Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Bab IV : Dikdik Dahlan L.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH
DI JAWA BARAT

1. Pertumbuhan Muhammadiyah di Kota dan Kabupaten se Jawa Barat
1.a. Bandung
Agak kesulitan menentukan waktu yang pasti tentang awal kedatangan Muhammadiyah ke daerah Bandung. Menurut Yuyun M. Yunus, dalam tulisannya Selayang Pandang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bandung disebutkan bahwa “Tanggal 17 September 1936 berdiri Muhammadiyah Cabang Kota Bandung dengan para tokoh pendirinya antara lain H. Sutalaksana, H. Syamsunu, H. Arhatha” (Yunus, TT : 1). Namun dari beberapa keterangan yang dapat dihimpun nampaknya tahun 1930 adalah waktu yang paling dapat diyakini sebagai tahun perintisan Muhammadiyah di Bandung dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Djarnawi Hadikusumo, dalam bukunya yang diberi judul Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaludin al Afghani sampai K.H. Ahmad Dahlan, di halaman 82 disebutkan : “Menurut riwayat, cabang Muhammadiyah Bandung baru didirikan pada tahun 1930 setelah ada persetujuan dari pihak Persatuan Islam”.
2. Dalam keterangan yang ditulis Yuyun M. Yunus tadi disebutkan bahwa para pendiri Muhammadiyah Kota Bandung diantaranya adalah H. Sutalaksana dan H. Arhatha. H. Sutalaksana menurut penuturan Mahyudin Kahar pindah dari Jakarta ke Bandung pada tahun 1934. Semasa di Jakarta, beliau adalah salah seorang pengurus Bagian Tabligh, sehingga sangat besar kemungkinan beliau langsung aktiv dan bergErak di Muhammadiyah. Apalagi, masih menurut Mahyudin Kahar H. Sutalaksana memimpin cabang Bandung sejak tahun 1935. Selanjutnya, nama H. Arhatha juga tercatat dalam lembaran sejarah Muhammadiyah Cirebon. Beliau mulai aktiv dalam persyarikatan di Cirebon sejak kurang lebih tahun 1942. Beliau pula yang merintis lembaga pendidikan Muhammadiyah pertama DI Cirebon sejak masih bernama Wustho (1945) yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Menengah Islam (SMI) dan berubah nama menjadi SMP Muhammadiyah Cirebon. Beliau dikukuhkan menjadi Ketua Cabang Cirebon pada tahun 1950, dan baru tahun 1951 pindah ke kota Bandung. Adapun H. Syamsunu, baru menetap di Bandung tahun 1940. Beliau adalah salah seorang “Anak Panah Muhammadiyah” seperti AR. Fakhrudin yang diterjunkan di Talang Balai (Ogan Komering Ilir), dan Djamal Dasuki di Cirebon. Menurut penuturan H. Djajusman, SH., Syamsunu memang sengaja diminta oleh keluarga Bapak H. Wiradisastra (salah seorang sesepuh Muhammadiyah Singaparna) melalui putrinya yang waktu itu kuliah di Yogyakarta untuk membantu memperkuat dan memperluas da’wah Muhammadiyah di Singaparna. Bersama keluarga Wiradisastra ini, Syamsunu untuk beberapa waktu berdomisili di Singaparna. Di tangan Syamsunu dan Wiradisastra inilah Muhammadiyah dapat berkembang di Singaparna yang hingga saat ini mengelola lembaga pendidikan dari Taman Kanak – kanak sampai tingkat SMA disamping SLB dan dua buah pondok pesantren yang perkembangannya pun cukup menggembirakan. Disamping lembaga pendidikan, cabang Singaparna pun berkiprah melalui pelayanan kesehatan dalam bentuk Balai Pengobatan, Rumah Bersalin dan Apotik yang sebagian besar lahan yang dipergunakan oleh lembaga pendidikan dan kesehatan itu merupakan wakaf dari keluarga Wiradisastra..
3. Ketika menyusun sejarah ini, penulis mendapat pemberian dari H. Mahyudin Kahar berupa beberapa dokumen yang salah satunya adalah Majalah Amal No 24 Tahun ke 2 tertanggal 1 Syawal 1356/5 Desember 1937 yang masih asli. Majalah ini terbit dua kali sebulan menggunakan bahasa Sunda dengan alamat redaksi di Tjibadakweg No 44/14a Bandoeng. Artinya, kalau melihat nomor dan tahun terbitnya, maka majalah ini sudah mulai terbit sejak bulan Januari 1936 dengan Directeur – Hoofdredacteur : Soetalaksana, Administrateur : Ali Ratman, Rengrengan Redactie : Moch. Fadjri (Garoet), Basoeni, Soelhidiredja, I. M. Hassan, Redactrice : Mevr. D. Pardjaman.
Menurut penuturan Mahyudin Kahar, para perintis yang membidani kelahiran Muhammadiyah di Bandung dikenal beberapa nama seperti H. Ali Ratman, Roni Ratman, Adirman, Angkawidjaja dan kawan – kawan. Adapun kepengurusan resminya periode pertama diketuai oleh Iskandar Idris dengan sekretaris Citrosubono.
Pada masa ini kegiatan Muhammadiyah hanya berkisar dari penyelenggaraan pengajian bagi para anggota dan simpatisannya. Baru pada sekitar tahun 1934 Muhammadiyah di Bandung dapat menunjukkan identitasnya terutama setelah Bapak Soetalaksana menetap di Bandung.
Pada masa kepemimpinannya, sekitar tahun 1938 Cabang Muhammadiyah Bandung yang diperkuat oleh keluarga Kencana (pengusaha) yaitu H. Zainudin, H. Anda, Sahdia, dan Badrudin Atas jasa – jasa mereka pada tahun itu pula cabang Bandung telah merintis pendirian beberapa amal usaha diantaranya :
1. Rumah Yatim, berlokasi di Jalan Siti Munigar.
2. Poliklinik berlokasi di Tegalega
3. HIS Met de Qur’an yang dipimpin oleh Partawijaya dan T. Muhtamam disamping Sekolah Mu’alimat yang dipimpin oleh Ibu Hadijah Salim. Kedua lembaga pendidikan ini terletak di Jl Pangeran Sumedang (Sekarang Jl Oto Iskandardinata).
Patut disayangkan, beberapa amal usaha yang telah dirintis itu harus berhadapan dengan berbagai aturan ketat dari pemerintahan Jepang yang melumpuhkan berbagai pergerakan termasuk persyarikatan Muhammadiyah. Kevakuman ini terus berlanjut sampai pada masa revolusi fisik yang berakhir pada tahun 1950. Di masa – masa ini Muhammadiyah dipimpin oleh H. Zaenudin dan H. Syamsunu. Dengan demikian dari kemunculannya sampai tahun 1950 Muhammadiyah Cabang secara berurutan dipimpin oleh Iskandar Idris (sejak 1930), Soetalaksana (sejak 1935), H. Zaenuddin (masa pendudukan Jepang), dan Bapak Syamsunu (Masa revolusi fisik).
Memasuki akhir tahun 1950 setelah melewati masa – masa darurat, sejak itu Muhammadiyah cabang Bandung kembali mulai menggeliat menunjukan aktivitasnya, salah satunya adalah pendirian SMP Muhammadiyah yang menggunakan gedung SR. Negeri Pasirkaliki. Sekolah ini sebenarnya telah mulai dirintis sejak tahun 1948 dan dipimpin oleh Bapak Wandi yang diantara gurunya tercatat Yusuf Nur dan Abdulfatah Marda’i yang dikemudian hari menjadi mertua K.H. Miftah Faridl. Sejak saat itu, Muhammadiyah Cabang Bandung sebagaimana keterangan Mahyudin Kahar secara berurutan dipimpin oleh Sutan Abdul Gani (1950), Bakri Syahid (1951 – 1952), H. Adang Affandi (1952 – 1955), Yusuf Nur (1956 – 1962), Z. Muttaqien (1963 – 1965), dan H. Sulaeman Faruq (1965 – 1971)
Pada tahun 1953, tepatnya 5 Juli 1953 Cabang Muhammadiyah juga memiliki amal usaha baru berupa sekolah di Dangdeur (Sekarang Jl. Kancil). Di atas tanah yang didapat dari Pemerintah Kotamadya Bandung ini berdiri PGA dan SMEA, dan setahun kemudian menyusul pula pendirian SMA Muhammadiyah di lokasi yang sama. Sampai tahun 1970-an SMP, SMA, dan SMEA Muhammadiyah Jalan Kancil berkembang dengan pesat dan mengalami puncak kejayaanya ketika SMP membuka untuk 10 kelas, SMA 9 kelas, dan SMEA 14 kelas. Masih di tahun yang sama, yaitu tahun 1955 Bapak Umar Suraatmadja menyerahkan tanah Kotamadya Bandung yang terletak di Jalan Sancang sekaligus mempercayakan kepanitiaan pendirian Masjid Mujahidin disamping itu di Jalan Nilem dibangun pula Balai Pengobatan yang dipimpin oleh Bapak Adirman dan diresmikan pembukaanya oleh Menteri Kesehatan RI, dr. H. Syamsudin. Di kemudian hari berkembang menjadi Rumah Bersalin dan kemudian dipindahlkan ke jalan Banteng yang sekarang dikenal dengan Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.
Muhammadiyah Cabang Bandung, sebagaimana yang berlaku dalam administrasi pemerintahan pernah berada dalam koordinasi Daerah Priangan yang pada perkembangan selanjutnya Daerah Priangan ini dibagi dua, yaitu Priangan Barat dan Timur. Priangan Timur meliputi Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, sedangkan Priangan Barat meliputi Kotamadya Bandung, Kabupaten Bandung dan Sumedang.
Selepas penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke 36 tahun 1965 di Bandung, terjadi perubahan struktur pimpinan di tubuh persyarikatan. Untuk tingkat Kabupaten atau Kotamadya adalah Pimpinan Daerah Muhammadiyah yang membina dan mengkoordinasikan cabang – cabangya di tingkat kecamatan. Periodisasi kepemimpinan Muhammadiyah Daerah Bandung dari tahun 1965 sampai tahun 2005 secara berurutan adalah : Periode 1965 – 1971 dimpimpin oleh H. Sulaeman Faruq (dua periode), Periode 1971 – 1977 (dua periode) dipimpin oleh M. A. Muhdiyat, periode 1977 – 1985 dipimpin oleh H. Umar Ahmad Ghaniem, periode 1985 – 1990 oleh Drs H. Abdurrahman, periode 1990 – 1995 kembali ke H. Umar Ahmad Ghaniem, periode 1995 – 2000 oleh Drs. H. I. Sutardi Wirasasmita, dan periode 2000 – 2005 dipimpin oleh Drs. H. Ayat Dimyati, M.Ag. dengan susunan lengkap sebagai berikut Drs. H. Ayat Dimyati, M.Ag. Drs. H. Yuyun M. Yunus, Drs. H. Hasan Mansur, Drs. H. Saeful Azis, Drs. Murlan Effendi Muluk, Drs. H. Wahid Abdurrahman, H.M.A. Muhdiyat, Drs. Ec. Syamsudin Aminullah, SE., Drs. H. I. Sutardi Wirasasmita, Drs. H. Tjutju Sachrum, dan Drs. Ugas Rahmansyah.
Ke Kabupaten Bandung masuknya Muhammadiyah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, karena pergaulan, dalam arti, banyak diantara anggota masyarakat yang menaruh simpati kepada perilaku yang ditunjukan oleh para aktivis Muhammadiyah, seperti kesungguhan mereka dalam menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Disamping itu, gejolak politik yang terjadi juga turut memberikan pengaruh terhadap kehadiran Muhammadiyah di Kabupaten Bandung. Sebagai misal adalah ketika berduyun duyunnya para pengungsi dari Kota Bandung ke Kabupaten Bandung pada saat terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api. Melihat pola penyebarannya tidaklah mengherankan apabila pertumbuhan Muhammadiyah di Kabupaten Bandung cenderung bertahap dari bawah, yaitu dari ranting, berkembang menjadi cabang dan kemudian dipersatukan dalam koordinasi daerah. Sebagai contoh adalah Majalaya, pada saat berdiri tahun 1955 berstatus ranting dibawah pembinaan cabang Ciparay, kemudian pada tahun 1965 berdiri sebagai cabang.
Demikian pula dengan Bojongmalaka, lahir pada tanggal 1 Juli 1950 dengan status ranting dan menginduk ke cabang Bandung yang berkedudukan di Tegallega. Beberapa tahun kemudian berkembang menjadi cabang. Hal ini didukung oleh pernyataan Tjitji Koswara yang menyatakan “cabang cabang yang berada di daerah Kabupaten Bandung ini sampai dengan tahun 1960 masih dalam pembinaan dan bimbingan Muhammadiyah Bandung yang berkedudukan di Kodya Bandung.
Sekitar tahun 1960 s/d. tahun 1966 cabang cabang yang ada didaerah Kabupaten Bandung dibawah pembinaan dan bimbingan Muhammadiyah Daerah Periangan yang berkedudukan di Kodya Bandung yang diketuai oleh K.H.Hambali Ahmad”(Koswara, 1997)
Pada saat penyelenggaraan Konperensi Muhammadiyah Daerah Priangan tahun 1954, dalam daftar cabang dan ranting Muhammadiyah yang berada dalam wilayah Daerah Priangan, ternyata Bandung dalam arti Kota dan Kabupaten pada saat itu telah terbagi menjadi 3 cabang, yaitu Cabang Bandung dengan ranting-rantingnya Cicadas, Ciparay, Majalaya, Rancaekek, Bojongmalaka, dan Baros-Banjaran. Cabang Kedua adalah Cabang Cimahi dengan ranting Cimahi, Batujajar dan Padalarang. Sedangkan cabang ketiga adalah Cabang Cicalengka dengan ranting – ranting terdiri dari Nagrog, Dampit, Tenjolaya, dan Ciaro. Sedangkan pada tahun 1965, pada saat Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung telah berkembang menjadi beberapa cabang yaitu Cabang Bandung, Cabang Bandung Utara, Bandung Timur, Cimahi, Cililin, Bojonegara, Cicalengka, Ciparay, dan Bojongmalaka. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa di Cililin dan Padalarang justru baru mengajukan pendirian cabang pada tahun 2005. Hal serupa juga terjadi pada cabang Cikoneng – Ciamis, menurut data tahun 2005 Cikoneng sampai saat ini belum memiliki ranting, padahal Arsif Nasional menyimpan akta pendirian 7 ranting yang semuanya berada di bawah cabang Cikoneng.
Namun demikian, pada tahun 1937 majalah Soeara Poemuda Muhammadijah yang diterbitkan oleh Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat telah menyebut – nyebut cabang Pemuda Muhammadiyah Rancaekek, Soreang, dan Cimahi. Ketiga cabang yang disebut tadi kesemuanya berada dalam wilayah Kabupaten Bandung, karena Cimahi berdiri sebagai kota, terpisah dari Kabupaten Bandung baru tahun 2001.Ini menunjukan bahwa Muhammadiyah sebenarnya sudah masuk ke Kabupaten Bandung sekitar tahun 1930-an, karena Pemuda Muhammadiyah sendiri secara nasional berdiri tahun 1936.
Melihat catatan Tjitji Koswara di atas, perubahan status menjadi Pimpinan Daerah telah terjadi sejaktahun 1966. Hal ini dibuktikan dengan catatannya sendiri tentang kepengurusan PMD Kabupaten Bandung yang waktu itu berkedudukan di Cimahi dengan Ketua H. Jumingan disertai oleh beberapa anggota PMD yang salah seorangnya adalah H. Dendawiguna. Beliau adalah seorang aktivis Muhammadiyah yang pernah berdomisili di Cianjur bahkan memimpin Muhammadiyah Cianjur kemudian menetap di Cicalengka. Artinya, kepemimpinan Muhammadiyah di bawah H. Jumingan, sekalipun domisilinya di Cimahi tetapi telah melibatkan aktivis di Cicalengka. Inilah yang memperkuat dugaan kalau PMD Kabupaten Bandung memang telah terwujud sejak tahun 1966.
Namun secara resmi Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Bandung berdiri pada tanggal 17 Mei 1972 dengan Piagam Pendirian dari Pimpinan Pusat melalui Surat Keputusan nomor J.129/D-8/72 tertanggal 4 Rabiul Akhir 1972 bertepatan dengan tanggal 17 Mei 1972. Masih menurut catatan Tjitji Koswara, selepas H. Jumingan PMD Kabupaten Bandung dipimpin oleh Emed Natasasmita selama dua periode yaitu 1971-1974 dan 1974 - 1977 dengan sekretariat dan pusat aktivitas berpindah ke Ciparay. Dari Ciparay, sejak tahun 1977 sampai tahun 1990 PMD Kabupaten Bandung berkedudukan di Sayati dengan Ketua Dahlan Haryana yang memimpin selama 3 periodisasi.
Pada tahun 1990 selepas Dahlan Haryana, Muhammadiyah Kabupaten Bandung dipimpin oleh Drs. Muslih Thayib yang kemudian memboyong pusat kegiatan PMD ke Lembang. Selama sepuluh tahun atau dua periodisasi Muslih Thayib memimpin Muhammadiyah Kabupaten Bandung. Pada tahun 2000, kepemimpinan Muhammadiyah berada di pundak Drs. Unang Abidin Syafrudin. Pada masa kepemimpinannya yaitu dari tahun 2000 – 2005, kini warga Muhammadiyah Kabupaten Bandung boleh berbangga karena insya Allah Muhammadiyah Kabupaten Bandung akan memiliki kantor tetap di Jl. Sukamenak No 11 Sayati Bandung. Adapun susunan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bandung periode 2000 – 2005 adalah Drs. H. Unang Abidin Syfrudin, Drs. Farid Ma’ruf, Ahmad Sobari, Drs. H. Idin Wahidin, Aceng Burhanudin Rasyid, Drs. Aceng Hasbani, Udung Abdul Qodir, Osyid Rosyidin, S.Ag., Drs. Sudasman.
Cukup lama Cimahi berstatus sebagai Kota Administratif Kabupaten Bandung. Pada tahun 2000 yang lalu Cimahi mendapat pengukuhan sebagai Kota. Mengiringi perubahan status ini, maka di tubuh Muhammadiyah pun berusaha menyelaraskanya dengan pendirian dan pembentukan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cimahi.
Di Cimahi sendiri, menurut Mahyudin Kahar telah berdiri Muhammadiyah sejak kurang lebih tahun 1950 dengan salah seorang tokohnya adalah Sutan Abdul Gani yang pernah memimpin cabang Muhammadiyah Bandung. Bahkan Asikin Sonhadji pernah menunjukkan selembar photo yang disitu tertulis tentang penyelenggaraan konferensi Muhammadiyah pada tahun 1930 bertempat di Cimahi yang dihadiri oleh AR. Sutan Mansyur dan Kyai Mas Mansur. Photo itu, menurut Asikin Sonhadji diterimanya dari Rd. Ayub tokoh Muhammadiyah di Sumedang.
Mengikuti perubahan status sebagai kota, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cimahi resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 2003 dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 2/KEP/I.0/B/2003 dengan mengangkat dan menetapkan Ir. H. Uci Sanusi sebagai Ketua PDM Kota Cimahi periode 2000 – 2005 yang lengkapnya adalah Drs. Ayi Sanusi, H. Salim Baraba, H. Husen Babaher (Alm), Ir. Agustar Ma’arif, H. Subarwa, H. Usman, H. Sudalih, dan H. Iyet .

1.b. Bogor (Kabupaten - Kota Bogor dan Depok)
Dari penuturan Ketua PD. Muhammadiyah Kabupaten Bogor K. H. Adang Qamarudin yang didampingi oleh beberapa Anggota PDM dan PCM Kab. Bogor bahwa kedatangan Muhammadiyah ke wilayah Bogor dalam arti pemahaman keagamaanya sudah diawali sejak tahun 1925-an. Peresmian berdirinya pimpinan Muhammadiyah di Bogor diawali di Jasinga, yang berdiri tahun 1926 dengan status pimpinan ranting (Group) dari Cabang Batavia. Penuturan ini dikuatkan pula oleh H. Asikin Sonhadji maupun Mahyudin Kahar, yang kedua – duanya pernah menjabat Sekretaris Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat dalam periodisasi yang berbeda.
Kemunculan Muhammadiyah di Jasinga kemudian diikuti pula dengan kelahiran Ranting (Group) Muhammadiyah Leuwiliang yang berdiri secara resmi melalui Surat Ketetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 168 tanggal 15 Agustus 1928 dengan susunan pengurus :
Ketua : Moh. Nur
Sekretaris : Ace Tabrani
Bagian pengajaran : Asep Mujtaba
Bagian PKU : Abd. Manan
Bagian Aisyiyah : Maemunah
Kehadiran Muhammadiyah di Leuwiliang ini diprakarsai oleh Kyai Asep Mujtaba, seorang alumnus Al Irsyad Jakarta yang juga kenal dekat dengan Yunus Anis yang di kemudian hari termasuk salah seorang anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Asep Mujtaba adalah orang Jasinga yang mendapat pasangan hidup berasal dari Leuwiliang. Diduga, pemrakarsa pendirian Muhammadiyah di Jasinga pun adalah Kyai Asep Mujtaba sendiri mengingat pergaulannya yang cukup luas baik selama menimba ilmu pengetahuan di Al Irsyad yang gerakannya memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Muhammadiyah maupun mengingat kedekatannya dengan tokoh Yunus Anis. Kyai Asep Mujtaba, selain aktivis Muhammadiyah juga pernah menjabat sebagai Wedana Jasinga.
Amalan pertama Muhammadiyah Leuwiliang adalah mesjid al Awwalin. Konon mesjid ini adalah mesjid jami (besar) pertama di Leuwiliang, dan karena itu pula diberi nama al Awalin, berarti yang pertama. Bukan saja pertama dalam arti fisik, tapi dari mesjid ini pula banyak terobosan yang dilakukan oleh warga dan pimpinan Muhammadiyah seperti kepeloporan dalam pembagian zakat fitrah, pembagian daging qurban, pelaksanaan shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha maupun penyantunan terhadap anak yatim dan kurang mampu.
Atas kesungguhan dan tauladan para aktivisnya, pergerakan Muhammadiyah mendapat sambutan yang cukup hangat baik dari masyarakat maupun dari organisasi lain seperti Syarikat Islam. Tidaklah mengherankan apabila dalam waktu singkat berdiri pula ranting – ranting Cibeber, Puraseda dan Cibitung (Kecamatan Pamijahan). Muhammadiyah Leuwiliang sendiri berubah menjadi cabang lewat Surat Ketetapan Pimpinan Pusat Nomor 603 tanggal 13 Desember 1936. Dalam berita Soeara Pemuda Muhammadijah Djawa Barat edisi 3 tahun 1937 hal 46, diberitakan bahwa pelantikan Muhammadiyah Cabang Leuwiliang berlangsung pada tangal 15/16 Mei 1937.
Masih menurut majalah tersebut, pada tahun 1937 itu, di keresidenan Bogor telah berdiri pula cabang – cabang Pemuda Muhammadiyah di Bogor dan Cianjur. Bahkan dalam Sejarah Muhammadiyah Sukabumi yang disusun oleh Ruyatna Jaya, Cabang Muhammadiyah Sukabumi pada masa berdirinya berada di bawah binaan PMD Bogor yang tentu saja pada saat itu wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok masih dalam satu pemerintahan Kota Bogor. Bahkan di Arsif Nasional tersimpan lembaran notulen hasil keputusan Konferensi Muhammadiyah Daerah Jawa Barat ke VII yang secara jelas mencantumkan bahwa konferensi itu berlangsung pada tanggal 11 – 13 Mei 1940 bertempat di Bogor. Hanya saja tidak ada keterangan lebih spesifik dimana atau di gedung apa konferensi itu berlangsung.
Menurut catatan H. Adang Qomarudin, Ketua Pimpinan Muhammadiyah Daerah Bogor pertamakali dijabat oleh Suyono. Setelah itu secara berurutan beliau diganti oleh para pelanjutnya, yaitu E. M.Kahfi, Ir. Priyono H. Sentono, kemudian Agus Idris, Wadi Masturi, SE., MM., dan R. Dikcy Priyatman. Pasca kepemimpinan R. Dicky Priatman sesuai pengembangan Bogor menjadi Kabupaten dan Kota, maka di tubuh persyarikatan pun berupaya menyelaraskannya. Pada periodisasi 1995 – 2000, Muhammadiyah Bogor berkembang pula menjadi PMD Kota Bogor dan PMD Kabupaten Bogor. Kota Bogor, selepas kepemimpinan R. Dicky Priatman dijabat oleh Amin….. dan kemudian dilanjutkan oleh Drs. K. H. Muhyiddin Djunaedi, MA. (2000 – 2005) dengan kepengurusan lengkap sebagai berikut Drs. H. Muhyiddin Djunaedi, MA., Darmawan Budianto, Ir. Dudung Abdul Malik, MBA., Agus Syarifudin, BA., Maman Rahman, Drs. Madropi, Drs. Kadar Sugandi, Drs. Tb. Moch. Zaenal Al Aqili, dan Mahdum Rasyid, SH.
Sedangkan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Bogor yang merupakan daerah pemekeran dari PMD Kabupaten & Kota Bogor pada saat Musyda tahun 1996 di Leuwiliang, sudah dua periode dipercayakan kepada H. Adang Qamarudin yaitu periode 1995 – 2000, dan periode 2000 - 2005. Pada periode terakhir ini (2000 – 2005) susunan kepengurusannya terdiri dari H,. Adang Qomarudin, H. Maliyudin, Drs. M.Yusuf, Drs. Duduh Nurzaman, Ir Yuyud Wahyudin, Drs. H. Basri Iba Asghary, Drs. H. Zaenudin, Drs. Iman Saefurrahman, S.Ag., Dadang Chaerul Anwar, H. Asep Matien, BA. Naufal Ramadian, S.Ag., H. Hardjani, dan H. Guntur Prayitno
Selain Kabupaten Bogor, lima tahun sebelumnya, sejak Depok berstatus sebagai Kota Administratif beberapa cabang yang ada di wilayah Depok membentuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah yang secara resmi ditetapkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tanggal 8 Desember 1990.
Untuk menelusuri sejarah pendirian Muhammadiyah di Kota Depok nampaknya tidak bisa lepas dari sosok Muthalib Usman. Beliau adalah seorang otodidak yang pengetahuan dan pemahaman keagamaannya justru banyak digali sendiri dari berbagai literatur disamping luasnya perkenalannya dengan para ulama.
Perkenalannya dengan pergerakan Muhammadiyah diawali dari hubungan persahabatannya dengan Syuaib al Wahidi yang berasal dari Tomang – Jakarta. Dari perkenalannya ini M. Usman berkenalan pula dengan beberapa orang tokoh Muhammadiyah di Jakarta yang mengantarkannya pula untuk mengikuti Muktamar Muhammadiyah ke 32 di Purwokerto tahun 1953. Ketika itu M. Usman hanya berstatus sebagai peninjau.
Sekembalinya dari mengikuti perhelatan akbar Muhammadiyah itu, Muthalib Usman mulai merintis pendirian ranting Muhammadiyah di Kukusan, kampung halaman sekaligus tempat mengabdikan dirinya kepada masyarakat melalui aktivitasnya di madrasah yang ia dirikan dan dikelola sejak tahun 1940. Di kampung Kukusan inilah ia merintis pergerakan Muhammadiyah sebagai bagian dari group Muhammadiyah Tanah Abang – Jakarta. Untuk mengenang jasa – jasanya jalan Raya Kukusan kini telah diganti dengan nama K. H. M. Usman.
Setelah memiliki dua ranting, yaitu ranting Kukusan dan Srengseng, bersama Kamaludin Camat Depok yang berasal dari Jasinga ia berupaya mendirikan cabang. Menurut Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 1514/A tanggal 30 September 1961 berdirilah Pimpinan Muhammadiyah Cabang Depok dengan susunan pengurus sbb :
Ketua : Kamaludin (Camat Depok)
Wk. Ketua : M. Usman
Sekretaris : Rainan (Jurutulis Camat Depok)
Bendahara : M. Nasir
Komisaris : Abdul Khalik (Opas camat Depok)
Karena Kamaludin dialih tugaskan ke daerah lain, secara otomatis kepemimpinan cabang Muhammadiyah Depok jatuh ke tangan Muthalib Usman. Beberapa periode M. Usman memimpin Muhammadiyah cabang Depok dan berhasil mengembangkan sayap dengan pendirian ranting yang cukup menjamur.
“Pada perkembangan berikutnya, dengan diresmikannya Depok sebagai Kota Administrtaif, berdirilah Daerah Muhammadiyah Depok yang memiliki empat cabang, yaitu : Beji, Depok Barat, Pancoran Mas, dan Cimanggis/Sukmajaya. Cabang Beji, Depok Barat dan Pancoran Mas adalah pengembangan/pemekaran dari Cabang Muhammadiyah ex Kecamatan Depok. Sedangkan Cabang Cimanggis /Sukmajaya, telah berdiri sebelum pemekaran Cabang Depok yang sebelumnya merupakan binaan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bogor” (Abidin, 2001 : 13) Belakangan, karena merupakan bagian dari wilayah Kota Depok, cabang Muhammadiyah Sawangan pun bergabung dengan PDM Depok setelah lama berada dalam binaan PDM Jakarta Selatan.
Muhammadiyah Daerah Depok berdiri tahun 1990 dengan Surat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 36/PP/1990 tanggal 21 Jumadil Awal 1411 bertepatan dengan tanggal 8 Desember 1990. Pada saat itu kepemimpinan masih dipercayakan kepada K.H. M. Usman sebagai Ketua. Sedangkan periode selanjutnya jabatan Ketua PDM dipercayakan kepada Drs. H. Farkhan AR (1995 – 2000). Setelah dari putra Pak AR Fakhruddin ini, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok tersusun sebagai berikut H. Wazir Nuri, S.Ag., Drs. H. Farkhan Ar., Drs. M. Achmadi Yusuf, Drs. H. Muh. Muslim, H. Zaenal Abidi, S.Ag., Drs. H. Edi Damanhuri, H. M. Syamsudin, Drs. H. Muhammad Arifin, MM., Drs. Syahminan Lubis, Syamsudin MN., dan Dr. Ir. Muchdie, MS., PG.Dipl.RD.

1.3. Ciamis
Kalau melihat Ridup Muhammadiyah Garut terutama uraian di halaman 20, disana diungkapkan bahwa setelah cabang Tasikmalaya berdiri, maka atas bantuan cabang Muhammadiyah Garut diupayakan juga perintisan Muhammadiyah di Ciamis dan di Singaparna. Semangat cabang Garut untuk terus melebarkan sayap ke kota – kota lain sudah tercatat sejak tahun 1927 ketika berupaya untuk merintis cabang di Kuningan.
Kalau melihat redaksi di atas, muncul kesan bahwa perintisan Muhammadiyah di Ciamis berbarengan dengan perintisan di Singaparna. Sayangnya belum diketahui secara jelas kapan Muhammadiyah berdiri di Ciamis. Namun demikian secara idiologis nampaknya pemahaman keagamaan Muhammadiyah sudah mulai menyentuh kabupaten Ciamis berbarengan dengan masuknya pemahaman keagamaan Muhammadiyah di Singaparna.
Menurut penuturan Drs.H. Mahyudin Kahar, Muhammadiyah di Singaparna sudah mulai dirintis sejak tahun 1940 terutama di daerah Rawa (Leuwisari) dengan mubaligh Hambali Ahmad dan Iping Z.Abidin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di Ciamis telah muncul benih benih Muhammadiyah sejak tahun 1940 sekalipun baru pemahaman keagamaan belum melembaga dan resmi berdiri sebagai organisasi. Namun sebagaimana di daerah-daerah lain pergerakan Muhammadiyah sempat terganggu bahkan tidak banyak nampak aktivitasnya setelah memasuki masa – masa pendudukan Jepang yang disambung dengan Agresi Belanda.
Nampaknya, demikian juga keberadaan Muhammadiyah di Ciamis. Setelah kemunculan di tahun 1940–an, pergerakannya tidak begitu menonjol sehingga sempat mengalami kevakuman untuk beberapa saat. Menurut penuturan Drs. Osih Kosasih Muhammadiyah di Ciamis kembali mulai menunjukan aktivitasnya sekitar tahun 1950-an. Diantara tokoh yang sempat tercatat sebagai pelopor kebangkitan kembali Muhammadiyah di Ciamis adalah H. Mohammad Abas, seorang penilik agama Kabupaten Ciamis yang didukung oleh H. Abdullah. Pada masa awal kebangkitannya, atas prakarsa H. Mohammad Abas tersebut Muhammadiyah di Ciamis sempat mendirikan sekitar 30 Madrasah Ibtidaiyyah yang tersebar di seluruh pelosok Ciamis. Tentu saja gebrakan ini membuat geliat Muhammadiyah Ciamis mulai dilirik oleh masyarakat.
Pada tahun 1954, dalam buku Kenangan Konperensi Muhammadijah Daerah Priangan Ke VI yang berlangsung di kota Garut 7 – 10 Nopember 1954 tercatat bahwa Cabang Ciamis yang berada dalam binaan PMD Priangan memiliki 6 Ranting. Keenam ranting itu adalah Ciamis dan Cijulang dengan alamat surat kepada Mohammad Abas, Ranting Cikawung-Banjar dengan alamat Bapak H. Nasuha, Ranting Rancah dengan alamat SMP Muhammadiyah Rancah, Ranting Pangandaran dengan alamat Bapak R. Hidajat, dan Banjarsari dengan alamat Bapak Marsusa Banjarsari-Banjar.
Sedangkan pada tahun 1965, dalam buku laporan penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung, rupanya beberapa ranting dimaksud telah berubah statusnya menjadi cabang. Beberapa cabang yang terdaptar dalam laporan itu adalah Cabang Ciamis, Cikoneng, Pangandaran dan Cijulang. Bahkan untuk cabang Cikoneng, sempat ditemukan tentang data pendirian ranting – ranting yang ada dalam daerah pembinaanya, yaitu :
No Ranting SK Pendrian PP. Muh. Tanggal Nama Ketua
1. Panaragan 2259 / B 3 Mei 1966 Abdul Salam
2 Cikoneng 2258 / B 3 Mei 1966 Thohari
3 Sindangkasih 2260 / B 3 Mei 1966 Chaerusaleh
4 Kujang 2261 / B 3 Mei 1966 Abdullah
5 Margaluyu 2262 / B 3 Mei 1966 Moh. Maksum
6 Cihari 2253 / B 3 Mei 1966 A. Damanhuri
7 Gunung Cupu 2264 / B 3 Mei 1966 Zainuddin

Selain kembali menghidupkan berbagai amalan utama seperti menyelenggarakan pengajian – pengajian di cabang dan ranting, pada tahun 1954 Muhammadiyah Ciamis membuka Sekolah Pendidikan Agama (PGA) 4 tahun yang sempat bertahan sampai tahun 1977. Diakui oleh Osih Kosasih, Muhammadiyah Ciamis sangat beruntung dengan keberadaan PGA ini. Para alumnus yang pernah mendulang ilmu di sekolah ini, ketika kembali ke tempat asalnya banyak yang menjadi penggerak amalan – amalan Muhammadiyah di berbagai pelosok. Di antara mereka, tidak sedikit yang kemudian mengabdikan dirinya di cabang – cabang Muhammadiyah maupun menjadi pelopor dan perintis pendirian cabang dan ranting Muhammadiyah atau mengajar dan memajukan lembaga pendidikan yang dikelola oleh persyarikatan.
Beberapa tahun sebelum secara resmi pemerintah menutup PGA, beruntunglah pada tahun 1975 Muhammadiyah Ciamis sudah mendirikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang merupakan SPG swasta pertama di Ciamis. SPG ini bertahan sampai tahun 1987, dan karena nasibnya tidak jauh berbeda dengan PGA, Sekolah Pendidikan Guru inipun ditutup. Namun ibarat pepatah, sebelum patah sudah berganti sebelum SPG ditutup Muhammadiyah Ciamis sudah mempersiapkan pendirian SMA dan SMEA.
Setelah mengalami pasang surut, terutama lembaga pendidikannya Muhammadiyah Ciamis melirik peluang lain dengan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Sejak tahun 1990 SPK mulai beroperasi sebagai kelas jauh dari SPK Muhammadiyah Tasikmalaya. Dua tahun berjalan sebagai kelas jauh, dan mulai tahun 1993 sudah dapat berdiri mandiri.
Beberapa tahun kemudian, karena ada keharusan konfersi maka setelah menempuh akreditasi disamping pemenuhan persyaratan lainya, berubah status menjadi Akademi Keperawatan. Terakhir mengingat animo, kepercayaan masyarakat dan hajat yang lebih luas diusulkan pula untuk membuka Akademi Kebidanan yang mulai operasional pada tahun akademik 2004/2005.
Pasang surut pengelolaan lembaga pendidikan Muhammadiyah di Ciamis ternyata tidak saja dialami oleh Muhammadiyah tingkat Daerah. Beberapa cabang juga mengalami kenyataan yang sama. Madrasah Ibtidaiyyah yang jumlahnya mencapai 30 itu, saat ini sudah agak sulit dilacak keberadaannya. Sebagian masih dikelola dengan baik dan menjadi asset persyarikatan sekaligus ujung tombak pergerakan Muhammadiyah, tapi tidak menutup kemungkinan ada diantaranya sudah berpindah tangan ke yayasan atau lembaga lain.
Di Banjar misalnya, sebagaimana penuturan Osih Kosasih, Muhammadiyah memiliki asset berupa tanah dan bangunan yang beberapa tahun lalu dipergunakan SMA Muhammadiyah. Hanya saja, karena dari hari ke hari minat masyarakat berkurang sekolah itu terpaksa ditutup dan sekarang sebagian lokalnya dipergunakan Kantor Dinas Diknas, dan sebagian lagi dipergunakan ruang kuliah mahasiswa STAI Muhammadiyah yang beberapa tahun lalu dibuka oleh Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah setempat sebagai kelas jauh dari STAI Muhammadiyah Bandung.
Demikian pula yang dialami oleh PC. Muhammadiyah Cijulang. Cabang ini sebenarnya sempat mengalami kemajuan yang cukup pesat, terutama ketika dipimpin oleh Bapak H. Oo seorang pengusaha kelapa. Sekolah yang pernah terselenggara di sini adalah SMP dan SMA Muhammadiyah. Hanya saja sebagian besar areal tanahnya milik pemerintah desa sedangkan bangunannya secara keseluruhan adalah milik/asset persyarikatan. Karena kekurangan siswa, sekolah itupun terbengkalai. Saat ini seluruh bangunannya dipergunakan oleh Pasundan dengan status sewa. Namun dalam kenyataanya, Pasundan pun sering menemui kesulitan sekalipun untuk membayar honor guru, apalagi untuk bayar sewa bangunan kepada Muhammadiyah.
Diantara tokoh – tokoh yang pernah memimpin pergerakan Muhammadiyah di Ciamis diantaranya adalah Muhammad Abbas, Bukhori, H. Mahmudin, Momon Kosasih dan pada periode 2000- 2005 dipimpin oleh Sanusi ZA dengan susunan lengkap sebagai berikut : Sanusi ZA., Drs. Yayat Suryat, Zulkarnaen, SH., H. Ismar DY., Cholid Effendi, BA., H.E.Sofyan, BA., Nan Suitisna, S.Pd. Drs,. Osih Atang Kosasih, dan Drs. Ono Rohana.

1.4. Cianjur
Konon Kyai Dahlan pernah singgah di Cianjur dalam rangka mendirikan Muhammadiyah mengingat Cianjur dianggap sebagai kota pesantren. Dari perjalanannya inilah Kyai Dahlan pernah menikah dengan seorang janda asli Cianjur bernama Aisyah. Bahkan dari buah pernikahannya dengan wanita Cianjur ini Kyai Dahlan memperolah seorang anak bernama Dandanah, selain 6 orang yang lahir dari rahim Nyai Walidah Dahlan. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Kyai Dahlan selain beristri Nyai Walidah pernah juga menikah dengan 4 orang janda yang keseluruhanya tidak membuahkan keturunan kecuali dari Nyai Walidah dan Aisyah ini.
Dari keterangan ini sangat bisa diyakini kalau kota Cianjur sudah dapat menerima kehadiran Muhammaiyah jauh sebelum kemerdekaan. Hal ini ditunjang oleh pernah beridirinya sebuah sekolah bernama HIS Muhammadiyah bertempat di sebuah gedung yang sekarang disebut gedung al Muawanah dengan kepalanya Rd. Abu Bakar. Kalau melihat riwayat hidup Kyai Dahlan, beliau lahir tahun 1868 dan wafat pada tahun 1923. Tidak ditemukan keterangan pada saat usia berapa tahun Kyai Dahlan menikahi Aisyah.
Kyai Dahlan belajar pada usia 15 tahun pergi dan menetap di Makkah selama kurang lebih 5 tahun. Sekembalinya dari Makkah kira – kira usia 20 tahun belaiu menikah Nyai Walidah. Mencermati perjalanan itu, nampaknya sulit kemungkinan untuk menduga kalau Kyai Dahlan menikahi beberapa orang istrinya sebelum menikahi Nyai Walidah Dahlan yang memberikan keturunan sebanyak 6 orang. Pernikahan Kyai Dahlan dengan beberapa orang janda sangat dimungkinkan sebagai refleksi niat membantu janda – janda itu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah yang kebanyakan diantara mereka ditinggal wafat suaminya di medan pertempuran menghadapi kedzaliman Kufar Quraisy. Kalau mengikuti alur berfikir seperti itu, maka pernikahan Kyai Dahlan dengan janda – janda itu dilakukannya setelah beliau memiliki putra-putri dari Nyai Walidah Dahlan, bahkan mungkin setelah para putranya menginjak usia dewasa. Kemungkinan kedua, perkawinan Kyai Dahlan itu dilakukan pada masa-masa beliau mengalami puncak pemikiran dan pengamalan terhadap ajaran Islam. Kalau berdasarkan kepada kemungkinan ini, maka sudah apat dipastikan pernikahan itu dilakukannya di atas tahun 1912, atau antara tahun 1912 – 1923. Karena itu, maka bukan mustahil faham Muhammadiyah sudah menular di kota Taucho ini sekitar tahun 1920-an atau malah tahun belasan. Hanya saja seperti di daerah – daerah lain, pergerakan Muhammadiyah mengalami kevakuman pada saat memasuki zaman pendudukan Jepang yang kemudian terus berlanjut di masa revolusi fisik.
Satu satunya keterangan otentik yang dapat dijadikan bukti bahwa Muhammadiyah telah berkembang di Cianjur sejak jaman kolonial Belanda adalah Majalah Soeara Pemuda Muhammadijah edisi 3 tahun 1937 yang secara tegas menyebut bahwa di Cianjur sudah terdapat Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Cianjur.
Tidak diketahui sejak kapan Muhammadiiyah di Cianjur mengalami kevakuman. Aroma Muhammadiyah di Cianjur baru terendus kembali pada masa jayanya partai Masyumi. Pada waktu itu, yang duduk di Masyumi mengatas namakan Muhammadiyah adalah H. Muhammad Isa. Melihat kevakuman ini Tohir Azhari yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Universitas Islam Indonesia melakukan upaya – upaya untuk membangun kembali puing – puing Muhammadiyah di Cianjjur. Dalam upaya perintisan itu Tohir Azhari sempat berkonsultasi baik dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dalam hal ini banyak dibantu oleh Djindar Tamimi, K. H.Badjuri dan lain – lain. Bahkan karena kedekatannya dengan para fungsionaris PP. Muhammadiyah, sering rumah Tohir Azhari menjadi tempat pertemuan mereka. Tidak kurang dari Amien Rais, Rosyad Saleh dan Muhammad Djazman yang pernah bertandang ke rumahnya terutama pada saat – saat pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Selain kepada Pimpinan Pusat, ia pun meminta pembinaan dari Bogor dan Sukabumi seperti Ir. H. Priyono, H. Agus Idris, dan Umar Marjuki. sehingga pada akhirnya sekitar tahun 1959 berdirilah Muhammadiyah ranting Pacet menyusul diresmikannya cabang Muhammadiyah Cianjur yang pada awalnya tetap berada dalam pembinaan PMD Bogor. Diantara para tokoh yang pernah mengendalikan pergerakan Muhammadiyah di Cianjur adalah R. Mustari Sugilar, H. Dendawiguna, Drs. Yusuf Ahmad, Tohir Azhari, Maaz Dja’far, Drs. Miftah….. Drs. Enoh Suherman dan Drs. Faturrahman.
H. Dendawiguna, menurut penuturan Tohir Azhari adalah aktivis Muhammadiyah Cicalengka yang pernah dinas di Cianjur. Pada tahun – tahun berikutnya, H. Dendawiguna memang aktiv sebagai salah seorang Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Bandung. Sedangkan Drs. H. Yusuf Ahmad dikemudian hari pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PW. Muhammadiyah Jawa Barat. Adapun Drs. H. Enoh Suherman adalah adik kandung Drs. H. Abdurrahman yang pernah menjabat sebagai Ketua PMD Kota Bandung dan Ketua Majelis Tarjih PW. Muhammadiyah Jawa Barat. Drs. H. Enoh Suherman terpilih sebagai Ketua PD. Muhammadiyah Cianjur pada periode tahun 2000 – 2005, namun di tengah jalan beliau mengundurkan diri dan digantikan oleh Drs. H. Faturrahman. Susunan lengkap PD. Muhammadiyah Cianjur periode tahun 2000 - 2005 adalah Moch. Enoch Suherman, BA., Drs. H. Maaz Dja’far, Drs. Moh. Solihin, H. Cecep Lestiadi, Djadja S. Setiadi, BA., Solihin, S.Ag., dr. H. Dudu S. Gazali, Drs. Faturrahman, dan Rachman Anshari, SE.

1.5. Cirebon
Tahun 1935 merupakan awal perkenalan Cirebon dengan pergerakan Muhammadiyah. Mulai tahun itu Kyai Toyib dari Kuningan mulai memperkenalkan Muhammadiyah di Cirebon. Rupanya perkenalan pertama ini mengundang kepenasaranan disamping simpati yang mendalam, terbukti selanjutnya perkumpulan itu menjelma menjadi sebuah pengajian rutin yang digelar sebulan sekali atas binaan dari Kyai Toyib bertempat di sebuah rumah yang terletak di Gang Syekh Magelung – Cirebon. Diantara yang selalu hadir dalam pengajian itu adalah Bapak Soeyali, H. Hoed, H. Soemardi, H. Yoesoef, H. Basoeki dan Bapak Bazar Ma’ruf. Beberapa orang diantara mereka adalah para pengusaha batik, sedangkan yang terakhir disebutkan yaitu Bazar Ma’ruf adalah adik kandung Prof. Farid Ma’ruf, namun pada tahun 1939 beliau kembali ke Yogyakarta setelah selama kurang lebih 4 tahun merintis Muhammadiyah, bahkan dua tahun menjadi pengurus cabang Muhammadiyah Cirebon.
Muhammadiyah resmi berdiri di Cirebon sebagai cabang pada tahun 1937 dengan H. Basoeki sebagai ketuanya dibantu oleh Bazar Ma’ruf. Ketika berdiri, di Cirebon telah berkembang Al Irsyad dan Persatuan Islam yang keduanya dianggap sebagai organisasi yang memiliki kesamaan gerak dengan Muhammadiyah. Untuk menunjukan gerakannya, menjelang peresmian pengurus cabang digelar khitanan massal yang sebelumnya seluruh anak khitan itu diarak pawai. Sebagai pusat aktivitas pengurus cabang Muhammadiyah Cirebon saat itu berlokasi di Pekarungan.
H. Basoeki menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Cirebon dari tahun 1937 – 1942, Setelah itu, sejak tahun 1942 jabatan ketua diserah-terimakan kepada H. Hoed yang juga memimpin selama kurang lebih 5 tahun mulai tahun 1942 – 1947.
Bermunculannya tokoh – tokoh baru dalam Muhammadiyah yang diantaranya adalah Djamal Dasoeki dan Arhatha, ternyata membawa dampak positif yang sangat besar. Diantaranya adalah munculnya gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Bermodal dari sebuah madrasah sangat sederhana yang terletak di wilayah Syekh Magelung, kira - kira bulan Januari 1945 atas prakarsa Bapak Arhata dan seluruh rekan seperjuangannya berdirilah secara resmi sebuah lembaga pendidikan menengah pertama yang diberi nama Wustho. Selama kurang lebih 2 tahun Wustho berjalan. Pada Tahun 1947 berubah nama menjadi Sekolah Menengah Islam atau lebih dikenal dengan nama SMI yang dipimpin H. Djamal Dasoeki. Menyusul pendirian SMI, pada tahun itu juga, kira – kira bulan Maret 1947 berdiri pula Sekolah Menengah Tinggi Islam (SMTI), setingkat SMA sekarang
Masih pada periode ini, Muhammadiyah Cirebon mulai melebarkan sayap dengan mendirikan beberapa ranting yang meliputi Ranting Jamblang, Sumber, Sindanglaut, Ciledug dan Indramayu. Di Indramayu dipelopori oleh Ahmad Dasoeki yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Cirebon yang di kemudian hari pernah menjabat sebagai Bupati Indramayu.
Kedua sekolah yang baru saja berdiri itu ternyata tidak dapat berumur panjang, kekacauan yang ditimbulkan oleh Agresi Belanda memaksa sekolah itu bubar sedangkan kegiatan belajar mengajar khususnya siswa SMI disulap dengan istilah kursus yang tempatnya selalu berpindah-pindah. Kira – kira satu tahun kursus – kursus itu berjalan, pada tahun 1948 dirintis kembali SMI dalam versi baru. Suasana yang masih belum mendukung menyebabkan keberadaan SMI tetap tertatih-tatih.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah jatuh bangun berpindah dari satu tempat ke tempat lain SMI berubah menjadi SMP Muhammadiyah. Dari sinilah awal pertumbuhan lembaga pendidikan Muhammadiyah di Cirebon. Bermodal kepercayan masyarakat terhadap SMP Muhammadiyah itu, sekitar tahun 1955 cabang Muhammadiyah Cirebon merintis pendirian SMA Muhammadiyah dengan lokasi di Jl. Tuparev.
Pembukaan SMA ini hampir bersamaan dengan pembukaan PGA Negeri karena PGA Negeri pada waktu itu menempati bangunan yang sama dengan SMA Muhammadiyah mengingat bahwa tanahnya milik Muhammadiyah sedangkan biaya pembangunannya berasal dari pemerintah. Perkembangan selanjutnya, SMP Muhammadiyah selain berhasil melahirkan SMA, juga dapat membidani kelahiran SMP Muhammadiyah 2, SMK Muhammadiyah bahkan SMF dan SPK yang belum lama ini konfersi menjadi AKPER. Sedangkan SMF terus berkembang bahkan melahirkan Akademi Farmasi (AKFAR). Adapun lokasi yang dulu pernah dipakai SMI berlokasi di Jl Stasiun, sekarang ini dipergunakan untuk SD Muhammadiyah 3 Cirebon yang tanah dan bangunannya masih milik pemerintah.
Sekitar tahun 1966, cabang Muhammadiyah Cirebon sebenarnya pernah merintis mendirikan Universitas Muhammadiyah (Unimuh) Cirebon yang operasionalnya selain di Cirebon juga di Kuningan. Hanya saja karena ada kesalahan manajemen, universitas ini tidak berlanjut dan penyelesaian studi mahasiswanya kemudian dititipkan di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pendirian Universitas di Cirebon kembali dirintis sejak tahun 1998 dan kemudian berwujud pada tahun 2000.
Kerja keras para aktivis Muhammadiyah Cirebon terutama dalam bidang pendidikan ternyata sampai saat ini tetap mendapat sambutan yang sangat bagus dari masyarakat. Hampir seluruh lembaga pendidikan yang dikelola tidak pernah kehilangan peminat. Dari tahun – ke tahun para siswanya senantiasa memenuhi kelas yang tersedia. Tidaklah mengherankan kalau dari lembaga pendidikan ini hampir seluruh gerakan Persyarikatan senantiasa berjalan dengan dinamis. Apalagi hal ini ditunjang dengan sistem sentralisasi keuangan yang diterapkan oleh PD. Muhammadiyah Cirebon. Sebuah terobosan yang memerlukan kearifan, disamping keberanian untuk mengambil resiko. Hal ini sebagimana diungkapkan oleh E. Muksidi, sekretaris PD. Muhammadiyah Kab. & Kota Cirebon. Upaya ini dilakukan oleh Muhammadiyah Cirebon pada masa kepemimpinan Zainal Masduki. Dengan sentralisasi keuangan ini anggaran seluruh sekolah diketahui oleh induk persyarikatan yang dalam hal ini PD. Muhammadiyah. Sehingga dengan demikian, sekolah yang memiliki pendapatan kecil dapat tertutupi berbagai kebutuhannya melalui subsidi dari sekolah yang berkecukupan. Karena itu, seluruh sekolah setiap tahunnya senantiasa menyusun laporan disamping anggaran untuk tahun depan, dan semua itu pengesahannya ada di tangan Pimpinan Persyarikatan.
Sekalipun saat ini lembaga pendidikan Muhammadiyah di Cirebon nampak cukup berkembang, namun sebenarnya di awal pendirian terutama antara tahun 1947 – 1950 pernah juga mengalami masa – masa yang sangat sulit. Apa yang menimpa pada lembaga pendidikan juga tidak jauh berbeda nasibnya dengan yang menimpa kepada persyarikatan. Selama kurang lebih tiga tahun, sejak tahun 1947 – 1950 itu terutama masa – masa mempertahankan kemerdekaan akibat munculnya keinginan Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia.
Khawatir kevakuman ini akan berlanjut terus, maka Bapak Arhatha berusaha mengumpulkan para aktivis untuk membagkitkn kembali gerakan Muhammadiyah di Cirebon. Selama satu tahun Arhata memegang kendali pengurus cabang, setelah itu, periode 1951 s,d, 1952 tampuk pimpinan berada di tangan H.Ahmad Dasuki, untuk kemudian pada periode 1952-1953 diserahkan kepada H. Hasan. Mulai tahun 1953, tampuk pimpinan berada di pundak H. Djamal Dasoeki. Beliau adalah orang Yogyakarta alumnus Mu’alimien Yogyakarta yang pernah menjadi “Anak Panah Muhammadiyah” yang ditugaskan oleh almamaternya bersama sama dengan A.R. Fakhrudin ke Palembang. Sekembalinya dari Palembang, beliau kembali ditugaskan ke Cirebon, dan selanjutnya menetap di Cirebon. Di tangannya kepemimpinan Muhammadiyah berlanjut cukup lama dari tahun 1953 sampai tahun 1974. Pada masa kepemimpinannya Muhammadiyah Cirebon dipusatkan di Jl Bahagia, baru pada masa kepemimpinan Zainal Masduki Kantor PMD pindah ke Jl Tuparev No 70 Cirebon. Para Ketua Muhammadiyah di Cirebon sejak awal perintisannya sampai saat ini adalah : Periode 1937 – 1942 H. Basoeki, kemudian dilanjutkan oleh H. Hoed (1942 –1947), dari tahun 1947 – 1950 Muhammadiyah Cirebon mengalami kevakuman. Sekitar tahun 1950 mulai dirintis dan dihidupkan kembali oleh Arhatha, kemudian H. Ahmad Dasuki (1951 – 1952), H. Hasan (1952 – 1953), Djamal Dasuki (1953 – 1974), Zainal Masduki, BA (1974 – 1991), Periode 1990 – 1995 PDM Cirebon dipimpin oleh H. A. Rosyad Rais, setelah itu dipercayakan kepada H. Moh. Mahdlor (1995 – 2000), dan pada periode 2000- 2005 Muhammadiyah Cirebon dipercayakan kepada Drs. H. Ma’muri Ikhsani dibantu oleh Anggota PDM Cirebon lainnya yang terdiri dari K.H.Abdullah Rosyad Rais, Drs. Ahmad Affendi, Drs. Kosasih Natawijaya, H. Edi Baredi, H. Sudira, E. Muksidi, H. Fahmy Dahlan, Ratija Bratamanggala, H. Ma’mun El Amin, Bc.Hk., Prof. Dr. H. Muhaemin, MA, Madi Rahman, Drs. H. Syamsudin NS, Apt.

1.6. Garut
Al Hidayah adalah sebuah nama kelompok pengajian yang di kemudian hari menjadi cikal bakal kelahiran Muhammadiyah di kota Garut. Nama al Hidayah dipakai pula untuk menamai sebuah madrasah ibtidaiyyah yang didirikan oleh para aktivis kelompok pengajian itu yang terdiri dari para pedagang dan ulama pendatang yang secara kebetulan berdomisili di sekitar kampung Pasar Baru, Pajagalan, dan Ciledug. Madrasah ini berdiri pada tahun 1919 dan sekaligus menjadi amalan nyata pertama Muhammadiyah di Garut.
Prakarsa pendirian Muhammadiyah di Garut mulai mengemuka sejak awal tahun 1922. Terdapatnya selisih waktu antara pendirian Madrasah Ibtidaiyah al Hidayah dengan pendirian resmi Muhammadiyah di Garut sangat dimungkinkan karena ijin yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Muhammadiyah untuk mengembangkan gerakannya ke luar keresidenan Yogyakarta baru keluar tahun 1921.
Muhammadiyah di Garut secara resmi berdiri dengan Surat Ketetapan Hoofdbestuur Moehammadijah No 18/1923 tertangal 30 Nopember 1923 dengan susunan pengurus yang pertama terdiri dari :
Penasihat : K.H.M.Badjuri
Ketua/Sekretaris/Bendahari : H. M. Gazali Tusi, H. Saleh, Wangsa Eri, Sastradipura,
Wirasasmita, dan H. M. Djamhari.
Komisaris – komisaris : Kasriah, Madrasi, H. M. Amir, Masjamah, dan Marsidjan.
Dari literatur-literatur yang ada, sekalipun Musyawarah yang pada saat itu memakai istilah Rapat Anggota Tahunan diselenggarakan setiap tahun, namun sampai tahun 1927 H. M. Gazali Tusi, ulama kelahiran Tegal yang sempat nyantri di Banten dan Garut ini masih dipertahankan untuk memegang kemudi Muhammadiyah Garut. Pergantian pimpinan (terutama Ketua) baru terjadi pada tahun 1927 dengan Wangsa Eri sebagai Ketua. Kepemimpinannya berlangsung selama lebih kurang empat tahun, dan pada tahun 1931 jabatan Ketua Cabang Muhammadiyah berpindah ke tangan Moh. Fadjri. Amanat ini dipegangnya cukup lama, lebih kurang 37 tahun yaitu sampai tahun 1968, bahkan ketika terjadinya perubahan status dari cabang menjadi daerah yang terjadi pada tahun 1966 jabatan itu masih tetap dipegangnya.
Selain Muhammadiyah sendiri yang menjadi induk persyarikatan, sejak awal telah diusahakan pula berdirinya beberapa bagian/gerakan diantaranya adalah :
1. Siswa Praja, gerakan pelajar pria Muhammadiyah dengan ketuanya Mh. Amsar
2. Siswa Praja Wanita, gerakan pelajar wanita Muhammadiyah dengan ketuanya Siti Saminah; dan
3. Pada tahun 1924 berdiri pula Hizbul Wathan (kepanduan) dengan ketuanya Mh. Fadjri.
4. Pada Tahun 1925 berdiri Aisyiyah (masih merupakan bagian Muhammadiyah) dengan ketuanya Siti Suhaemi. Tidak hanya itu, pada tahun itu juga diusahakn berdirinya mushala istilah untuk mesjid Muhammadiyah yang dikhususkan untuk aktivitas kaum wanita. Mushala itu terletak di kampung Pengkolan di atas sebidang tanah wakaf yang berasal dari Ibu Hadidjah.
5. Pada tahun 1936 berdiri Pemuda Muhammadiyah di bawah pimpinan Mh. Sardjono. Hanya saja karena situasi yang tidak mendukung, aktivitasnya sempat terhenti terutama hal ini banyak dirasakan di masa pendudukan Jepang. Namun demikian upaya – upaya untuk membangun kembali Pemuda Muhammadiyah terus dilakukan. Upaya ini terwujud menjadi kenyataan pada tanggal 1 Oktober 1954 dengan Ketua Ma’mun Syamsuddin, sekalipun baru mendapat pengesahan secara resmi dari Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta pada tanggal 14 September 1955 dengan status sebagai Pimpinan Cabang.
Dalam bidang pendidikan, sebagaimana disebutkan di awal, Muhammadiyah Garut sudah menyelenggarakan Madrasah Ibtidaiyah sejak tahun 1919. “Atas usaha Bg. Sekolahan ber-sama2 dengan pengurus Tjabang dan dengan bantuan Pusat Pimpinan dari Jogjakarta, sekolah jang tadinja berbentuk Madrasah itu mendapat bantuan subsidi dari Pemerintah dan nama sekolah diubah djadi Standaar School Muhammadijah. Kemudian setelah mendapat bantuan subsidi untuk bangunan sekolah, maka Standaarschool mempunyai gedung sendiri di Djalan A. Yani. Adapun Madrasah yang ada di kampung Lio (Djalan Gunung Pajung) diteruskan berbentuk Madrasah yang memberikan peladjaran 50% dinijjah dan 50% pengetahuan umum”.(Fadjri, 1968 : 16). Masih di tempat yang sama (Lio) pada tahun 1930 pernah juga didirikan Schakelschool. Akan tetapi hanya berjalan beberapa tahun saja dengan sangat terpaksa ditutup.
Pada tahun 1937, berhasil pula membuka sebuah sekolah yang pelajarannya dipersamakan dengan HIS dan diberi nama Instituut Muhammadiyah bertempat di Jl. Ciledug 54, bahkan sekolah tersebut juga sekaligus sudah dapat menerbitkan majalah dengan nama “Murid”. Sambutan yang besar dari masyarakat terhadap keberadaan sekolah ini menuntut para pengurusnya untuk mengembangkan dan membangun gedung baru. Pembangunan itu terlaksana dan berwujud sekolah seperti yang saat ini dipakai untuk SMP Muhammadiyah di Jl. Muhammadiyah No 21 dan sebagain lokalnya dipergunakan untuk perkantoran PD. Muhammadiyah Garut.
Dalam bidang sosial, sesuai anjuran Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tanggal 4 Oktober 1936 dibuka sebuah rumah yatim bertempat di Jalan Ciledug dengan jumlah anak asuh sebanyak 33 orang. Karena partisipasi dan perhatian masyarakat kepada panti asuhan waktu itu sangat minim, tempat penampungan anak yatim ini sempat berkali kali pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Atas kegigihan para pengurus dan mubalighnya, Muhammadiyah yang semula hanya berada di daerah kota sejak awal tahun 1929 sudah mulai menyentuh ke beberapa daerah seperti Kadungora dan Panawuan. Beberapa kali diselenggarakan pengajian pembinaan, pada tahun itu berdiri ranting pertama sebagai pengembangan dari Garut Kota, yaitu Ranting Tjihuni – Kadungora. Perkembangan organisasi Muhammadiyah Garut dari tahun 1923 sampai tahun 1968 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
PERKEMBANGAN TJABANG DAN RANTING
MUHAMMADIJAH DAERAH GARUT

Tahun Adanja
Tjb Adanja
Rt Djumlah
Angg. Djumlah simpatisan Keterangan
1923
1928
1934
1942
1950
1961
1965
1966
1967
1968 1
1
1
1
1
2
4
6
9
11 -
5
8
9
12
19
64
86
93
103 250
500
1.000
1.500
2.000
2.228
5.719
6.000
6.250
7.969 -
-
-
-
-
-
-
-
-
2.500


Djaman Djepang


Setelah Rentjana
Kerdja
(Fadjri, 1968 : 70)

Sebelum Moh. Fadjri, Muhammadiyah cabang Garut baru memiliki dua orang mantan ketua, yaitu H. M. Gozali Tusi dari tahun 1923 – 1928, kemudian digantikan oleh Wangsa Eri sampai tahun 1931. Sedangkan sejak tahun 1931 selama lebih kurang 44 tahun, Muhammadiyah di Garut senantiasa dipimpin oleh Moh. Fadjri. Pada tahun 1975, karena tugasnya di Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat jabatan ketua PMD dipegang oleh H. I. Sukandiwiria (1975 – 1978). Pada periode 1978 – 1981 dipercayakan kepada H. Moh. Miskun, kemudian beralih kepada Drs. H. Mamak Moh. Zein (1981 – 1984). Sedangkan pada periode selanjutnya “Kepengurusan Muhammadiyah Daerah Garut periode 1985 – 1990 terjadi dua kali pergantian/pindah tangan, semuala E. Komarudin Tasdiq, kemudian berpindah kepada H. Yuzad ESA, dan berpindah lagi kepada Moh. Miskun. Setelah itu, selama dua periode, yaitu 1990 – 1995 dan 1995 – 2000, Muhammadiyah Garut dipegang oleh Drs. H. Halim Basyarah yang pada periode 2000 – 2005 dipercaya untuk menjadi salah seorang wakil ketua PW. Muhammadiyah Jawa Barat. Selepas dari Drs. H. Halim Basyarah, pada periode tahun 2000 – 2005, susunan lengkap Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Garut adalah H.M. Sadjidin, K. H. Aban Sobandi, AMa, Drs. H. Asep Zakaria, Lc. Dr. H. Rahmat Sudjatma Prawira., H.M. Komarudin, Drs. H, Abdul Muis Hamzah, H. Bukhori Gaos Syamdani, Drs. H. Suyudiana, Drs. Encep Zaini Rahmat, Drs. H. Daiman TS, Drs. H. Syarif Usman

1.7. Indramayu
Menelusuri kelahiran Muhammadiyah di Indramayu, menurut keterangan yang dihimpun dari Drs. H. Kurdi Sutrisna, M.Pd. sejak tahun 1950 sudah nampak pemahaman dan pengamalan keagamaan (Islam) sebagaimana yang selama ini dikembangkan oleh Muhammadiyah. Dari tata cara ibadahnya jamaah masjid Saluki Karanganyar saat itu, nampaknya sudah memilki kesamaan dengan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Masih menurut Kurdi Sutrisna, secara resmi Muhammadiyah di Indramayu berdiri sekitar tahun 1951 dengan tokoh perintis K. H.Ahmad Dasoeki.
Dengan tokoh yang sama yaitu K. H. Ahmad Dasoeki, menurut penulusuran Moch Sidik Sadali yang selama ini menjadi salah satu rujukan sejarah perkembangan Muhammadiyah di Cirebon, Muhammadiyah di Indramayu justru telah berdiri pada masa Cabang Muhammadiyah Cirebon dipegang oleh H. Hoed, periode 1942 – 1947. Pada masa ini Muhammadiyah Cabang Cirebon berhasil melebarkan sayapnya dengan melahirkan beberapa ranting yang salah satunya adalah Ranting Indramayu dengan jabatan Ketua dipercayakan kepada Ahmad Dasoeki. Beliau adalah mantan Kepala Kantor Departemen Agama Cirebon yang kemudian diangkat menjadi Bupati Kabupaten Indramayu.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul cabang – cabang baru seperti Cabang Haurgeulis yang ditetapkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai cabang dengan Piagam Pendirian atau Surat Ketetapan Nomor 1661/A tanggal 11 April 1963. Dalam Surat Keputusan itu disebutkan bahwa Pendirian Cabang Haurgeulis merupakan usulan yang mengemuka dalam Konferensi Daerah Muhammadiyah Cirebon pada tanggal 30 – 31 Maret 1963 yang mengamanatkan Sdr. Daim sebagai Ketua PCM pertama Haurgeulis. Di Haurgeulis perkembagan pendidikan Muhammadiyah mendapat simpati yang sangat besar dari masyarakat, bahkan sekolah – sekolah Muhammadiyah menjadi barometer untuk pengembangan pendidikan daerah Indramayu Barat. Sampai saat ini SD, SMP, SMA dan SMK Muhammadiyah Haurgeulis tetap menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk menyekolahkan anak – anaknya.
Setelah itu, kemudian disusul dengan pendirian Cabang Jatibarang yang merupakan pemekaran dari Cabang Indramayu. Cabang Muhammadiyah Jatibarang disahkan oleh Pimpinan Pusat dengan Surat Ketetapan nomor 1694/A tanggal 13 Juni 1963 dengan Ketua S. Sumawinata dan Sekretariis Warkai Sudjud. Di Jatibarang atas usaha H. Husein Djagladi pernah didirikan SMA Muhammadiyah yang pada tahun 1970 oleh guru – gurunya diubah menjadi Sekolah Persiapan IAIN. Lokasi sekolah dimaksud saat ini dipakai Rumah Sakit Islam Jamjam.
Pada masa Muhammadiyah Indramayu telah berstatus sebagai Pimpinan Daerah, khususnya sejak tahun 1970 – 1980, menjamur pendirian cabang – cabang hampir di setiap kecamatan. Sampai saat ini tercatat ada 20 cabang Muhammadiyah di seluruh Indramayu.
Lembaga pendidikan nampaknya menjadi pilihan amal usaha yang dikembangkan oleh Muhammadiyah Indramayu. Di Jalan Yos Sudarso sejak tahun 1955, Indramayu telah memiliki SMP dan SMA Muhammadiyah. Para perintis pendirian sekolah ini tercatat antara lain Ahmad Dasoeki, K. H. Saloeki, K. H. Moh. Maksoem, K. Sonjaya, K.H. Warka’i Soejoed dan lain – lain. Sedangkan nama – nama besar yang pernah memimpin Muhammadiyah di Indramayu, selain Ahmad Dasoeki diantaranya H Husein Djagladi, H. Warkai Sujud, dan pada Periode 2000 – 2005 ini Indramayu dipimpin oleh Drs. H. Kurdi Sutrisna, M.Pd. dengan susunan lengkapnya adalah : Drs. H. Kurdi Sutrisna, M.Pd., H. Djazuli Toha, H. Ridwan Effendi, SmHk, Tabroni Kamil, Hafied Effendi, Moh. Taufik Ramli Hamim, BA., Warmin Permana, BA. Drs. Nadjib Bunyamin, Ahmad Sukamto, SH., S.Ag., H. Warka’I Sujud, Ir. H. Amir Effendi, MBA., Edi Kusnaedi, dan Drs. Syatorih Yamin.

1.8 Karawang
Ada tiga nama yang tercatat sebagai perintis pendirian Muhammadiyah di Karawang, yaitu Wirjo Sendjojo, M. Cakradiredja dan Sukarmawidjaja. Awalnya ketika ketiganya dipersatukan dalam usaha bersama membuka perpustakaan kecil kecilan di Cilamaya. Kemudian secara kebetulan juga ketiganya pun dipindah tugaskan ke kota Karawang dan kemudian merintis pendirian Madrasah Diniyah yang merupakan amalan utama dan pertama Muhammadiyah di Karawang saat itu. Menyertai pendirian madrasah itu, pada tahun 1936 didirikan pula Hizbul Wathan dengan pimpinan Sutedjono dan M. E. Sobandi.
Belum ditemukan tanggal pasti kapan berdirinya Muhammadiyah Karawang secara resmi, hanya disebutkan bahwa Muhammadiyah di Karawang sudah mulai menunjukan keberadaanya sejak awal tahun 1935 seiring dengan pendirian madrasah tadi. Bukti yang menguatkan atas keberadaan Muhammadiyah di Karawang di tahun 1930-an, dalam Soeara Pemoeda Moehammaadijah Djawa Barat edisi No 3 Juni 1937 juga disebut – sebut Cabang Pemuda Muhammadiyah Karawang dan Cilamaya dengan ejaan lama Krawang dan Tjilamaja. Menyusul madrasah, amalan selanjunya adalah pendirian Sekolah Rakyat Islam (SRI), kemudian pada tahun 1950 mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI) yang sekarang dikenal dengan SMP Muhammadiyah, Sekolah Guru Islam yang kemudian berubah menjadi PGA disamping SMA yang terus berkembang sampai saat ini.
Sebenarnya Sekolah Dasar pun pernah didirikan oleh Muhammadiyah Karawang, dan saat itu dinamakan Sekolah Dasar Jenderal Sudirman. Namun karena sesuatu hal, malah berubah status menjadi SDN Sudirman..
Selain mendirikan madrasah dan sekolah, pernah juga menyelenggarakan amalan berupa santunan terhadap anak yatim. Namun penyelenggaraan rumah yatim ini hanya berlangsung beberapa saat dan berakhir pada masa awal pendudukan Jepang (1942).
Berikut ini adalah para pemegang kendali Muhammadiyah Karawang dari masa pendirian sampai disusunnya buku ini, yaitu Periode I Wirjo Sendjojo, Cakradiredja, Sukarmawidjaja, selanjutnya dipegang oleh H.M.E. Sobandi, dilanjukan oleh Hasan Hamid, dan H. Kosim Suchri, kemudian H. Solihin. Sedangkan pada tahun 1990 sampai tahun 2000 (dua periode). Muhammadiyah Karawwang berada dibawah kepemimpinan Drs. H. Kholilurrahman, SH. yang selanjutnya pada periode tahun 2000 – 2005 diganti oleh Drs. Ahmad Musodik dan anggota PDM terpilih yang terdiri dari Drs. H. Nana Morana, Drs. H. Prabowo hadi, MM. H. Solihin MS., Muhajir Affendi, Drs. Maman Kosman, Arod Rodiat, SE., Drs. Harun Al Rasyid, Drs. Djudju Rochadi, Ir. Riesza Afiat, MM., MBA. Drs. H. Moh Darundia, MM.

1.9. Kuningan
Dalam buku Riwayat Hidup Muhammadiyah Garut disebutkan bahwa pada tahun 1927 terjadi pergantian pengurus. Dalam pergantian pengurus itu muncul pengurus - pengurus muda yang banyak membantu bertabligh sampai ke luar kota dan kabupaten yang diantaranya adalah Bandung, Kuningan dan Sukabumi. Masih dalam sub Bab itu ditulis bahwa “Di Kuningan berkat usaha Tjabang Muhammadijah Garut bersama2 dengan Tjabang Djakarta dapat diusahakan berdirinja Tjabang Muhammadijah disana” ( Fadjri, 1968 : 16)
Dari uraian di atas, dapat dipastikan kalau Muhammadiyah di Kuningan sudah berdiri secara resmi sejak tahun 1927 dengan status cabang. Salah satu bukti yang cukup menguatkan bahwa di Kuningan telah dapat menerima Muhammadiyah jauh sebelum kemerdekaan, di cover belakang majalah Soeara Pemoeda Moehammadijah Djawa Barat No 3 yang terbit pada tahun 1937 tepatnya di rubrik Berita Administratie point III tertulis : “Kami mengharap kiriman nafkah SPM No 1 dari : Tjab. Koeningan, Leuwiliang, Gr. Poeraseda dan Rangkasbitung”. Penyebutan Tjab. Kuningan (cabang Kuningan) dalam tulisan dimaksud adalah cabang Pemuda Muhammadiyah Kuningan sebab majalah itu adalah majalah Pemuda Muhammadiyah yang isinya pun berkenaan dengan kepemudaan dan Hizbul Wathan. Kalau pada tahun 1937 di Kuningan sudah ada cabang Pemuda Muhammadiyah sangat bisa dipahami kalau Muhammadiyah sudah berdiri di tahun – tahun sebelumnya. Di Garut misalnya, Pemuda Muhammadiyah mulai dirintis sejak tahun 1936 dan baru diresmikan pada tahun 1937, padahal cabang Muhammadiyah-nya sendiri sudah berdiri sejak tahun 1923.
Menurut penuturan beberapa orang personalia PDM Kuningan yang diwawancarai pada hari Ahad tanggal 17 Juli 2005 memang diakui bahwa Muhammadiyah masuk ke Kuningan lebih awal dibandingkan dengan daerah – daerah lain. Malah diduga kalau aktivitas justru lebih dulu di Kuningan sebelum ke Garut. Tapi hal ini belum bisa diyakini sebab tidak ada bukti yang otentik. Garut memiliki fakta – fakta yang sangat kuat.
Masuknya Muhammadiyah ke kuningan berawal dari bagian timur Kuningan dan Kadu Gede dengan salah seorang perintisnya bernama H. Mawardi. Di awal perkembangannya ini Muhammadiyah Kuningan sudah mampu mendirikan Madrasah dan Sekolah Menengah Islam (SMI) Kuningan, dengan tokoh perintis diantaranya H Mawardi, Abah Sabdi dan Wiharta. Hanya saja sekolah itu, saat ini sudah tidak ada jejaknya lagi.
Cukup lama Muhammadiyah mengalami kevakuman, baru sekitar tahun 1960-an muncul keinginan untuk membangkitkan kembali Muhammadiyah di Kuningan. Tokoh pada generasi kedua ini diantaranya adalah H. Rahman Ismail yang berasal dari Aceh disamping Maman Lesmana yang sampai saat ini masih aktiv menjadi pinisepuh PDM Kuningan.
Di awal pertumbuhan yang kedua kalinya ini Muhammadiyah Kuningan bertopang kepada amal usaha dalam bidang pendidikan, da’wah dan kesehatan. Dalam bidang pendidikan, pada tahun 1967 merintis Sekolah Guru Pendidikan (SPG). Dengan menumpang dari satu tempat ke tempat lain. SPG terus berjalan sambil merintis pula pendirian Sekolah Menengah Atas (SMA) di Cigugur.
Menyusul terbitnya penghapusan SPG pada tahun 1987, sebagai penggantinya maka didirikan Sekolah Menengah Kejuruan Pariwisata. Sedangkan SMA ternyata dari hari ke hari semakin kehilangan peminatnya. Oleh karena itu pula SMA pun kemudian beralih menjadi SMK/STM sampai saat ini.
Selain beberapa lembaga pendidikan di atas, ternyata Muhammadiyah Kuningan memiliki kenangan yang sangat manis di tahun 1966. Pada waktu itu Muhammadiyah Kuningan sempat membuka Universitas Muhammadiyah (Unmuh) yang menurut penuturan H. Abidin adalah merupakan kelas jauh dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang pada saat itu dipimpin oleh Amir Siregar dengan kampus yang terletak di Jl. Limau Jakarta. Sempat berjalan kurang lebih dari tahun 1966 sampai 1970, dengan membuka Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan disamping Fakultas Hukum, sekalipun kewenangan yang diberikan pada saat itu baru hanya sampai sarjana muda.
Perkuliahannya sendiri berlangsung di gedung SMP Negeri I Kuningan yang kebetulan pada waktu itu Kepala Sekolahnya adalah aktivis Muhammadiyah. Bahkan di kemudian hari Muhammadiyah mendapat kemudahan dari pemerintah untuk memiliki tanah di Cigugur salah satu pertimbanganya karena tanah dimaksud dipersiapkan untuk Universitas Muhammadiyah tersebut. Kini lokasi itu dipergunakan oleh STM Muhammadiyah.
Mengambil lokasi di Cigugur adalah sebagai upaya Muhammadiyah dalam penangkalan terhadap lajunya upaya Kristenisasi di daerah itu. Orang – orang Kristen di Kuningan, disinyalir sebenarnya adalah mereka yang dulu tergabung dalam ADS (Agama Djawa Sunda) atau lebih dikenal dengan Madrais. Bentrokan antara ummat Islam dengan pengikut Madrais berakhir di meja pengadilan dengan kekalahan dialami oleh pengikut Madrais. Kelirunya, ummat Islam mengekspresikan kegembiraan ini dengan berlebihan, sehingga para pengikut ADS dimaksud merasa terlukai dan sulit berhubungan dengan orang Islam. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh ummat Kristiani. Hampir seluruhnya mereka masuk Kristen, sekalipun didalamnya kebatinan tetap jalan, ADS, dengan nama Packo (Paguyuban Cara Karuhun Kuring)-nya pun juga tetap berjalan.
Selama ini amalan yang ditekuni oleh mereka (umat Kristen) selain bidang ekonomi, juga sangat giat membangun pusat – pusat pelayanan kesehatan baik dalam bentuk rumah sakit, balai pengobatan maupun yang lainnya. Muhammadiyah Kuningan berupaya menghalau laju mereka dengan mendirikan pula beberapa amal usaha kesehatan baik yang terletak di Ciporang, Jl. Wahyu maupun di Jl. Kartini sekalipun perkembangannya masih cukup jauh bila dibandingkan dengan pelayanan yang mereka sajikan.
Muhammadiyah Kuningan di awal tahun 1960-an itu masih tetap berstatus cabang dan berada dalam koordinasi Pimpinan Muhammadiyah Daerah Cirebon (Keresidenan). Berubah status menjadi Pimpinan Daerah sekitar tahun 1967 dengan cabang pertama meliputi cabang Kuningan, Ciporang dan Kutaraja. Adapun Ketua PMD pertama adalah Rahman Ismail yang didampingi oleh Maman Lesmana, kemudian pada periode selanjutnya dipegang oleh Bapak Warno. Sebelum diamanatkan kepada Kyai Eem Dayari sebagai Ketua dan Syarif Alimillah sebagai Sekretaris jabatan ketua pernah kembali kepada Rahman Ismail selama satu periode. Sesudah kepengurusan Kyai Eem Dayari, sejak tahun 1995 sampai saat ini Ketua PD. Muhammadiyah Kuningan dijabat oleh Drs. H. Mashuri, sedangkan kepengurusan lengkap periode tahun 2000 – 2005 adalah : Drs. H. Uri Mashuri, Bandi, BA. H.HSM Lesmana, Drs. Uhar Suharsaputra, Durahman, S.pd., Ahmad Syarif Alimilla, BA. Drs. H. Kaswa, Drs. Hedi Syehbudin, Drs. Wahid TBK.

1.10. Majalengka
Pertemuan rutin di Madrasah Rekesan Sutawangi (Komplek rumah H.A.Rusydi), Blok Rekesan Desa Mekarsari Kecamatan Jatiwangi merupakan cikal bakal awal pendirian dan pertumbuhan Muhammadiyah di Majalengka. Pertemuan itu kemudian berkembang menjadi pengajian rutin yang dilaksanakan setiap malam selasa mulai pukul 20.00 s.d. 23.00 wib. dengan muballigh dari PMD Cirebon yang dipimpin oleh Bapak H. Djamal Dasoeki disamping para Mubaligh lokal Jatiwangi bahkan terkadang mengundang dari PP Muhammadiyah Majelis Tabligh yaitu Bapak Junus Anis.
Para tokoh pengajian rutin yang terdiri dari H. A. Rusjdi, K. Khalil, S.S. Effendi, H Abdul Hamid, dan H. Gazali itu pada perkembangan selanjutnya merintis pendirian SMP Muhammadiyah yang awalnya menempati Madrasah Rekesan Sutawangi dengan Kepala Sekolahnya yang pertama A. Muttaqin.
Setelah beberapa kali berkonsultasi ke PMD Cirebon tentang syarat pendirian Muhammadiyah, dari maksud mendirikan ranting, namun karena mendapat sambutan yang sangat besar dari masyarakat, bahkan pada saat pendirian itu tercatat ada 60 orang yang mendaftarkan diri sebagai anggota Muhammadiyah maka atas saran PMD Cirebon dibentuk cabang Muhammadiyah Jatiwangi dengan Ketua H.A. Rusydi dan Sekretaris Ambari.
Selain aktiv membina berbagai pengajian di Majalengka dan Kadipaten, cabang Muhammadiyah Jatiwangi tiap tahun mengadakan kegiatan hari besar Islam baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adha dengan mengadakan pengelolaan zakat fithrah dan penyembelihan hewan Qurban, sekalipun pada saat itu masih dianggap aneh oleh masyarakat. Hal ini pernah juga dialami oleh H. Djajusman yang pada waktu itu menjabat sebagai Hakim Pengadilan Negeri Majalengka, ketika melaksanakan aqiqah, beliau malah menerima pemberian 40 kambing/domba yang akhirnya, kesemua kambing itu disembelihnya dan dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Dari kejadian ini dapat terbaca bagaimana sebenarnya faham keagamaan masyarakat Majalengka saat itu.
Dari Madrasah Rekesan Sutawangi, SMP Muhammadiyah sejak Tahun Ajaran 1973/1974 SMP Muhammadiyah pindah ke Desa Burujul Kulon Kecamatan Jatiwangi, menempati bangunan baru di tanah wakaf dari Ujang Gaus Armyn.
Kemudian tanah wakaf dari Bapak R.A. Sutisna (mantan Pembantu Gubernur wilayah Cirebon) yang terletak di Komplek Neglasari Majalengka kota (yang asalnya milik PCM Majalengka), ditukar dan dipindahkan ke PCM Jatiwangi dengan maksud untuk perluasan Komplek Perguruan Muhammadiyah di Jatiwangi. SMP Muhammadiyah juga pernah mendapatkan BANPRES sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang kemudian di pergunakan untuk perbaikan dan rehabilitasi gedung SMP Muhammadiyah menjadi gedung permanen.
Pada tahun berikutnya berdiri pula SPG Muhammadiyah Jatiwangi, dengan kepala Sekolah Nana Djumhana, BA. Banyak sekali lulusan SPG Muhammadiyah yang menjadi guru SD Negeri. Selanjutnya berdiri pula SMA Muhammadiyah Jatiwangi dengan kepala Sekolah Dra. Hj. Yuyu. Pada periode inilah merupakan zaman keemasan bagi perguruan Muhammadiyah Jatiwangi Kabupaten Majalengka.
Namun, Allah telah mentakdirkan adanya pasang dan adanya surut. Dengan adanya kebijakan pemerintah pusat menghapuskan SPG, maka kondisi Perguruan Muhammadiyah mulai “merosot”, sampai akhirnya SMA Muhammadiyah pun bubar.
Pada tahun 1987 berdiri TK. Aisiyah, dengan Kepala Sekolah Ibu Ilah Sursilah dan pada tahun 1994 berdiri pula SLB Muhammadiyah Jatiwangi, dengan Kepala Sekolah Ibu Dra. Hj. Imas Maswati.
Di Majalengka, setelah banyak mengikuti pengajian di PMC Jatiwangi dan PMC Cirebon pada tanggal 25 Agustus 1963 resmi juga berdiri Pimpinan Muhammadiyah Bakal Cabang Majalengka bertempat di gedung SD Negeri No.4 Majalengka Kota dengan Ketua Muh Basjar yang dilantik oleh Ketua PDM Cirebon yang waktu itu masih dijabat oleh H. Djamal Dasoeki.
Setelah berdiri Pimpinan Muhammadiyah Jatiwangi, Majalengka dan Kadipaten, maka ke tiga cabang itu mengadakan permusyawaratan/ pertemuan bertempat di Gedung SMP Negeri I Majalengka yang menghasilkan keputusan berdirinya Pimpinan Muhammadiyah Daerah Majalengka terpisah dari PMD Cirebon. Pendirian dan pelantikan PMD Majalengka ini berlangsung pada tahun 1972 yang dihadiri oleh utusan wilayah , Sjihabudin Ahmad.
Susunan PMD Majalengka pertama terdiri dari Ketua : H. Djayusman, SH. Wakil: K. Halil Sekretaris : A. Wahid Dasuki Wakil Sekretaris M.A. Zainuddin Djuhry dan Bendahara : H. Maksudi. Pimpinan periode pertama ini berlangsung sampai tahun 1975. Pada tahun – tahun berikutnya Muhammadiyah Majelengka dipimpin oleh K. H. Kholil dan dua periode terakhir yaitu sejak tahun 1995 Ketua PDM dipimpin oleh Drs Ahim Afandi. Adapun susunan pengurus PD. Muhammadiyah periode 2000 – 2005 adalah Drs. Ahim Affandi, Ir. H. Hendrayanto, Abdul hamid, MBA, Drs. H. Rahmat Sanusi, Mahfudin Azis, S.Ag., H. Adrianto, MH., Mumu Rudiharto, S.Sos., Drs. Cece Djayadipura, Drs. Djodjo Zaenal Arifin, Mista Hadi Permana, S.Ag. Nawawi.

1.11. Purwakarta
Upaya perintisan Muhammadiyah di Purwakarta dilakukan oleh Uu Markub, seorang pengusaha asal Tasikmalaya yang sebelumnya justru banyak aktiv di lingkungan Persatuan Islam. Dalam upaya perintisan itu ia mendapat dukungan dari seorang pendatang dari Tanah Minang yang secara kebetulan bekerja di Jawatan Kereta Api. Tidaklah mengherankan apabila amal usaha pertama Muhammadiyah Purwakarta berupa mesjid yang dibangun di atas tanah milik PJKA dengan nama mesjid Baitul Arqam. Bahkan uniknya, sekalipun Persatuan Islam (PERSIS) lebih dulu berkembang di Purwakarta, karena pada saat itu mereka belum memiliki pusat aktivitas yang tetap, masjid yang dibangun di atas tanah PJKA oleh para perintis Muhammadiyah itu dimakmurkan secara bersama sama oleh Muhammadiyah dan PERSIS.
Secara resmi Muhammadiyah berdiri pada tahun 1965 dengan status pimpinan cabang. Pada saat itu, pelantikan dilakukan di gedung Pimpkopad oleh Kolonel Bakrin. Ada memang berita bahwa Muhammadiyah di Purwakarta telah berdiri di masa – masa penjajahan Belanda. Hanya saja, sampai saat ini belum ada bukti yang mendukung terhadap pernyataan itu, baik berupa amalan nyata dalam bentuk lembaga pendidikan, mesjid atau yang lainya. Menurut penuturan H. Solihin yang dikuatkan oleh H. Abdurrahman mantan Ketua PD. Muhammadiyah Kabupaten Purwakarta, nampaknya memang tidak ada yang berkembang pergerakan Islam di Purwakarta ini. Baik Muhammadiyah, PERSIS, maupun NU yang banyak dikenal masyarakat sebagai organisasi islam terbesar ternyata kurang berkembang di Purwakarta. Justru diantara ketiga Ormas Islam itu, Muhammadiyah barangkali yang dapat dikatakan memiliki amalan dan gerakan lebih nyata sekalipun hanya dalam bentuk Sekolah Menengah Pertama dan SMK Muhammadiyah disamping beberapa mesjid dan TK Bustanul Athfal Aisyiyah. Diantara cabang Muhammadiyah di Purwakarta yang perkembangannya cukup pesat adalah cabang Campaka. Lembaga - lembaga pendidikan yang disebutkan di atas selama ini terpusat di cabang Campaka ini. Sedangkan di Cabang Plered, pernah dirintis sebuah Balai Pengobatan, hanya saja karena ada masalah terutama dengan status tanahnya, sampai saat ini amal usaha bidang kesehatan itu dapat dikatakan belum pernah terwujud.
Di awal pendiriannya, Muhammadiyah Purwakarta dipimpin oleh Marah Isrin. Dari Marah Isrin, jabatan Ketua PMD Muhammadiyah diserah terimakan kepada sahabatnya sendiri yaitu UU Margub sampai beberapa periode. Pada tahun 1990 selama dua Periode kepemimpinan itu berada di pundak Drs. H. Abdurrahman sampai tahun 2000. Periode 2000 – 2005, Muhammadiyah Purwakarta kemudian dipercayakan kepada Azhar, SH. dengan susunan lengkap PDM periode 2000 – 2005 sebagai berikut Azhar, SH., Drs. Irham Musyafir, Darta S.Ag., Hilman Sukardja, S.Ag., H. Solihin, Drs. Ahmad Sopyanudin, MA., Drs. Endang Jarkasih, Momon Maulani, dr. Sarjunas, Ir. Yodida, Drs. Yayat Hidayat, Drs. Syakur, dan Oedoeng R, BA.

1.12. Subang
Menurut Toyib Saefulah yang selama ini dianggap sebagai salah seorang sesepuh Muhammadiyah Subang, secara resmi, Muhammadiyah khususnya di Sukamandi baru berdiri di tahun 1963. Sukamandi sebagai cabang tertua di Subang, sekitar awal tahun 1960 sering mendapat siraman ruhani dari Ustad Zein Muhammad, seorang aktivis Masyumi asal Tegal. Bertempat di mesjid al Jihad Sukamandi, anggota majelis Matholi’ul Falah sering mendapat pencerahan pemikiran tentang al Islam dari Ustad Zein Muhammad yang selalu menganjurkan pengamalan ajaran Islam dengan bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah Shahih. Berbekal pemahaman inilah beberapa orang diantara anggota majelis Matholi’ul Falah dengan dipelopori oleh Toyib Saefullah dan Usman berupaya merintis pendirian Muhammadiyah di Sukamandi.
Orang pertama yang dihubungi dalam kaitanya dengan upaya pendirian Muhammadiyah di Sukamandi ini adalah H. M. E Sobandi, yang dikenal sebagai aktivis dan penggerak Muhammadiyah di Karawang. Mendengar keinginan ini, H.M.E. Sobandi menyambutnya dengan antusias. Sejak itu mubaligh dari Karawang ini sering menyempatkan waktu untuk sekedar memberikan pembinaan dan menyampaikan pengajian di Sukamandi. Baru pada tahun 1963 Muhammadiyah secara resmi berdiri di Sukamandi yang menjadi cikal bakal penyebaran Muhammadiyah di Kabupaten Subang dibawah pembinaan PMD Karawang.
Diantara yang menjadi daya tarik masyarakat untuk menyambut dan bergabung dalam pergerakan Muhammadiyah pada saat itu adalah kemahiran para pemuda Muhammadiyah dalam bermain drum band yang mendapat pembinaan dari cabang Muhammadiyah Haurgeulis – Indramayu disamping dari militer. Keberadaan drum band Muhammadiyah menyedot perhatian yang luas dari masyarakat yang pada saat itu mungkin masih dianggap barang langka. Apalagi kalau mengingat bahwa di tahun 1960-an kondisi perekonomian bangsa sedang ada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, sehingga kegiatan-kegiatan yang bersifat menghibur dan show opos banyak diminati oleh masyarakat luas.
Drum Band Muhammadiyah Sukamandi tidak hanya dikagumi oleh orang Subang saja. Beberapa kota pernah dikunjungi dan tampil turut memeriahkan berbagai acara, termasuk tampil di arena Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung tahun 1965. Didasari oleh ketertarikan masyarakat terhadap drum band inilah diantaranya Muhammadiyah dapat berdiri di Pagaden, Subang, Purwadadi, Purwakarta dan lain – lain.
Namun demikian, masih menurut Toyib Saefullah sebenarnya Muhammadiyah di kota Subang, khususnya di Sukamandi sudah ada sejak tahun 1933. Keterangan ini didapatkannya dari beberapa orang tua yang dikenalnya. Salah satu bukti yang menguatkan keterangan itu adalah keberadaan gedung Sekolah Dasar Muhammadiyah Sukamandi yang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1930. Sekolah itu sejak awal sudah menggunakan nama Muhammadiyah. Bukti lain yang juga menguatkan keterangan itu adalah himbauan Redaktur Soeara Pemoeda Muhammadiyah Djawa Barat yang bertiti mangsa tahun 1937. Himbauan itu ditujukan kepada pengurus beberapa cabang Pemuda Muhammadiyah untuk segera berlangganan majalah dimaksud, dan salah satu cabang yang dihimbau itu adalah cabang atau group Pemuda Muhammadiyah Sukamandi yang masih menggunakan ejaan lama Soekamandi. Diantara para pendiri Muhammadiyah di Sukamandi Subang di tahun 1933 yang sampai ke telinga Pak Thayib adalah Mangkusuit seorang pendatang dari Padang yang secara kebetulan bertugas sebagai mantri kesehatan. Beliau dibantu oleh rekan – rekannya yang diantaranya adalah Juragan Tayep (Nama aslinya Thayib) dan Hasbullah Selawana.
Pimpinan Muhammadiyah Daerah Subang resmi berdiri pada tahun 1972 dan telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan yang diantaranya adalah H. Ahmad Hanafi, BE. Pada periode 2000 – 2005, PD. Muhammadiyah Subang dipimpin oleh Drs. Saefullah ZM dengan susunan lengkap sebagai berikut Drs. H Aef Saefullah ZM, Drs. H. Yoyo Setiamulyana, Abas Al Basyarah, Drs. H. Mugni Ismail, Ir. H. Dachlan Sudarsa, Drs. Agus Salim, Drs. Nanan Nazmul Muttaqien,, Drs. Lili Sobirin SPH dan Hamdani, S.Ag.

1.13. Sukabumi
Kelahiran Muhammadiyah di Sukabumi ternyata tidak lepas dari tokoh Kartosudharmo, yang kemudian dikenal sebagai Konsul Muhammadiyah untuk propinsi Jawa Barat hasil keputusan Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke I tahun 1930 di Jakarta yang pada waktu itu kota Jakarta masih berada dalam wilayah propinsi Jawa Barat. Di Sukabumi, Kartosudharmo dikenal sebagai seorang cendikiawan yang mempunyai hubungan dengan para administrator perkebunan teh di Sukabumi terutama perkebunan Pandan Arum dan Jampang Kulon.
Muhammadiyah resmi berdiri di Sukabumi pada bulan Juli tahun 1930 dengan status pimpinan cabang di bawah pembinaan PMD Muhammadiyah Bogor. Aktivitas pimpinan Muhammadiyah Cabang Sukabumi pada saat itu baru berupa pengajian – pengajian yang berpusat di Ciaul dengan pengurus pertama seperti berikut ini :
Ketua : Muhammad Iskandar
Sekretaris : Nunung Muhammad Sanusi
Anggota : K. Bunyamin
Kyai Aim Abdurrahim
Selepas dari pendudukan Jepang dan masa masa pertahanan kemerdekaan, cukup lama Muhammadiyah di Sukabumi tidak menunjukan aktivitas berarti.Beruntunglah ada Empat Sekawan yang terdiri dari H. Dahlan, Emo Harja, Kurdi dan Abdullah Mansyur, tepatnya pada tahun 1950 keempat tokoh ini merintis pendirian Sekolah Menengah Islam (SMI) Kesadaran dengan menyewa bangunan di jalan Cikole No 53 yang namanya di kemudian hari berubah menjadi SMP Muhammadiyah. Tanah itu baru lunas dibayar dan menjadi milik Muhammadiyah pada tahun 1985. Di tanah ini pula pernah berdiri PGA Muhammadiyah yang mendapat sambutan besar dari masyarakat.
Berikut ini adalah tokoh – tokoh Muhammadiyah Sukabumi yang pernah memegang puncak kendali :
1. Periode 1930 – 1942 (PMC) : Muhammad Iskandar
2. Periode 1950 – 1970 (PMC) : H. Dahlan (Wafat tahun 1966,
dilanjutkan K. Ijudin Subki)
3. Periode 1970 – 1975 (PMD) : K. Ijudin Subki
4. Periode 1975 – 1990 (PMD) : K. H. Abdullah Mansur
5. Periode 1990 – 2005 (PDM) : Drs. H. Barchoya Mansur
Pada periode tahun 2000 – 2005, untuk yang ketiga kalinya Drs. H. Barchoya Mansur kembali dipercaya untuk memegang kendali kepemimpinan Muhammadiyah Sukabumi dengan susunan lengkap sebagai berikut : Drs. H. Barchoya Mansur, Edy Kurniadi, E. Juhaeri, S.Ag., Drs. Sakti Alamsyah, Ade Munhiar, Rachmat Effendy, S.Ag., Drs. E. Sutisna SL, Mahpuddin, R.A. Sutardjo, Drs. Badrudin A. Latief, dan Muchtar Syahid.
Pada periode ini, PD. Muhammadiyah Sukabumi menunjukan prestasi yang patut mendapat penghargaan tinggi yaitu dengan berdirinya Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI). Universitas Muhammadiyah Sukabumi berdiri di tengah kerinduan warga Muhammadiyah Jawa Barat untuk memiliki sebuah Universitas Muhammadiyah yang refresentatif dan diperhitungkan keberadaannya oleh masyarakat akademik. Universitas Muhammadiyah kedua yang dimiliki oleh Jawa Barat ini mulai beroperasi dan menerima mahasiswa pada tahun 2003 dengan Rektor Prof. Dr. H. E. Hidayat Salim, Ir. MS. Perguruan tinggi kebanggan warga Muhammadiyah Sukabumi ini menempati lokasi yang sangat strategis yaitu di Jl. R.H. Syamsudin No 54 menggunakan bangunan bekas Kantor Pemerintahan Kabupaten Sukabumi. Pada saat ini, UMMI membuka 7 Fakultas dengan 10 Program Studi. Di tengah kebahagiaanya menimang – nimang bayi mungil UMMI ini, warga Muhammadiyah Sukabumi pun kembali mendapat kebahagiaan karena salah seorang kadernya yang juga pembantu rektor II UMMI, yaitu Drs. H. Marwan Hamami, MM. mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menduduki jabatan Wakil Bupati Sukabumi yang unggul dalam peraihan suara pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung tahun 2005 mendampingi Drs. H. Sukmawijaya, MM sebagai Bupati Sukabumi.

1.14. Sumedang
Kehadiran Muhammadiyah di daerah Sumedang tidak lepas dari keberadaan para aktivis Masyumi. Interaksi mereka terutama dengan sesama aktivis Masyumi dari luar daerah Sumedang telah membuka perkenalannya dengan Muhammadiyah. Tidak sedikit di antara para aktivis Masyumi saat itu yang juga adalah aktivis Muhammadiyah. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, saat itu antara Muhammadiyah dengan Masyumi seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Para aktivis Masyumi banyak juga yang turut berkiprah di Muhammadiyah.
Agak sulit untuk menentukan kapan sebenarnya Muhammadiyah masuk di Sumedang. Namun menurut penuturan Drs. K.H. Kusnadi, sesepuh sekaligus mantan Ketua PD. Muhammaiyah Sumedang, diperkirakan masuk dan berdirinya Muhammadiyah Sumedang tahun 1950, ketika Masyumi sedang berkembang dan mendapat simpati yang cukup luas dari kalangan ummat Islam Indonesia. Muhammadiyah di Sumedang bermula di daerah kota Sumedang kemudian tumbuh menyusul di Tomo dan Tanjungsari.
Kelahiran Muhammadiyah di Sumedang diawali dengan bedirinya sebuah lembaga pendidikan yaitu Pendidikan Guru Agama (PGA) yang berdiri pada tahun 1953. Hanya saja pada perkembangan selanjutnya PGA Muhammadiyah yang berada di Kota Sumedang diserahkan kepada pemerintah karena memang assetnya juga milik pemerintah sementara pemerintah sendiri memiliki PGA Negeri, sehingga dari pada kekurangan siswanya, lebih baik diserahkan kepada pemerintah. Selain di kota, PGA Muhammadiyah juga sempat berdiri di Tanjungkerta, Tanjungsari, Buahdua dan Cikeruh. Setelah PGA ditutup, Muhammadiyah Sumedang melanjutkan lembaga pendidikan itu dengan membuka beberapa Madrasah Aliyah. Namun seperti diungkapkan di muka bahwa H. Asikin Sonhadji menerima sebuah photo bergambar para peserta Konferensi Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat pada tahun 1930 di Cimahi. Penulis sendiri belum yakin dengan berita konferensi itu, sebab yang diketahui selama ini pada tahun 1930 itu hanya ada Konferensi Muhammadiyah Daerah Priangan dan Betawi yang kemudian disebut Konferensi Muhammadiyah Daerah Jawa Barat ke I, itupun berlangsung di Jakarta dengan salah satu keputusan memilih dan menetapkan Kartosudharmo sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Barat yang pertama. Menurut berita konferensi di Cimahi itu dihadiri oleh Sutan Mansyur dan Kyai H. Mas Mansur. Namun tidak jelas apakah Rd. Ayub (sesepuh Muhammadiyah Sumedang) waktu itu juga hadir menjadi peserta ?
Perkembangan Muhammadiyah di Sumedang mengalami puncak kemajuan pada saat sedang gencar-gencarnya Perguruan Tinggi Da’wah Islam (PTDI) yang tersebar di beberapa kota di Jawa Barat. Para alumnus dari PTDI ini banyak membantu menanamkan faham keagamaan sebagaimana faham keagamaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Sehingga dengan demikian ketika para mubaligh Muhammadiyah terutama di Sumedang terjun ke tengah masyarakat untuk menjelaskan tentang berbagai hal terutama berkenaan aqidah dan ibadah tidak terlalu menemui kesulitan karena sebelumnya telah mendapat siraman dari para mubaligh yang merupakan alumnus PTDI dimaksud.
Diantara tokoh yang dianggap sebagai perintis kelahiran Muhammaiyah di Sumedang adalah K.R.H. Ayub yang melekat dipanggil Buya dan menjabat sebagai Ketua Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumedang sampai tahun 1985. Tokoh lain yang turut menyertai langkah perjuangan K.R.H. Ayub mengembangkan Muhammadiyah di Sumedang saat itu adalah R. Abeg Sukandi, Kosim Anggadinata, dan U. Jubaedi Usman.
Pasca kepemimpinan K.R.H. Ayub Muhammadiyah Sumedang kemudian dipimpin oleh Kosam, Tajudin Rasul, Abbas, dan A.R. Malik. Pada Periode 1990 –1995, PD. Muhamadiyah Sumedang dipercayakan kepada Drs. H. Kusnadi dengan dibantu oleh anggota lain yang terdiri dari K. Sukandi, Drs. H. Dana Miharja, Totong Falah, Ibrohim, Drs. Edje D, Drs. Edeng S., Abas Syamsuri, dan US Natamihardja. Sedangkan periode 2000 – 2005, hasil Musyda adalah Ayi Mohammad Toha, namun karena kesibukannya di amal usaha Muhammadiyah, beliau mundur dan digantikan oleh Drs. H. Nashrudin Toha. Adapun PD. Muhammadiyah 2000 – 2005 lengkapnya adalah : Drs. Ayi Muhammad Toha, Totong Falah, Drs. K. H. U Nashrudin Thoha, Drs. Edje Djalaludin, Drs. Endang Suhandi, Drs. H. Kusnadi, H. Adja Suhardja, O. Komarudin Amd, dan H. M. Shodiqin.

1.15. Tasikmalaya
“Bermula Pengurus Muhammadijah Tjabang Garut menerima surat dari Pusat Pimpinan Muhammadijah Jogjakarta, jang memberi tahukan bahwa di Tasikmalaja ada orang jang mengharap-harapkan kedatangan propoganda Muhammadijah bernama Hidajat di Tjitapen” (Fadjri, 1968 : 19). Menindaklanjuti surat itu, ketua cabang Muhammadiyah Garut Moh. Fadjri menyengaja berkunjung ke Tasikmalaya dan sempat bertemu dengan Hidayat. Pertemuan pertama belum banyak membawa dampak, rupanya Hidayat belum memiliki kawan/sahabat untuk berbagi tugas dalam mendirikan Muhammadiyah di Tasikmalaya.
Namun demikian, Allah masih memberi jalan. Tidak lama setelah itu, Sutama seorang anggota Muhammadiyah Garut dipindah tugas mengajar di Ambach School Tasikmalaya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Moh Fadjri untuk menugaskan Sutama merintis pendirian Muhammadiyah di Tasikmalaya.
Amanat besar ini tidak disia-siakan pula oleh Sutama. Dalam waktu dekat ia berhasil mengumpulkan beberapa simpatisan. Bertempat di rumahnya di Jl. Empang dan dihadiri oleh Moh. Fadjri serta I. Somawidjaja dari Garut, malam itu terbentuk bakal kepengurusan Muhammadiyah Cabang Tasikmalaya dengan susunan sbb:
Ketua/Sekretaris/Bendahari : Sutama, Hidajat, Wiraatmadja, Idris dan Idjadji
Pembantu – pembantu : Purawidjaja, I. Wiradikarta, Ismail, Judawinata,
Idris dan Idjadji.
Kepengurusan Muhammadiyah Cabang Tasikmalaya secara resmi dilantik oleh K.H. Sudja dari Pimpinan Pusat pada pertengahan tahun 1936.
Amalan pertama Muhammadiyah Tasikmalaya saat itu adalah mendirikan mesjid yang terletak di kampung Pabrik dekat rumahnya Idris. Sekarang mesjid itu dikenal dengan Mesjid Pataruman terletak di belakang pertokoan Samudera. Sebagaimana diungkapkan oleh Didi Sa’rojah. Patut disayangkan amal usaha pertama itu saat ini justru dikelola bukan oleh Muhammadiyah. Selain mendirikan mesjid, di awal pertumbuhannya cabang Tasikmalaya pun mendirikan sekolah bertempat di jalan stasiun yang disebut dengan HIS.
HIS Muhammadiyah berdiri tahun 1936 bahkan Didi Sa’rojah pernah jadi siswa HIS Muhammadyah Tasikmalaya itu. Selain HIS Muhammadiyah cabang Tasikmalaya pun waktu itu sudah memiliki Schakelschool, dan Bustanul Athfal, tapi di jaman Jepang semua itu harus ditutup.
Lepas dari cengkraman pendudukan Jepang, sekitar tahun 1948 Muhammadiyah Tasikmalaya mulai menggeliat lagi dengan perintisan Sekolah Menengah Islam (SMI) yang berlokasi di Jl. Sutisna Senjaya. Beberapa tahun kemudian masih di lokasi yang sama didirikan pula Tsanawiyah Muhammadiyah. Pada perkembangan selanjutnya SMI berubah nama menjadi SMP. Muhammadiyah dan mulai menempati lokasi Jl. Rumah Sakit, sedangkan Tsanawiyah-nya pada saat itu masih tetap di Jl. Sutisa Sendjaya.
Setelah itu mendirikan SD bermula di Nagarawangi kemudian pindah ke jalan Rumah Sakit. Setelah itu didirikan SMU Muhammadiyah, namun ternyata kurang berkembang. Sejalan dengan menjamurnya pendirian SPG, di Tasikmalaya pun Muhammadiyah menyelenggarakan sekolah pendidikan guru tersebut sambil berupaya terus mengembangkan SMA Muhammadiyah. Ditutupnya SPG, di Tasikmalaya SPG Muhammadiyah beralih fungsi menjadi SMK/STM yang terus berkembang sampai saat ini. Pendirian dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah di Kota Tasikmalaya juga diiringi dengan perkembangan lembaga pendidikan serupa di beberapa kecamatan terutama di wilayah Singaparna.
Pada perkembangan terakhir, Muhammadiyah Tasikmalaya juga mendirikan Sekolah Perawat Kesehatan yang beberapa tahun terakhir ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan. Selain itu, beberapa tahun terakhir sesuai dengan hajat masyarakat yang berkembang didirikan pula beberapa pondok pesantren dengan modifikasi dan kakhususan masing –masing. Di Kota, berdiri Ponpes Amanah yang dipimpin oleh mantan Ketua PDM Tasikmalaya Drs. H. Faqih Zaenuddin. Sementara yang lainya adalah Al Furqan yang berdiri sebelumnya di Singaparna, At Tajdid di Singaparna dan Qurrata A’yun di cabang Leuwisari.
Di awal perkembangannya, Muhammadiyah Tasikmalaya banyak dibantu oleh ketelatenan dan kesungguhan para Mubaligh Muhammadiyah dari cabang Garut. Bahkan untuk membantu pengembangan Muhammadiyah di Tasikmalaya, disamping untuk menjamin efektifitas pembinaan yang selama ini dilakukan sendiri oleh Moh. Fadjri dari Garut, maka secara resmi Muhammadiyah Garut menugaskan A.S. Bandy agar menetap di Tasikmalaya untuk menjadi mubaligh sekaligus guru tetap di sekolah sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah Tasikmalaya. Dengan bantuan tenaga ini perkembangan Muhammadiyah di Tasikmalaya menunjukan perkembangan yang cukup menggembirakan bahkan sempat merintis pendirian bakal cabang di Ciamis dan Singaparna.
“Puntjak kemajuan berkembangnja Tjabang Tasikmalaja sebelum Perang Dunia ke II pernah menerima konperensi Djawa Barat ke VIII jang sangat meriah, sebab disamping konperensi Muhammadijah, disertai pula konperensi Madjlis Tardjih. Djuga ditambah dengan mengadakan pameran dari bermatjam-matjam keradjinan jang ketika itu mendapat perhatian jang sangat menggembirakan” (Fadjri, 1968 : 20)
Muhammadiyah Tasikmalaya berstatus sebagai cabang sampai tahun 1968. Setelah itu menyesuaikan diri menjadi Pimpinan Muhammadiyah Daerah sampai sekarang. Muhammadiyah di Tasikmalaya sampai tahun 2005, sepanjang sejarahnya pernah dipimpin oleh 10 orang tokoh yang 6 orang diantaranya memimpin semasa berstatus sebagai cabang. Kesepuluh orang tokoh itu adalah Sutama (1936 – 1943), disusul H. O. Sobari dan Hidayat yang tidak jelas periodisasinya, kemudian dilanjutkan oleh Iwa Garniwa (1954 – 1959), H. M. Bahruddin (1959 – 1965), dan E. Nurul Ain (1965 - 1968). Kelima orang tokoh tadi adalah para Ketua semasa Muhammadiyah Tasikmalaya berstatus sebagai cabang. Adapun yang terakhir, yaitu E. Nurul Ain kembali mendapat kepercayaan untuk memimpin Muhammadiyah pada saat perubahan status dari cabang ke daerah. Dengan demikian E. Nurul Ain mengalami baik sebagai ketua cabang maupun sebagai ketua daerah. Selepas dari E. Nurul Ain PMD Tasikmalaya dipercayakan kepada Taufiq Ali (1975 – 1990), kemudian Drs. H. Uun HS (1990 – 1995), Drs. H. Faqih Zainuddin (1995 – 2000) dan periode 2000 – 2005 dinahkodai oleh Drs. H. Hasan Asy’ari dengan susunan lengkap PD. Muhammadiyah Tasikmalaya adalah Drs. H. Hasan Asy’ari, Iif Saymsul Arif, H. Cecep Sutisna, H. Endun Abdurrajak, Drs. Ae Khaerudin, Sm.Hk., Drs. Oslan Khaerul Falah, Drs. H.K.Suhendi, Dr. H. Kamiel Roesman Bahtiar, M.Si., Drs. Budi Ahdiat

2. Muhammadiyah Jawa Barat di Masa Kolinial Belanda & Pendudukan Jepang
Indonesia di akhir abad ke 19 dan berlanjut sampai awal abad 20 telah mendekati keterpurukan yang sempurna. Indonesia pada saat itu adalah sebuah negeri yang sangat muram, terkoyak oleh kolonialisme yang tidak saja merugikan secara material, tetapi lebih dari itu juga melumpuhkan semangat, kreativitas, dan kemandirian. Bangsa Indonesia tenggelam dalam kubangan lumpur kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Dalam bidang ekonomi, terutama sejak tahun 1870 di saat mulainya pemberlakuan ekonomi liberal telah memberikan kesempatan tidak saja kepada kroni pemerintahan kolonial Belanda tetapi juga kepada pihak – pihak asing untuk melekukan eksploitasi terhadap sumber – sumber perekonomian di seluruh Nusantara. “Ada dual-economic system (dalam kajian Boeke) yang akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia di masa kolonial, yaitu di satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama para kapitalis Eropa) yang melakukan aktivitas ekonomi secara kapitalis dan integral denan pasar global, sementara di sisi lain terdapat sebagian besar kelompok sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam subsistence economy, yaitu hidup secara pas-pasan hanya untuk kebutuhan keseharian, tanpa pendidikan, bodoh, dan terbelakang” (Yusuf, 2005 :2). Karena itu, fasilitas – fasilitas yang tersedia seperti dalam dunia pendidikan dan kesehatan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Sementara rakyat kebanyakan yang mayoritas muslim, hidupnya hanya terkonsentrasi kepada pemenuhan kebutuhan yang sangat primer. Tidak terkecuali, hal ini juga menyentuh terhadap kehidupan beragama.
Sangat terbatasnya orang – orang pribumi yang memiliki kesempatan untuk melakukan interaksi terutama dengan belahan dunia Islam lainnya membawa dampak bahwa Islam pada saat itu dipahami sebagai sesuatu yang an sich, tidak terkait sama sekali dengan semangat untuk meningkatkan kualitas ekonomi, pendidikan, berpolitik dan persoalan – persoalan lainnya. Agama hanya dianggap dan dipahami sekedar sesuatu yang ritual belaka.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak – anak, misalnya. Masyarakat pribumi hanya mengandalkan pendidikan yang didapat di tengah keluarga, surau, dan yang berkesempatan cukup dengan belajar di pesantren. Tidak sedikit masyarakat yang enggan untuk memasukan anak – anak mereka ke sekolah yang tersedia “Alasannya, selain wawasan masyarakat belum luas dan sekolah-sekolah yang ada sangat terbatas dan mahal untuk ukuran masyarakat umum, juga tantangan dari kaum ulama yang menyatakan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda merupakan sekolah “kafir” yang tidak sesuai dengan ajaran Islam” (Sofianto, 2001 : 43 – 44).
Sikap masyarakat seperti itu bukan tidak mungkin dialamatkan juga kepada Muhammadiyah di awal perkembannya, seperti yang diaungkapkan oleh Moh. Fadjri ketika Muhammadiyah Garut mendpat subsidi dari pemerintah kolonial untuk sekolah yang diselenggarakannya. Muhammadiyah dianggap sebagai golongan yang telah mencampur-adukan antara yang haq dengan yang bathil. Apalagi kalau mengingat bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah tidak mengenal dikotomi antara pengetahuan umum dan agama, antara pengetahuan pesantren dan barat, antara ilmu – ilmu Islam dan kafir.
Tidaklah mengherankan kalau pergerakan Muhammadiyah banyak menemui rintangan termasuk di Jawa Barat. Di Cirebon, yang dalam catatan Moch Sidik Sadali Muhammadiyah telah muncul di tahun 1930 di masa Kolonial Belanda “Belum menampakan dakwahnya secara terang-terangan ini bukan berarti takut kurang berhasil maksud dan tujuannya, namun pada saat itu tantangan, rintangan, hambatan dan kendala dakwah dari pihak –pihak yang kurang senang terhadap Muhammadiyah cukup banyak dan cukup berat” (Sadali, 1988 : hal 1). Kehadiran Muhammadiyah di Bogor seperti yang diungkapkan oleh Adang Qamarudin, di Kuningan seperti yang diungkapkan oleh Mashuri atau di Bandung seperti yang diungkapkan oleh Mahyudin Kahar serta daerah daerah lainnya dianggap sebagai agama baru.
Diantara pengalaman lucu yang banyak dialami dan kemudian diungkapkan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah adalah ketika memulai pelaksanaan shalat I’d di tanah lapang. Stempel agama baru dari masyarakat luas semakin melekat dialamatkan kepada Muhammadiyah, karena mereka merasa asing dan mungkin menganggap lucu melihat satu jemaah ummat Islam melakukan ruku’ dan sujud mendirikan shalat di tanah lapang terbuka, bertolak belakang dengan pengalaman sehari – harinya yang terbiasa melaksanakan shalat fardlu di kamar, surau atau mesjid yang selalu disucikan dari terkena kotoran dan najis. Mereka menganggap aneh dan lucu, dan tidak menutup kemungkinan warga Muhammadiyah saat itu merasa sering terisolasi oleh lingkungannya, karena masyarakat sudah memandang beda amalan, beda keyakinan dan beda agama.
Tidaklah mengherankan kalau pergerakan Muhammadiyah khususnya di Jawa Barat membentur berbagai halangan dan rintangan yang justru muncul dari ummat Islam sendiri. Di Bandung misalnya, seperti yang diungkapkan oleh Mahyudin Kahar Muhammadiyah belum begitu banyak menunjukkan pergerakan yang berarti. Aktivitas warga Muhammadiyah baru sebatas penyelenggaraan pengajian rutin, kursus – kursus agama dan madrasah diniyyah. Namun demikian, ternyata di tahun 1936 Muhammadiyah cabang Bandung sudah mampu menerbitkan sebuah majalah berbahasa Sunda yang dikelola secara apik. Tidak hanya itu, sekalipun redaksinya di Kota Bandung tapi salah seorang redakturnya justru berdomisili di kota Garut. Ini membuktikan bahwa keikhlasan, kesungguhan dan kebersamaan selalu menjadi bagian dari motivasi untuk menggerakan amalan persyarikatan.
Berbekal keikhlasan dan semangat perjuangan, halangan dan rintangan yang muncul pada dasarnya ternyata dapat disiasati. Sebagai contoh adalah ketika para aktivis Muhammadiyah mendirikan lembaga – lembaga pendidikan. Tidak sedikit diantara lembaga – lembaga pendidikan itu luput dari label Muhammadiyah sebagai induk Persyarikatan yang menyelenggarakannya. Di Cirebon, sekolah pertama yang didirikan bernama Sekolah Menengah Islam disingkat SMI demikian juga di Kuningan, Sukabumi, Tasikmalaya, Majalaya dan beberapa daerah lainnya. Selain SMI ada juga yang memakai nama Kesadaran, pada perkembangan selanjutnya baik SMI atau Kesadaran berubah menjadi sekolah Muhammadiyah karena memang assetnya adalah milik persyarikatan, para pendiri dan pengelolanya juga orang Muhammadiyah. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan juga justru karena tidak memiliki label Muhammadiyah, tidak sedikit sekolah - sekolah amalan warga Muhammadiyah itu berpindah tangan ke yayasan atau organisasi lain atau bahkan perorangan yang tidak lagi ada kaitanya dengan Muhammadiyah sebagai induk persyarikatan seperti yang menimpa Muhammadiyah Kuningan, Ciamis, Cianjur dan beberapa tempat lainnya.
Selain rintangan yang tumbuh dari masyarakat, di beberapa daerah pemerintah kolonial Belanda juga banyak memberikan andil dalam menghambat perkembangan pergerakan Muhammadiyah di Jawa Barat. Tidak sedikit mubaligh – mubaligh Muhammadiyah harus banyak berurusan dengan pemerintah Kolonial karena dianggap telah menumbuhkan sikap yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Demikian juga dengan kegiatan – kegiatan persyarikatan seperti pengajian – pengajian yang selalu mendapat pengawasan ketat karena dikhawatirkan dapat menumbuhkan kesadaran keagamaan di kalangan masyarakat yang pemerintah kolonial sendiri justru bersikap sebaliknya, memperbodoh dan menenggelamkan rakyat Indonesia dalam keterbelakangan dengan berbagai cara, strategi dan kelicikannya.
Termasuk dalam hal ini adalah andil pemerintah kolonial dalam melunturkan keyakinan ummat Islam, terhadap pokok – pokok pemahaman keagamaannya.Di beberapa daerah, proses pemurtadan itu sedikit banyak mendapat legitimasi dari pemerintah kolonial yang mempergunakan proses belajar mengajar di sekolah – sekolah pemerintah sebagai medianya. Menanggapi kenyataan seperti itu, pimpinan Muhammadiyah Garut misalnya sejak dini telah berupaya agar para guru Muhammadiyah dapat turut serta mengajar agama baik di sekolah – sekolah pemerintah maupun swasta.
Memasuki masa pendudukan Jepang, bagi bangsa Indonesia ternyata bukan mendatangkan kebahagian seperti yang dibayangkan. Kehadiran Jepang hampir di seluruh Asia yang menjadi negara pendudukannya dipropagandakan sebagai kehadiran saudara tua yang berniat akan membebaskan saudaranya dari cengkraman bangsa barat. Karena itu kedudukan Jepang harus menjadi pusat penghormatan dan ratu adil yang didatangkan oleh Tuhan guna menyelamatkan bangsa – bangsa yang mengalami penjajahan. Atas pengakuan itu, disamping trauma yang menyelemuti rakyat Indonesia setelah terbebas dari kungkungan Kolonial Belanda maka kehadiran Jepang pun awalnya mendapat simpati dari sebagian masyarakat. Mereka beranggapan Jepang akan membawa perubahan nasib. Setelah beberapa bulan menduduki Nusantara, sikap Jepang ternyata mulai tercium belangnya. Berbagai aturan dikeluarkan pemerintah Jepang untuk memperkuat cengkramannya, diantaranya adalah penghormatan bendera Jepang, keharusan menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo, disamping Seikerei, yaitu memberi hormat kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkuk setengah badan atau ruku ‘ ke arah Tokyo.
Sikap terakhir inilah yang mendapat kecaman dari berbagai kalangan, diantaranya adalah K.H.Zainal Mustapa dari Sukamanah – Singaparna – Tasikmalaya. Bapak Didi Sya’rojah sewaktu masih belajar di Yogyakarta selalu diinterogasi untuk menanyakan sejauh mana hubungannya dengan pengasuh Pesantren Sukamanah itu. Di Muhammadiyah, sikap sama juga ditunjukan secara resmi oleh Pengurus Besaryang waktu itu dijabat oleh Ki Bagus Hadikusumo. Larangan ini berbuah dipanggilnya Ki Bagus Hadikusumo untuk menghadap pemerintah Jepang.
Selain aturan – aturan yang mengikat itu, “waktu itu semua organisasi telah dipaksa non-aktif oleh pemerintah balatentara Jepang lalu ditampung dalam organisasi gabungan yang didirikan oleh pemerintah dengan alasan untuk mempersatukan seluruh kekuatan rakyat dengan nama Pusat Tenaga Rakyat atau PUTERA” (Djarnawi, TT : 109).
Begitu kuatnya tekanan yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap bangsa Indonesaia, Moh. Fadjri Ketua Muhammadiyah Cabang Garut pada waktu itu pernah harus menandatangani surat perjanjian yang berisi kesediaan dirinya dijatuhi hukuman mati apabila sekali waktu pergerakan Muhammadiyah bertentangan dengan aturan dan kehendak pemerintah. Di berbagai daerah seperti di Tasikmalaya, Bogor, Bandung kuatnya tekanan itu tidak menyurutkan pergerakan Muhammadiyah sekalipun sebatas penyelenggaraan pengajian anggota dan simpatisan Muhammadiyah, sekalipun juga setiap kegiatan itu tidak luput dari pengawasan para balatentara dan kaki tangan pemerintah Jepang. Sebagai contoh, sebagaimana penuturan Mahyudin Kahar sesulit apapun cabang Muhammadiyah selalu berupaya untuk melakukan pengajian dan kursus mubaligh.
Tidak saja organisasi yang tumbuh di masyarakat yang dilarang bergerak, sekolah – sekolah warisan kolonial Belanda pun dibubarkan seperti ELS, HIS, CHICS dan Volkschool, baru sekitar bulan April tahun 1942 sekolah – sekolah tersebut dibuka kembali dengan nama Sekolah Rakyat. Sedangkan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh swasta sebagian besar tidak beroperasi, termasuk sekolah – sekolah Muhammadiyah. (Wawancara dengan Didi Sya’rojah & Endang Sulaeman)
Namun patut di catat, berbeda dengan daerah-daerah lain, di Cirebon pada masa ini Muhammadiyah justru menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Pada masa inilah Muhammadiyah Cirebon yang dipegang oleh H. Hoed berhasil melebarkan sayap ke berbagai daerah dengan mendirikan beberapa pengurus ranting seperti ranting Jamblang, Sumber, Sindanglaut, Ciledug bahkan ranting Indramayu.

2. Pergerakan Muhammadiyah setelah Kemerdekaan RI sampai masa Reformasi
Dengung Proklamasi yang dibacakan Soekarno tanggal 17 Agustus 1945 pagi ternyata tidak dengan mudah dapat langsung sampai ke telinga masyarakat. Pihak Jepang selalu berupaya menutup nutupi tentang kekalahannya dari tentara sekutu apalagi berita tentang proklamasi kemerdekaan RI. “Isi teks Proklamasi Kemerdekaan baru disebarluaskan melali radio atau Hoso Kyoku Bandung pada jam 19.00 tanggal 17 Agustus 1945, itupun setelah dilakukan persiapan keamanan lebih dulu untuk menjaga kemungkinan terjadinya reaksi dari pihak Jepang” (Depdikbud Proyek Inventaris, TT : 160). Di beberapa daerah, terutama yang agak jauh jaraknya dengan pusat pemerintahan berita tentang kemerdekaan itu baru sampai beberapa hari kemudian.
Tersebarnya berita proklamasi ini membuat Jepang seperti kebakran jenggot. Jepang tidak hanya ingin melestarikan cengkraman dan penindasan terhadap masyarakat tapi juga terus berupaya untuk memperkuat kesiapan militernya terutama dalam menghadapi tekanan para pemuda Indonesia yang disamping merebut dan melucuti senjata juga berusaha mengambil alih pimpinan instansi – instansi vital yang masih berada di bawah kekuasan jepang. Di berbagai kota baik di Bandung, Purwakarta, Serang, Bogor, Garut, Sumedang Kuningan, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon dan hampir di seluruh kota berdiri lasykar – lasykar yang dibangun oleh matersyarakat sendiri dari segala lapisan dan golongan seperti Hizbullah, Barisan Pemberentok Rakyat Indonesia (BPRI), Himpunan Pemuda Pasundan, dan tidak ketinggalan Pemuda Muhammadiyah yang pada saat itu telah berdiri di beberapa kota.
Bangsa Indonesia, khususnya rakyat Jawa Barat pasca diproklamirkanya kemerdekaan Indonesia lebih berkonsentrasi kepada perjuangan melawan siapapun bangsa asing yang ingin kembali berkuasa. Salah satu peristiwa yang menggambarkan kerelaan rakyat jawa barat dalam mempertahanakn kemerdekan adalah apa yang dikenal dengan Bandung Lautan Api. Bandung dibumihanguskan setelah sebelumnya mereka mengungsi ke luar kota. “Rakyat kota Bandung, tua muda, anak – anak, baik pria maupun wanita, yang tidak mau hidup di bawah kekuasaan asing, pada tanggal 24 maret 1946 sore hari, berduyun-duyun meninggalkan kota Bandung. Mereka menuju tempat – tempat yang terletak di sebelah selatan kota tersebut seprti Dayeuhkolot, Ciparay, Majalaya, Pameungpeuk, Banjaran, Soreang. Suasana seperti ini tentu saja memaksa terjadinya kevakuman bagi pergerakan seperti Muhammadiyah. Beberpa lembaga pendidikan yang telah dirintis sejak jaman kolonial belanda terpaksa harus ditutup dan ditinggal mengungsi.
Namun sekalipun dalam keadaan yang sangat darurat, para aktivis Muhammadiyah nampaknya tidak pernah berhenti berda’wah amar makruf ahi munkar. Sekalipun sekolah tidak bisa melangsugkan kegiatan belajr mengajarnya, tapi para aktivis Muhammadiyah mensiasatinya dengan menyelenggarakan kursus – kursus yang tentu saja tempat belajarnya pun tidak menentu. Di Cirebon misalnya, “Sungguhpun kolonial Belanda berisaha melemahkan semangat Bangsa Indonesia dengan kekacauan – kekacauan yang ditimbulkannya, namun tekad dan semangat Bangsa Indonesia umunya dan warga Muhammadiyah khususnya tidaklah mengendor. Kemudian atas inisiatif Bapak Soetisna, maka para siswa baik itu dari SMI maupun SMTI lalu ditampung kembali dalam bentuk yang termaktub di atas” (Cirebon hal 11) Kursus itu sendiri mulanya diselenggarakan di rumah Bapak Soetisna sendiri, kemudian pindah ke Kejaksan 113, kemudian beberapa kali pindah ke dekat mesjid alun-alun kejaksan, pindah ke belakang pabrik tenun milik H. Nadjamoedin di Parujakan yang juga hanya bertahan selama 4 bulan.

Amalan amaln lain yang selama ini diselenggarakan seperti pengajian, pengelolan zakat fitrah dan qurban tetap terselenggara sekalipun dalam suasana yang sangat memprihatinkan. Pengasuhan dan pembinaan terhadap anak asuh dan anak yatim juga tetap berjalan, seklipun anak – anak hidup dalam serba kekurangan, tapi ketelatenan para pengurusnya membuat mereka tidak pernah terlantarkan. Bahkan, seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Sobirin bahwa ketertarikan para perintis Muhammadiyah Baleendah justru karena melihat begitu telaten dan perhatiannya para pengurus Muhammadiyah dalam mengasuh dan membina anak yatim seklipun dalam suasana pengungsian.
Di Majalaya, kelahiran SMP Muhammadiyah yang sebelumnya betrnama Sekolah Menengah Islam (SMI) lahir pada tanggal 1 April 1947 yang kelahirannya justru dibidani oleh para pengungsi pada saat Bandung Lautan Api itu.
Kurang lebih 8 (delapan) tahun mayoritas pererakan Muhammadiyah di beberapa kota di Jawa Barat tidak banyak nampak kepermukaan. Sejak tahun 1942 – 1945, jelas – jelas pemerintahan Jepang sangat mengekang setiap pergerakan apapun bentuknya. Pada masa ini tidak sedikit organiasai yang pernah muncul di jaman koloial belanda tenggelam dan hilang dari percaturan. Di beberapa daerah tertentu, lembaga – lembaga pendidikan Muhammadiyah dan umumnya sekolah sekolah swasta ditutup secara resmi oleh pemerintah Jepang.
Lepas dari pemerintahan Jepang, hampir seluruh pergerakan Muhammadiyah di berbagai kota di Jawa Barat kembali harus mengalami kevakuman. Bangsa Indoneisa, termasuk warga dan aktivis Muhammadiyah dalam rentang tahun 1945 – 1950 disibukan oleh upaya mempertahankan kemerdekaan yang ternyata pihak – pihak asing masih tergiur dengan pesona Indonesia untuk dijadikan negara jajahannya. Tidaklah mengherankan apabila selama kurun waktu itu tidak sedikit asset Muhammadiyah atau asset yang pernah dirintis oleh aktivis Muhammadiyah sulit untuk dikontrol dan akhirnya berpindah tangan atau malah lenyap tidak jelas rimbanya. Di Kuningan hal ini benar – benar terjadi. Menurut penuturan Drs. H. Mashuri yang didukung oleh beberapa pimpinan lainnya dijelaskan bahwa pada masa awal pendirian Muhammadiyah (1926) di Kuningan pernah berdiri SMI, tapi hingga saat ini wujud dari SMI itu sudah agak kesulitan untuk dilacak.
Bukan tiak mungkin kejadian serupa juga terjadi di daerah lain. Namun yang pasti di beberapa daerah seperti Ciamis, Cianjur, Subang, dan Purwakarta terbersit keraguan untuk menentukan kapan Muhammadiyah masuk di kota – kota itu. Ciamis misalnya, Muhammadiyah secara kelembagaan mulai diraskan keberadannya justru diatas tahun 1950 – an , demikian juga dengan Cianjur dan Subang, padahal ada beberpa catatan yang menunjukan bahwa Muhammadiyah telah menyentuh kota – kota itu sejak jaman kolonial Belanda. Keterputusan rentang sejarah ini nampaknya merupakan salah satu akibat dari situasi yang dialami oleh bangsa Indonesia yang selama 3 tahun lebih berkubang dalam tekanan Jepang bahkan nyaris dilumpuhkan sama sekali kemudian menyambung dengan suasana peperangan dan pengungsian sebagai upaya memeprtahankan kemerdekaan selama kurang lebih 5 (lima) tahun.
Memperhatikan kenyataan di atsa, tidaklah meghernakan kalau pergerakan Muhammadiyah di Jawa Brat baru menunjukan geliatnya kembali pasca tahun 1950 stelah Indonesia khususnya rakyat Jawa Barat benar – benarterbebas dari kungkungan tangan orang asing (penjajah). Di beberapa kota mulai bermunculan sekolah sekolah yang memang dislenggarakan oleh Muhmmadiyah bahkan dengan lantang menamakan atau berlabel Sekolah Muhammadiyah seperti SMI atau SMP Kesadaran yang kemdian berganti nama menjadi SMP Muhammadiyah demikian juga dengan PGA Muhammadiyah, SMA Muhammadiyah, SPG dan sekolah sekolah lainnya, karena memang Muhammadiyah saat itu sudah sangat dikenal oleh masyarakat umumnya dan terutama pemerintah. Apalagi kalau mengingat pada masa – masa jayanya Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang banyak didukung oleh aktivis dan penggerak Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun daerah. Bapak Didi Sya’rojah dengan bangga menyatakan mungkin Masyumi saat itu tanpa Muhammadiyah tidak akan sebesar itu.
Lepas dari cengkraman penjajah dan upaya – upaya pihak asing yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan, ternyata di beberapa wilayah termasuk Jawa Barat juga masih harus disibukan dengan munculnya gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo yang justru menjadikan Jawa Barat sebagai pusat pergerakannya terutama di daerah daerah Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka dan Kuningan. Pada masa – masa ini yaitu antara 1949 – 1962 penduduk mengalami berbagai gangguan. Tidak terkecuali dengan gerakan persyarikatan Muhammadiyah. Di masa – masa puncaknya tidak sedikit warga Muhammadiyah mengalami tekanan dan penderitaan yang sangat menyedihkan. Ranting – ranting yang berada di luar kota khususnya yang dijadikan basis pergerakan mereka nyaris lumpuh, tidak ada kegiatan sama sekali. “Keluarga Muhammadiyah tidak sedikit jang mati dibunuh. Ketua Ranting Muhammadijah Banjuresmi, H. Afandi dan beberapa orang lainnya mati terbunuh. Demikian pula di Ranting Panawuan ada 3 orang jang dibunuh. Keluarga Muhammadijah Ranting Kadungorapun ada beberapa orang yang dibunuh. Maka oleh karenanja banjak para anggauta Muhammadijah dari ranting2 itu jang terpaksa meninggalkan kampung halamanja mengungsi ke daerah jang aman. Antar lain H. Adang Affandi ngungsi ke Bandung, selanjutnya aktif menjadi Ketua Tjabang Bandung, Daerah Priangan dan Pimpinan Wilajah Djabar.” (Fadjri, 1968 : 37)
Keberhasilan pemerintah yang didukung oleh TNI dan masyarakat umumnya dalam penumpasan gerakan DI/TII di tahun 1962 nampaknya bagi gerakan Muhammadiyah di Jawa Barat merupakan awal dari rangkaian menuju puncak kejayaannya. Di Tahun 1963, sukses terselenggaranya Muktamar ke 3 Pemuda Muhammadiyah, kemudian diikuti dengan penyelenggaran Kongres ke 2 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan puncaknya adalah penyelenggaraan perhelatan akbar Muktamar Muhammadiyah ke 36 tahun 1965 di Bandung. Semangat ber-Muhammadiyah di sekitar masa – masa itu menunjukan perkembangan yang cukup menggembirakan. Cabang – cabang baru bermunculan seiring dengan perubahan struktur kepemimpinan vertikal di tubuh Muhammadiyah pasca Sidag Tanwir Muhamdiyah tahun 1966. Hampir di seluruh Kabupaten dan Kotamadya se Jawa Barat telah berdiri PDM diikuti dengan pertumbuhan cabang – cabang sekalipun masih jauh setara dengan jumlah kecamatan yang ada. Berbagai pengkaderan baik yang diselenggarakan oleh induk persyarikatan maupun oleh Ortomnya berjalan dan sangat besar peranannya dalam membidani kelahiran pimpinan –pimpinan Persyarikatan. Menurut Drs. H. Mashuri, Ketua PDM Kuningan, pada saat itu adalah masa – masa saya menikmati berbagai perkaderan semacam TC, Darul Arqam, Baitul Arqam dan lain – lain.
Hanya saja bangsa Indoensia kembali terusik dengan munculnya gerakan 30 September (G30S/PKI) yang langsung atau tidak langsung juga berpengaruh terhadap pergerakan Muhammadiyah khususnya di Jawa Barat. Secara tegas Didi Sya’rojah menyatakan bahwa sekalipun Muhammadiyah secara institusional tidak pernah konfrontatif secara langsung dengan gerakan PKI, namun yang jelas idiologi yang dikemangknnya sangat bersebarangan dengan yang selama ini difahami dan diyakini oleh Muhmmadiyah. Oleh karena itu hampir seluruh warga dan trutama aktivis Muhammadiyah secara personal banyak yang turun secara nyata dan terang – teragan melumpuhkan gerakan mereka trutama aktiv dalam pererakan KAMMI dan KAPPI. Di Ciamis misalnya, H. Bukhari yang pernah menjabat sebagai Ketua PMD Muhammadiyah Ciamis adalah tokoh dalam pergerakan menumpas G30S/PKI khususnya di Ciamis. Demikian juga di Kuningan, Cirebon, Purwakarta dan kota – kota lainnya. Bahkan H. Toyib Saefullah pernah mendirikan Ikatan Buruh Muhammadiyah sebagai tandingan terhadap organisasi serupa yang didirikan oleh PKI. Sebaliknya, tidak sedikit pula para aktivis Muhammadiyah khususnya para mubalighnya banyak mendapat teror dan intimidasi Di Kuningan misalnya bgi Maman Lesamana teror dan itimidasi itu menjadi sesuatu yang biasa, bahkan H. Toyib Saefullah di muka pintunya pernah digantungi bawang merah tertusuk jarum sebagai pertanda bahwa salah seorang penghuni rumah itu adalah orang yang diburu untuk dihabisi nyawanya oleh PKI.
Keruntuhan Orde Lama dan berganti dengan munculnya pemerintahan Orde Baru pasca penumpasan G30S/PKI ternyata secara politis tidak banyak menguntungkan terutama bagi ummat Islam. Kekecewaan itu berawal dari intervensi dan atau rekayasa yang dilakukan pemerintah terhadap Parmusi, partai yang dijelmakan oleh pemimpin – pemimpin Islam sebagai alternatif kebuntuan harapan memunculkan kembali Masyumi sebagai partai Islam satu-satunya yang ternyata juga ditolak oleh pemerintah. Orde Baru seakan-akan menempatkan Islam sebagai salah satu kekuatan yang bias meruntuhkan kekuasaanya.
Pada perkembangan selanjutnya Orede Baru berhasil menjadikan partai – partai politik selain Golongan Karya (yaitu PPP dan PDI) hanya sebagai partai pelengkap penderita saja. Lebih dari itu, dalam "PP. No 6 /1970, ditegaskan bahwa kelompok tertentu di kalangan Pegawai Negeri Sipil tidak diperbolehkan menjadi anggota Parpol. Begitu juga anggota ABRI, semua PNS yang bekerja pada Departemen pertahanan, hakim, penuntut umum, pejabat-pejabat khusus (seperti Gubernur BI) dan para pemegang jabatan penting lain yang ditetapkan oleh presiden” (Yusuf, 2005 : 299). Semua itu tiada lain untuk menciptakan monoloyalitas terhadap pemerintah dan mesin politiknya. Dalam hal – hal tentu suasana seperti ini banyak berpengaruh kepada pembatasan gerak Muhammadiyah terutama warga Muhmamadiyah yang menjadi PNS atau ABRI sekaligus muballigh atau guru/pengajar di lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Suasana seperti ini berlanjut selama kurang lebih 32 tahun dan masyarakat pun nampaknya menerima apa adanya dalam ketidakberdayaan yang nyaris sempurna. Seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seolah – olah hanya bertumpu pada satu tangan, yaitu Presiden sekalipun secara tertulis jabatan itu adalah mandataris MPR, dalam kenyataanya pemberi mandat itupun selama kurun waktu itu hanya legalitas – formal saja. Tidak pernah menjalankan tugas dan fungsinya dalam arti yang sesungguhnya.
Kondisi politik dan perekonomian Indonesia yang dikembangkan oleh rezim orde Baru semakin hari semakin menampakan kebusukannya. Kondisi tidak sehat bagi iklim demokrasi ini mendorong Amien Rais untuk menggulirkan isu suksesi kepemimpinan bangsa yang secara formal dilontarkannya dalam arena Sidang Tanwir di Surabaya Desember 1993. Sebuah isu yang sangat janggal bahkan terkesan tabu pada saat itu karena cengkraman Orde Baru masih sangat kuat. Namun demikian, gagasan ini telah menyentakan kesadaran masyarakat Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Sebuah krisis multidimensional yang berakar dan bersumber dari krisis kepemimpinan. Berawal dari keberaniannya membuka kasus Freefort dan Busang, ia mulai menggulirkan perubaan sosial yang sangat mendasar. Bahkan akhirnya ia menjadi orang terdepan dalam meruntuhkan kebobrokan dinasti politik orde baru.
Untuk melanjutkan dan mengawali jalannya reformasi yang dipeloporinya, Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) pada tanggal 14 Mei 1998. Mara inilah yang menjadi embrio lahirnya sebuah partai yang menjadi kendaraan politiknya dalam menyuarakan reformasi Indonesia, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) yang dideklarsikan pendiriannya pada tanggal 23 Agustus 1998 dengan Ketua Umum langsung dipegangnya sendiri.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, PAN telah berdiri di hampir semua wilayah Indonesia. Di Jawa Barat deklarasi PAN berlangsung pada tanggal 18 September 1998 dengan Ketua Prof. Dr.H. E. Hidayat Salim, Ir. MS. Sebagian besar DPW PAN dan demikian juga di tingkat daerah memang melibatkan tokoh-tokoh lokal Muhammadiyah karena bagaimanapun harus diakui bahwa basis utama PAN adalah warga Muhammadiyah ditambah dengan kelompok Islam modernis, tokoh LSM, kalangan kampus dan masyarakat lainnya. Tidaklah mengherankan kalau langkah Amien Rais yang lengser dari jabatan ketua PP Muhammadiyah untuk berkonsentrasi di PAN juga diikuti oleh beberapa pimpinan Muhammadiyah dibawahnya, termasuk Prof. Dr. H. E. Hidayat Salim, Ir. MS. yang menyerahkan kepemimpinan Muhammadiyah Jawa Barat kepada Drs. H. Muslim Nurdin.
Sebagai sebuah partai baru, munculnya dinamika dalam tubuh partai tentu saja dipandang sangat wajar. Apalagi kalau mengingat PAN yang dilahirkan sebagai partai terbuka dan majemuk, pada akhirnya juga mengundang polemik dan wacana. Tidak saja di kalangan ummat Islam umummya, bahkan di kalangan warga persyarikatan sendiri. Seloroh Amien Rais yes, PAN no, sempat mengemuka bahkan menggelinding bagai bola salju yang menggerogoti dukungan warga Muhammadiyah terhadap partai pimpinan Amien Rais itu.
Fenomena seperti ini kemudian terbukti dalam perolehan suara hasil Pemilu pertama pasca orde baru tahun 1999. Partai Amanat Nasional hanya mampu meraup 7,4 % suara saja jauh tertinggal di bawah partai – partai kelahiran Orde Baru seperti Golongan Karya, dan PDI Perjuangan yang masih menjadi partai pilihan rakyat kebanyakan. Di tingkat pusat PAN hanya mampu menduduki 34 buah kursi parlemen. Sementara di DPRD tingkat propinsi Jawa Barat PAN juga hanya mampu mendudukan 7 orang wakilnya yang terdiri dari Drs. H. Irfan Anshori, Drs. H. Farid Ma’ruf Noor, Drs. H. M. Rafani Akhyar, Drs. Uum Syarif Usman, Ir. Bambang A. Sukartika dan Dardiri Dahlan. Di tengah perjalanan Drs. H. Farid Ma’ruf, Drs. H. Uum S. Usman dan Ir. Bambang A. Sukartika diganti oleh H. M. Sulthon, Ir. Syafrudin, M.Eng dan Drs. Asep KJ. Terakhir terjadi juga pergantian, yaitu Drs. Asep KJ oleh Maman Kardiman. Namun demikian, sekalipun di parleman PAN bukan mayoritas, tetapi realitas menunjukan bahwa poros tengah yang digulirkan oleh Amien Rais kembali menyentak khalayak dengan berhasil mengantarkan Amien Rais untuk duduk menjadi Ketua MPR dan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, sekalipun keputusannya yang kedua ternyata harus ditebus dengan kekecewaan berbagai kalangan yang kemudian Presiden yang dihasilkan dari suasana yang sangat demokratis itu harus dilengserkan di tengah jalan.
Beberapa kendala yang menyertai perjalanan PAN seperti identitas partai yang pluralis dan majemuk, tentang asas, visi dan misi partai disamping “luka” warga Muhammadiyah secara kultural karena ternyata kader – kader Muhammadiyah baik di pusat dan terutama di daerah banyak yang tersingkir dari kepengurusan partai, terus menggelinding seperti tanpa ada penyelesaian. Seloroh Amien Rais yes, PAN no terus pula menggelinding tanpa bisa dibendung akibatnya di Pemilu tahuan 2004 PAN kembali menuai pil pahit degan perolehan suara yang sangat jauh dari memuaskan.
Puncak kekecewaan warga Muhammadiyah terhadp fungsionaris PAN khususnya di Jawa Barat adalah pada saat pemilihan Presiden tahun 2004 yang lalu. Kerja keras para pimpinan, aktivis dan warga Muhammadiyah untuk turut menyukseskan peraihan suara di pemilu legislatif sebelumnya tidak mendapat imbalan yang sewajarnya dari kader-kader PAN ketika kampanye untuk mengantarkan Amien Rais sebagai Presdien RI. Dengan nada berseloroh penuh sindirian beberapa orang pimpinan Muhammadiyah di daerah yang sempat ditemui, pada umumnya menyatakan kekecewaan yang sama. Muhammadiyah khususnya di Jawa Barat yang secara umum berhasil melakukan pendekatan dengan organisasi – organisasi Islam tidak didukung oleh kesungguhan DPW PAN untuk melakukan lobi politik yang sama dengan berbagai kalangan. Masjid Raya Mujahidin sebagai pusat aktivitas PW. Muhammadiyah Jawa Barat selama kurang lebih 4 bulan sebelum Pemilu Presiden putaran I sangat akrab dengan pimpinan – pimpinan Ormas Islam lainnya yang sama – sama mengusung dan menggoalkan Amien Rais sebagai Presiden, tapi ironis nyaris sepi dari kunjungan para kader dan fungsionaris PAN. Secara keseluruhan (nasional) pasangan ini hanya menempati posisi keempat, namun perlu disampaikan bahwa dari total jumlah suara yang dimiliki pasangan Amien – Siswono, tidak kurang dari 18 % total suara berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat.
Melihat realitas itu tidaklah mengherankan apabila pasca Pemilu 2004 lalu banyak kalangan terutama dari Angkatan Muda Muhammadiyah yang mulai mempertanyakan kesungguhan PAN dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan Muhammadiyah. Dalam Tanwir Pemuda Muhammadiyah 7 – 10 Oktober 2004 di Banjarmasin, masalah ini terus menjadi pembicaraan yang sangat hangat. Bahkan Tanwir Muhammadiyah 3 – 5 Desember 2004 di Mataram – NTB muncul sinyal lampu hijau untuk meluluskan niat Angkatan Muda Muhammadiyah tersebut ke arah pembentukan sebuah partai baru bernama Partai Amanat Muhammadiyah. Di tingkat Jawa Barat, hal serupa terus juga menjadi wacana. Beberapa eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah Jawa Barat sempat mendeklarasikan persiapan pembentukan PAM dimaksud. Bagaimanapun hubungan historis antara Muhammadiyah dengan kelahiran serta perkembangan PAN tidak bisa dipungkiri, sehingga sangat wajar kalau PAN seyogyanya memperhatikan aspirasi dan kepentingan warga dan persyarikatan Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar