kufur. Pengangguran ditakutkan akan menjadi penyulut merebaknya kriminalitas.
Konon, kata Aa Gym sebenarnya tidak perlu ada pengangguran kalau mau melaksanakan kita 3M-nya, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari yang kecil. Cukupkah wejangan Aa Gym itu ?
Dalam sebuah film mandarin yang sudah lupa judul dan pemerannya ada satu dialog yang sampai detik ini masih teringat sekalipun film itu dijajakan di bioskop bioskop sekira sepuluh tahun yang lalu. Dihadapan gurunya, seorang murid mengadu tentang sukarnya latihan yang harus ia jalani “Aku tidak mampu”. Gurunya menimpali “Bukan tidak mampu, tidak mau”. Sejak itu semakin lengketlah dengan ungkapan “ada kemauan ada jalan”, “Banyak jalan menuju Roma”. Dalam bahasa agama, kemauan itu mungkin adalah niat : innamal ‘amalu bin niyat. Bukan sekedar amal yang mengiringi niat tapi lebih dari itu niat memotivasi dan menjiwai amal. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar