“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Seseungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. Luqman/31: 34)
Tidak semua orang meyakini akan adanya kehidupan akhirat, sekalipun semua orang pasti meyakini bahwa dirinya akan mengalami kematian baik orang mukmin, musyrik, maupun kafir.
Orang yang tidak memiliki keyakinan akan adanya kehidupan akhirat, kematian adalah kematian. Orang mati tidak akan mengalami kejadian apa-apa lagi, karena menurut mereka memang sudah “mati”. Bagi mereka kehidupan dunia adalah segala-galanya, baik dan buruk hanya ditentukan oleh pertimbangan akal pikiran semata tanpa mengenal dzalim atau adil apalagi halal dan haram, bahkan tidak jarang, hawa nafsu lebih menguasainya sehingga mungkin apapun dapat dilakukan asal dapat memuaskan hati.
Orang-orang musyrik kebanyakan masih memiliki nilai-nilai kerohanian, namun mereka tersesat untuk menemukan nilai-nilai kerohaniannya maupun untuk mengenali tuhannya sendiri (Allah). Di antara mereka tidak sedikit yang meyakini akan adanya kehidupan akhirat tetapi keliru ketika mengungkapkannya. Tidak aneh kalau upayanya untuk menjelmakan nilai-nilai kerohanian itu jauh dari hakikat keruhanian yang diyakininya. Ketika seseorang mati misalnya, ruh si mati itu diyakini bakal reinkarnasi baik ke dalam tubuh manusia lainnya maupun tubuh binatang dan makuhluk lainnya, sehingga untuk menghormati dan atau mengantarkan kematian seseorang mereka membuat upacara-upacara tertentu yang seakan-akan seperti syariat tapi justru memperkuat kesesatannya.
Meyakini adanya hari akhir adalah wajib hukumnya, dan ancaman neraka bagi orang yang mengingkarinya. Percaya dan meyakini adanya hari akhir merupakan salah satu arkanul iman, sejajar dengan keharusan untuk percaya dan meyakini akan keberadaan Allah, para Malaikat, para Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menuturkan keterangan tentang proses manusia menuju alam akhirat itu sebagai berikut :
Pertama : mati, ialah proses ruh meninggalkan jasadnya. Kejadian ini (mati) tidak mungkin dapat dihindari oleh seluruh makhluk hidup. “Di mana saja kamu berada niscaya kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh …. (Q.S. an-Nisaa’/4: 78).
Kematian, juga adalah batas akhir bernilainya setiap perbuatan manusia. Rasulullah bersabda : “Apabila Ibnu Adam (manusia) mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya (orang tua)”.
Kematian, adalah salah satu dari lima hal yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Seseungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. Luqman/31: 34)
Kedua : as-Sa’ah, yaitu rusaknya seluruh alam yang diikuti dengan dihidupkan dan dibangkitkanya kembali manusia dari kubur untuk diadili segala perbuatannya selama hidup di dunia. Menurut Zuhair Tsawisy, alam kubur adalah alam barzakh. Jika seseorang mati, baik dikubur di dalam tanah, tenggelam di lautan atau dimakan binatang, posisinya berada dalam alam barzakh.
As-Sa’ah juga termasuk panca gaib (lima hal yang menjadi rahasiah Allah semata) sebagaimana tertuang dalam surat Luqman ayat 34 di atas. As-Sa’ah dikenal juga dengan Yaum al-Qiyamah atau Yaum al-Ba’ts yang artinya hari kebangkitan manusia dari kuburnya. Allah menegaskan tentang hal ini dalam surat Saba’/34 ayat 3 :
Artinya: “Dan orang-orang yang kafir berkata : “hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami”. Katakanlah : “Pasti datang, demi Tuhanku Yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi dari pada-Nya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).
Ketiga : Pembalasan. Seluruh manusia, tanpa kecuali setelah melalui proses “pengadilan” akan mendapatkan pembalasan yang setimpal dengan apa yang diperbuatnya selama hidup di dunia. Manusia mukmin – muttaqien dengan segala keyakinan dan amal shalehnya akan mendapatkan penghargaan dan balasan mulia berupa kenikmatan syurgawi yang kekal abadi. Sebaliknya, orang kafir dan selalu berbuat munkar adalah neraka tempat peristirahatan kekalnya.
“Supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia. Dan orang-orang yang berusaha untuk (menentang) ayat-ayat Kami dengan anggapan mereka dapat melemahkan (menggagalkan azab Kami), mereka itu memperoleh azab, yaitu (jenis) azab yang pedih”. (Q.S. Saba/34: 4)
Ketersediaan balasan berupa kenikmatan syurga dan siksa neraka mendatangkan konsekuensi agar manusia selalu meyakini bahwa Allah senantiasa merekam seluruh perbuatannya sampai ajal menjelang. Kepercayaan kepada Allah, kepada para rasul-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, tidak mungkin akan mendapati kesempurnaan tanpa kepercayaan dan keyakinan adanya hari akhir, karena Allah sendiri yang menjanjikannya dan disampaikan-Nya oleh para rasul yang termaktub dalam kitab (al-Qur’an).
Kepercayaan kepada hari akhir juga merupakan salah satu syarat mutlak untuk mengelola, dan menciptakan kemakmuran kehidupan dunia karena dengan keyakinan adanya pembalasan, manusia terbimbing untuk selalu berbuat ishlah, dan adil serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang hanya didasari oleh nafsu syahwati yang selalu mendorong berbuat inkar dan makar. Orang yang yakin kepada hari akhir dan pembalasannya akan menumbuhkan etos kerja yang tinggi dan berkualitas, karena setiap pekerjaannya selalu diarahkan untuk menjadi amal shaleh yang bermanfaat untuk kemaslahatan manusia, tidak mendatangkan bencana, dan didasari keikhlasan untuk mendapatkan ridla Allah semata.
Keikhlasan untuk berbakti, dan segala pekerjaan/perbuatan bernilai amal shaleh diyakini orang mu’min-muttaqien sebagai tabungan, sekaligus kunci kebahagiaan yang lebih mulia, lebih berharga dan lebih kekal.
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari pada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (Q.S. al-An’aam/6: 94).
Minggu, 18 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar