Abah Uca

Minggu, 11 April 2010

Selebritis dan Abah Uca : Dikdik Dahlan L.

Berita selebritis nampaknya tak pernah habis seiring bermunculannya segudang selebritis lainnya yang datang kemudian.
Menonton tayangan tentang aktivitas berikut obrolan dengan wajah-wajah cantik dan tampan sepertinya tak kunjung membosankan. Hampir seluruh stasiun televisi memiliki program serupa. Alhasil, hampir setiap hari para pemirsa disuguhi oleh berita-berita seputar mereka. Lihatlah Betis (Berita Selebritis), Cek & Ricek, Kabar-kabari, Ngobras (Ngobrol Bareng Indra Safera), Kiss (Kisah Seputar Selebritis), Go Show, dan sejumlah nama program serupa lainnya.
Seorang putri remaja di sebuah desa yang belum terjamah angkutan pedesaan dengan lugas dan penuh percaya diri memaparkan dari ujung rambut sampai ujung mata kaki tentang Ayu Azhari, tentang Iis Dahlia, Desy Ratnasari dan segudang selebritis lainnya. Tapi jangan aneh, tiba-tiba si putri diam seribu bahasa ketika ditanya tentang perjuangan Imam Bonjol, Muh.Hatta apalagi tentang riwayat Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin serta shahabat Rasul lainnya.
Berita selebritis telah menjadi kebutuhan harian sebagian masyarakat kita. Bagi sebagian pemirsa, ucapan, pakaian, mode rambut, sampai bagaimana cara batuk dan bersinnya seorang selebritis bisa menjadi sumber rujukan aktivitas dan perilaku keseharian mereka. Bagi kelompok masyarakat lain, agaknya tayangan selebritis juga menjadi hiburan sekaligus obat pelipur lara di tengah kebingungan dan krisis multi dimensional yang semakin menghimpit.
Adalah Abah Uca yang selama ini justru merasa sakit hati dengan tayangan-tayangan tentang selebritis ini. Mulutnya mengacau hampir ke semua tetangga yang dijumpainya : “Kapan sih kehidupan ini berpihak kepada rakyat kecil ? Kenapa sih gambaran rakyat kecil seperti kita ini seakan-akan tabu untuk diperlihatkan ? Apa memang semua orang telah menjadi penjilat, sudah tebal muka, dan tidak mau jujur dengan apa yang dimiliki ? Melalui sinetron-sinetron, kita dipaksa menikmati gambaran tentang kehidupan sebagian kecil saja masyarakat kita yang memiliki rumah bagai istana dengan kendaraan mengkilat berjejer. Kita juga sering dipaksa membersihkan halaman dan selokan, bergotong royong menambal jalan desa yang bolong-bolong manakala pejabat mau lewat di depan rumah. Diskusi atau seminar sepertinya tak dinilai bermutu kalau tidak diselenggarakn di hotel-hotel berbintang. Bangsa kita sepertinya tak pernah memiliki rakyatnya yang melarat karena yang ditayangkan adalah cukup sebatas selebritis yang sangat biasa pulang pergi ke luar negeri, keluar-masuk salon dan mall untuk sekedar ganti baju dan lipstik. Bukan menayangkan kami, si Abah Uca yang pernah menjual kompan dan jerigen minyak tanah untuk sekedar membeli ikan asin atau kehidupan para nelayan, petani, buruh, sopir bajaj dan banyak rakyat melarat lainnya.
Rakyat melarat seperti kita hanya dibutuhkan untuk sekedar “atas nama”, setelah itu “dikipas-kipas”, tapi tak pernah diberi “angin”. Mungkin termasuk Pak Bendot (Alm). Untuk siapa sebenarnya ia berkata ?”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin – Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar