Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Mi'raj : Dikdik Dahlan L.

Di Malam penuh berkah itu, sebagaimana yang dituturkannya langsung oleh Rasulullah, sebagai pelaku sejarahnya, beliau diperjalankan (isra’) oleh Allah dari Masjid Haram menuju Masjid Al-Aqsha. Untuk menuju tempat tujuan, Masjid Al-Aqsha, beberapa tempat sempat disinggahinya, Yasthrib, Thursiena, Betlehem.
Tempat-tempat itu adalah tempat-tempat bersejarah dalam pemancangan risalah Allah baik di lihat ke belakang maupun ke depan untuk waktu selanjutnya. Yatshrib yang sekarang dikenal dengan Medinah adalah tempat hijrah nabi yang kemudian menjadi pusat kegiatan kaum Muslimin kelak di kemudian hari. Thursiena, adalah sebuah bukit suci tempat Nabi Musa menerima wahyu, berpuluh tahun sebelum Nabi Muhammad. Adapun Betlehem adalah tempat kelahiran Nabi Isa.
Perjalanan ini seperti mengisyaratkan untuk senantiasa menggali ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala, menengok titian sejarah masa lampau untuk dijadikan cermin atau bahkan mungkin menjadi salah satu tahapan perjalanan menuju kegemilangan di masa yang akan datang. Perjalanan itu sendiri dituntun langsung oleh Malaikat Jibril sebagai tempat bertanya dari kegelapan sejarah, kegalauan hati dari berbagai informasi yang sangat mungkin banyak mempengaruhi langkah-langkah dan perjuangannya menegakan risalah di kemudian hari.
Setelah sampai di Masjid Al-Aqsha, episode kedua dari perjalanan itu adalah Mi’raj. Banyak hal yang ditemui oleh Nabi ketika melakukan Mi’raj ini. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah diterimanya perintah langsung dari Allah untuk menegakkan shalat lima waktu. Kewajiban ini kemudian juga harus disampaikan kepada ummatnya seiring penyampaian tentang perjalanan Isra Mi’raj-nya yang ternyata mendapat sambutan baik dari pecintanya sekaligus cercaan, makian, tuduhan, dan fitnah dari orang-orang yang senantiasa menghalangi upaya penegakan risalah itu.
Mi’raj, dinilai sebagai penghargaan yang paling tinggi diterima Rasulullah di sela-sela aktivitasnya menunaikan titah Allah, menyampaikan dan menegakan risalah. Mi’raj, juga merupakan pengalaman ruhaniah paling tinggi nilainya yang tidak pernah dirasakan oleh nabi dan rasul sebelumnya apalagi manusia – manusia sesudahnya, sehingga karenanya, semangat penegakan risalah kembali memuncak sekalipun di tengah kegalauan hati setelah di tinggal dua orang yang dicintainya : Abu Thalib dan istrinya Khadijah.
Di malam itu, setelah Mi’raj, yang jelas, Nabi kembali di tengah keluarganya, di tengah sahabatnya dan bergumul lagi dalam kehidupan duniawi. Ia tidak terlena dalam dekapan penghargaan yang Allah berikan. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri untuk meraup kenikmatan mi’raj itu, tapi ia kembali ke bumi, kembali ke kehidupan dunia untuk memakmurkannya, mengajak orang-orang yang masih dalam kegelapan, dan kebodohan, untuk bersama-sama menikmati perjumpaan dengan Allah, lewat mi’raj, lewat shalat. Mi’raj tidak berarti lupa akan bumi. Shalat bukan berarti menendang duniawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar