Abah Uca

Senin, 12 April 2010

Pengaduan : Dikdik Dahlan L

Ketika tulisan ini sampai di tangan para pembaca, saya tepat berusia 41 tahun. Tanggal yang disebut sebagai tanggal kelahiran saya itu sebenarnya bukan tanggal yang pasti karena di ijazah Sekolah Dasar, dulu tertulis 12 Juni kemudian di rubah menjadi 13 Juli sekedar untuk menyeragamkan dengan ijazah SLTP, SMU bahkan Sertifikat Taman Kanak-kanak. Sedangkan ayah saya semasa hidupnya berkeyakinan bahwa tanggal kelahiran saya adalah tanggal 11 Juni.
Kenangan masa kanak-kanak sering menjadi hiasan indah dalam kehidupan seseorang. Bagi saya, kebahagiaan itu mungkin sedikit terbatasi karena harus bergelut dengan sebuah penyakit yang menyerang selama kurang lebih tiga tahun. Namun demikian, seperti anak-anak lainnya saya sempat menikmati bermain petak umpet, berlari menelusuri gang-gang, atau bahkan bertengkar, beradu mulut dan biasanya berakhir dengan tangisan.
Ada yang menarik dan sering harus tertawa sendiri kalau mengingat pertengkaran di antara kami, sewaktu masih tergolong ingusan. Waktu itu, kalau bertengkar, biasanya kami menyebut seseorang atau sesuatu yang dijadikan tempat pengaduan dan kemudian lawan bicara pun akan mencari tempat pengaduan yang lebih tinggi, lebih disegani dan lebih ditakuti. Bila lawan bicara menyebut kakaknya sebagai tempat pengaduan, maka saya akan menyebut ayah sebagai tempat pengaduan, kemudian si lawan bicara pun mencari pengaduan yang sekiranya dapat mengalahkan ayah.
“Sok, bejakeun siah ka pulisi (saya adukan kamu ke polisi)”
Mendengar polisi yang menjadi tempat pengaduannya maka saya akan berkata : “Keun bae, bejaken wae ka tentara ! (enggak masalah, saya adukan saja kamu ke tentara !)”
“Sok, abdi mah rek bebeja wae ka Presiden ! (Silahkan, saya akan mengadukan kamu kepada presiden !)”.
Dalam benak kami, anak-anak ingusan saat itu, presiden adalah orang yang paling tinggi, paling disegani, dan tidak ada manusia lain yang bisa menandinginya. Polisi, maupun tentara saja yang dilengkapi dengan berbagai senjata sekalipun, tetap harus tunduk kepada perintah presiden. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali membawa nama tuhan :
“Keun bae, bejakeun wae ka Allah (enggak masalah, saya adukan saja kamu kepada Allah !)”
Mendengar Allah yang dijadikan tempat pengaduan, kontan anak yang menjadi lawan pertengkaran terdiam dan biasanya langsung menangis. Allah, dalam pandangan kami yang masih ingusan waktu itu, adalah Dzat yang paling tinggi, paling perkasa, paling berkuasa, dan tidak mungkin ada sesuatu pun yang mampu melebihi kebesaran, dan keperkasaan-Nya. Dalam pandangan kami, segala kehendak dan keputusan Allah tidak mungkin dapat dicegah atau ditolak oleh hamparan laut yang luas, oleh gunung yang berdiri kokoh, oleh gajah yang kami kenal sebagai hewan terbesar, termasuk oleh seorang presiden yang polisi dan tentara saja tunduk kepadanya.
Tapi itu dulu, kurang dari tiga puluh tahun silam. Sekarang, tahun 2001 ini, polisi sudah berani “membangkang” kepada presiden, dan sang presiden pun mulai berani protes pada Tuhan. Jadi, kalau dulu anak yang bertengkar setelah mendengar Allah sebagai tempat pengaduan menangis, saya khawatir anak-anak sekarang malah tertawa dan dia bilang : “Ah, teu sieun ku Allah ayeuna mah, bejakeun wae ka Gus Dur (Ngapain, sekarang udah kagak takut lagi sama Allah, saya adukan kamu ke Gus Dur)”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar