Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Akhir Sebuah Nadzar : Dikdik Dahlan L.

Dua puluh tiga Desember sembilan puluh tiga, batas akhir nadzarku. Sejak seminggu menjelang tibanya tanggal itu, aku dihadapkan kepada dua kebimbangan. Berusaha mencari sampai habis kepenasaranan, atau melupakannya sama sekali ? Mengambil pilihan pertama, berarti harus meninggalkan pekerjaan dengan konsekwensi pemutusan hubungan kerja, karena belum tentu sampai kapan harus mencari. Untuk melupakannya, aku belum siap. Aku masih penasaran.
Betapa tidak, sebelum tidak bertemu selama lima tahun, tiga tahun aku begitu dekat dengannya. Aku terlanjur menganggapnya sebagai adik, dan ia pun memperlakukan aku seperti kakaknya sendiri. Tidak ada ikatan apapun layaknya sepasang remaja. Barangkali karena kelajiman seperti itulah, perpisahan itu terjadi begitu saja. Aku pindah kota karena studi, dan sebulan kemudian keluarganya pindah ke lain kota sebelum aku sempat memberikan alamat. Aku kehilangan jejak.
Sejak saat itu, aku bernadzar : selama lima tahun aku tidak akan berpaling ke lain hati. Sebuah keputusan yang sering mendapat cibiran, cemoohan dan ejekan dari sesama pria. Aku tidak peduli, karena bagiku dia adalah permata. Sebilah permata yang sempat terkubur dalam genangan lumpur. Tertutup jerami apek.
Pertama kali aku mendengar sapaanya, seperti mendengar petir di tengah terik matahari.
“Ngapain lihatin gue, anjing ?”. Ketika itu ia masih berseragam SLTP, putih biru. Kedua lengan bajunya dilipat, hampir setengah dari pahanya ia pertontonkan untuk siapapun yang hendak menikmati pemandangan gratis itu. Rambutnya berjambul, gincu bibirnya sangat menyolok dan matanya yang liar memperpanjang tarikan napasku.
Dalam waktu dua minggu aku berhasil mendekatinya. Dia sudah mampu memanggil nama asliku, bukan “anjing”. Sepertinya ia mendapat teman baru.
Ternyata dugaanku salah. Dia menganggap aku adalah mangsa baru. Sudah dua puluh dua orang lelaki yang menjadi mangsanya. Aku adalah yang ke dua puluh tiga. Ia mengobral cinta dan asmara, untuk kemudian ia perdaya, ia sakiti, ia buang seperti sampah menjijikan dan ia ludahi dengan kepuasannya. Ia menargetkan seratus orang laki-laki untuk dijadikan mangsanya. Lapar, buas, atau hoby ? Aku tak habis pikir. Inikah yang disebut buaya betina ? Bukankah istilah “buaya betina” itu ditujukan untuk para pria play boy, yang memiliki hoby mencari dan mempermainkan para wanita ? Bukan wanita seperti buaya yang senang memangsa pria.
“Laki laki semuanya sama, buaya”. Aku tidak berkomentar atas pernyataannya itu. Buang buang waktu, ia bukan tipe wanita yang mudah menyerah untuk didebat. Sepertinya, ia tidak hanya membutuhkan sekedar petuah lisan.
Buktinya, semakin hari, aku semakin banyak mendapat peluang untuk menempatkan kehadiranku dalam hidupnya. Ia ternyata tidak menganggapku sebagai buaya, dan ia pun tidak mencampakkanku seperti sampah, seperti kepada laki-laki lain. Bahkan, suatu saat aku diajak bertandang ke rumahnya.
Tidak anak, tidak juga ayahnya. Belum sempat aku masuk ke ruang tamunya. Belum sempat aku memperkenalkan diri. Aku diusir ayahnya seperti mengusir kucing borok. Tapi beberapa minggu kemudian aku dengan lapang dada menerima permintaan maaf yang tulus dari seorang pria yang sebaya dengan ayahku itu. Aku mulai dianggap menjadi bagian dari keluarganya.
Tiga tahun aku begitu dekat dengannya, dengan ayah dan ibunya, dengan kakak dan adiknya. Aku sudah tidak risih lagi untuk jalan bareng, bahkan sebaliknya, aku bangga. Waktu pengumuman kelulusan SLTP, ia mendapat tepuk tangan riuh, ia mendapat ciuman wali kelas, ia mendapat dekapan hangat seluruh keluarga. Ia menjadi bintang sekolah. Ia peraih nilai paling tinggi di kotanya.Tidak sia-sia aku memberikan privat semiggu dua kali.
Waktu aku pamit untuk melanjutkan studi. Aku melihat setitik air mata mengalir di relung pipinya. Kejadian yang tak pernah aku saksikan sejak mengenalnya. Secepat kilat ia berusaha memupus air mata itu. Ia senyum. Menundukan wajah. Aku hampir tak percaya dengan mataku sendiri, karena tiga tahun sebelumnya wajahnya itu selalu mendongak penuh kesombongan.
Ketika terakhir kali aku memandangnya ia mengenakan baju biru muda berlengan panjang. Hadiah dariku karena ia berjanji untuk tidak memakai lagi baju-baju mini. Ia juga pernah berkata kalau selama ini ternyata mengenakan celana panjang jauh lebih nyaman.
“Kalau pake kerudung itu wajib, Mas ?” Aku belum sempat menjawabnya. “Tapi, untuk saat ini aku belum siap”. susulnya.

….

Tujuh jam menjelang berakhirnya nadzarku, langkahku terhenti di depan sebuah rumah mungil. Agak susah mencari nomor rumah itu karena terhalang pepohonan yang tumbuh sangat terawat memenuhi seluruh halaman. Aku merasakan kesejukan ketika daun daunnya bergoyang, menghembuskan angin. Beberapa helai daun kecil bahkan sempat singgah di atas sepatuku yang sudah lusuh karena selama tiga hari dipakai berjalan, keluar masuk komplek perumahan, naik turun angkutan mencari alamat yang tidak pernah aku kenal. Selama tiga malam, aku memang seperti orang terlantar. Tidur di stasiun kereta, di terminal bis, di mushola.
Dua kali tangan kananku memijit tombol bel. Seorang gadis kecil membuka daun pintu. Aku melempar senyum kepadanya. Ia berdiri mematung. Menatapku tajam. Menubruk dan merangkul pinggangku. Ia menangis. Di tengah tangisnya Ia berkata sesuatu, tapi tak jelas apa yang dikatakannya. Ketika aku membalas rangkulannya, benakku teringat pada sosok gadis mungil usia lima tahun yang dulu sering duduk di pangkuanku sambil mengunyah permen pemberianku.
Kulit perutku terasa dingin oleh air matanya. Berulang – ulang aku mengusap rambutnya. Ia tidak berhenti menangis dalam dekapanku yang mematung di mulut pintu. Ia baru melepaskan pelukannya setelah mendengar suara ibunya yang memanggil dan menyusulnya. Ia berlari dan memeluk ibunya.
Wanita tengah baya itu sangat aku kenal. Dari sorot mata dan gerak bibirnya ia terlihat sedang menahan keharuan. Aku menganggukkan kepala untuknya. Aku mendekatinya dan berusaha untuk sujud di kakinya. Belum sempat aku menyentuhnya, ia terlihat menggelengkan kepala dan meraih pundakku. Ia meminta aku berdiri. Sambil mengangkat tubuhku, memenuhi permintaanya, tidak lepas aku memandang sorot matanya. Ia memalingkan tatapannya, seperti yang menyembunyikan sesuatu. Ia menangis Keharuannnya memuncak.. Beberapa tetes air mata jatuh di rambutku, di bahu bajuku. Tangis mereka sempat memunculkan dugaan yang tidak- semestinya dalam hatiku.
“Selama satu tahun lebih sejak kami pindah dia terus sakit – sakitan. Dalam tidurnya sering menyebut namamu”
“Jadi ?”
“Masuklah ke dalam, anakku ! Sebentar lagi juga datang” Aku lega mendengarnya. Dia masih tetap menganggapku sebagai anaknya. “Setiap ba’da ashar sampai menjelang maghrib ia selalu menyempatkan diri ke yayasan. Dua tahun yang lalu ia mendirikan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. Perkembangannya juga cukup bagus. Ia memberi nama yayasan itu dengan nama belakangmu. Dia begitu berhutang budi kepadamu. Tidak hanya itu, selama tiga tahun ia bernadzar untuk tidak menerima pria lain”.
Belum sempat pantatku menyentuh kursi yang hendak kududuki, sebuah mobil kijang merah berhenti tepat di halaman rumah.
Seorang wanita berkerudung, turun dari mobil. Melalui kaca jendela yang hampir tertutup gordyn aku berusaha mengenali. Raut wajahnya, matanya, bentuk hidungnya, bibirnya, pipinya, semuanya aku kenal. Ia menghilang terhalang gordyn biru.
“Ia datang” ucap wanita tengah baya itu. Aku menganggukkan kepala. Aku berusaha senyum menyembunyikan debur jantung.
Pintu terbuka. Ucapan salam megiringi derit engsel pintu. Langkahnya terhenti di mulut pintu sesaat setelah matanya menangkap wajahku. Ia mematung. Setitik air mengalir di pipinya menyusul matanya yang berkaca – kaca. Ia tak lepas memandangku. Tangan kanannya mengusap – usap perutnya sendiri.
“Usia kehamilannya sudah delapan bulan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar