Abah Uca

Senin, 12 April 2010

Titip Do'a untuk Cucu : Dikdik Dahlan L.

Setelah selama enam hari bergelut dengan setumpuk pekerjaan teriring sekian persoalan yang datang silih berganti, setiap Sabtu siang selalu menyempatkan diri pulang kampung menengok keluarga. Kurang lebih empat jam lamanya waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak dari Bandung ke rumah mertua dan selalu menyisakan rasa capek serta pegal linu di beberapa persendian. Satu kali jalan, paling tidak harus empat kali berganti kendaraan roda empat plus satu kali naik ojeg.
Sudah lebih dari empat tahun hal itu dijalani terhias suka-duka. Di satu sisi, tersimpan satu kebanggaan karena si kecil yang baru berusia tiga setengah tahun itu selama ini dibesarkan di tengah keakraban dengan alam pegunungan, bersama hijaunya rerumputan, bersama nakalnya ayam, bebek, bahkan ikan di kolam pinggir rumah. Ia bahkan sekarang lebih pandai ketimbang ayahnya sendiri berlari di pematang sawah. Di lain sisi, terbesit perasaan berdosa karena dalam seminggu, sebagai seorang ayah hanya mampu menyisakan waktu selama satu hari dua malam untuk bercengkrama.
Setiap Sabtu sore atau sudah masuk dalam kegelapan malam, bila ada suara motor yang berhenti di depan rumah, si kecil pasti berlari dan memastikan bahwa yang turun dari ojeg itu adalah ayahnya. Ia menghampiriku, menyalamiku, kemudian aku memangku dan memeluknya. Ia tersenyum, dan sekejap saja kami sudah terlibat dalam obrolan antara seorang ayah dengan anaknya. Sesekali kalau aku membawa sesuatu, ia pasti akan bertanya tentang apa yang dibawa, dan untuk siapa bawaan itu. Sekejap saja, rasa capek dan pegal linu setelah empat jam perjalanan, setelah enam hari memeras otak dan tenaga di tempat kerja hilang di balik senyum mungil si kecil yang selama dalam pangkuanku ia bercerita tentang layangannya yang putus, tentang pedangnya yang patah, atau tentang pensil dan penghapusnya yang minta diganti karena hilang. Beberapa kali air mata ini sempat berlinang sekalipun selalu berhasil kusembunyikan dihadapannya. Itulah barangkali, bukti bahwa anak adalah perhiasan kehidupan, sehingga tenaga dan pikiran, lelah dan kantuk sering hilang dengan sendirinya ketika si kecil melempar senyum dan menyapa dengan kelembutannya. Hanya saja, kita sering lupa kalau kita pernah kecil seperti si kecil sekarang yang selalu menumbuhkan kebanggaan, membesarkan hati, memompa semangat bahkan menjadi pelepas dahaga orang tua. Karena keangkuhan, ketakaburan dan berlindung dari “kesibukan” sering kita lupa akan tugas kita untuk mengembangkan senyum orang tua yang sudah mulai renta. Bahkan sering pula kita dengan sengaja tak mau mendengar sekedar cerita atau keluhan orang tua yang dilontarkanya secara terbata-bata.
“Robighfirli wa liwalidaya warhamhuma kama robbayani shagira” do’a itulah yang diajarkan kepada si kecil beberapa hari ini kalau kebetulan ia minta uang jajan. Ia tak akan menerima uang recehan sebelum dengan lantang mengucapkan doa itu. Sengaja hal ini dipaksakan sejak dini kepada si kecil dengan harapan agar anaknya (cucuku) kelak pun pandai mendo’akannya, bukan sekedar senyum, bukan sekedar menyerahkan oleh-oleh setiap kali datang menjenguk, tapi lebih dalam lagi adalah ketulusan do’a dan pancaran kebahagiaan dari raut wajah orang tua sebagai imbas dari sikap untuk membahagiakannya. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buletin Gema Mujahidin Bandung, saat usia anak cikalku berusia 3 tahun lebih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar