Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Bab III : Dikdik Dahlan L.

PROSES MASUKNYA MUHAMMADIYAH KE JAWA BARAT

1. Kehidupan Beragama di Jawa Barat
Agak kesulitan untuk menentukan apa sebenarnya agama yang dianut oleh orang Sunda sebelum masuknya Islam ke tatar Sunda, baik ketika di bawah kekuasaan kerajaan Sunda maupun Pajajaran, sekalipun banyak literatur yang menyatakan bahwa masyarakat Sunda sebelum kedatangan Islam memeluk agama Hindu. Dalam rangka menjawab keraguan di atas, Ruyatna Jaya berupaya menelusuri masalah ini.
“Agama Hindu bertopang pada dua jalan (marga) yaitu : jalan bakti (bhaktimarga) dan jalan pengetahuan (jnanamarga). Gelora bakti yang biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk upacara rupa-rupanya mulai memudar bersamaan dengan terpecahnya Tarumanegara menjadi Sunda dan Galuh. Dari patung – patung hasil jaman Salakanagara dapat diduga bahwa agama resmi kerajaan waktu itu ialah agama Siwa, termasuk di dalamnya mazhab Ganapatya (pemujaan Ganesa). Dari prasasti Purnawarman dapat diduga bahwa agama resmi kerajaan jaman Tarumanagara adalah agama Wisnu, termasuk di dalamya mazhab Saura (pemujaan Surya). Prasasti – prasasti Sunda lainnya, kecuali prasasti Cibadak yang belum tentu mencerminkan agama resmi kerajaan, tidak menampilkan ciri agama tertentu.
Sebahagian dari situasi keagamaan orang Pajajaran dapat diungkap dalam kropak 630 yang disebut “Sanghiyang Siksakandang Karesian”. Di sana tampak adanya jejak agama Siwa dari mazhab Siwasidhanta. Lembar III naskah tersebut menampilkan kalimat pengakuan yang berbunyi, “Hongkaro namo Sewaya, baktining huluan di Sanghiyang Panca Tatagata” (Sesungguhnya puji dan sembahku untuk Siwa, baktiku kepada Sanghiyang Panca Tatagata). Kemudian dijelaskan, “Panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga” (panca berarti lima, tata berarti ucapan, gata berarti wujud). Lima wujud ucapan berarti lima huruf yang disebut panca aksara yaitu : NA, MO, SI, WA, YA.
Kelima aksara itu masing –masing dianggap perwujudan Siwa sebagai : Iswara (di timur), Brahma (di selatan), Mahadewa (di barat), Wisnu (di utara) dan Siwa sendiri (di tengah) …Disamping adanya agama Siwa yang jelas tampak jejaknya dalam kropak 630 juga unsur agama Buda tampak sebagai sendi untuk ajaran moral dalam bentuk dasamarga (sepuluh jalan) yang dijabarkan dari dasasila (sepuluh pokok ajaran) melalui penggunaan dasa indriya (sepuluh indria) secara benar untuk mencapai tingkat kesempurnaan dasa kerta (sepuluh kesejahteraan hidup)…Walaupun demikian kita tidak dapat menyebutkan bahwa masyarakat Pajajaran itu penganut agama Siwa-buda sebab disamping kedua hal tersebut, kropak 630 menampilkan pula unsur agama “asli” yang jauh lebih mendasar dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan Budisme tersebut. Unsur “asli” ini menampilkan posisi dewa-dewa dalam sistem religi masyarakat Pajajaran waktu itu… Bila agama orang Pajajaran sudah bersendikan Hiyang atau Batara Seda Niskala dan menempatkan dewa-dewa terpenting dalam agama Hindu dibawahnya; jelaslah bahwa dalam abad ke – 16 agama Hindu telah kehilangan vitalitasnya… Dari uraian diatas sudah jelas bahwa tidak tepat kita namakan Pajajaran sebagai “Kerajaan Hindu” atau jaman Pajajaran kita sebut “Jaman Hindu”. Penamaan itu hanya akan membangkitkan salah tafsir dan salah paham, bahkan orang akan bertanya. Di manakah candi – candinya ? Di manakah patung – patung dewanya ? (Jaya, 2004 : 3 – 10)
Hanya saja sejarah mencatat tahun 1579 adalah tahun kejatuhan Pajajaran, dan setelah itu Islam mulai menjadi pribumi di tanah Jawa Barat. Agama Islam di Jawa Barat hidup subur, berkembang dengan pesatnya. Hal ini terbukti sampai sekarang dengan bukti banyaknya Alim ulama, tempat - tempat beribadat (mesjid), madrasah, tempat – tempat pengajian, pesantren dan lain – lain. Pertumbuhan agama Islam terus meningkat. “Kemudian, setelah V.O.C.masuk dan pemerintahan Belanda berdiri di Indonesia, maka masuklah pelajaran Agama Kristen/Roma Katholik dengan Missi dan zendingnya” (Koordinasi Pembangunan Daerah tingkat I Jawa Barat. TT : 175) Betapa tidak, untuk menamai armada – armadanya saja mereka lekatkan dengan istilah agama Kristen seperti uraian Adrianto Soekarnen dalam Majalah Forum rubrik Fokus No 50 edisi 31 Maret 2002 yang menyatakan bahwa “Armada Natal berangkat dari Belanda pada bulan Desember – Januari. Sementara itu, Armada Paskah berangkat pada bulan April – Mei. Di awal perjalanan, Armada Natal harus sudah menghadapi amukan Laut Utara di musim dingin.Tapi setelah melewati garis Khatulistiwa, rombongan kapal itu akan mendapatkan cuaca yang terang dan dengan cepat bisa mencapai Hindia Belanda.
Sebagai suatu contoh, untuk membuktikan dugaan bahwa pemerintah kolinial Belanda juga turut andil dalam penyebaran agama Kristen di Nusantara, “Penaburan benih injil di Kota Garut diawali dengan dibukanya Pos Kebaktian di Ciwalen pada bulan Oktober 1899 oleh B.M. Alkema (pendeta Belanda) atas permintaan Thung Siong Hong, seorang Cina yang pada saat itu sudah menetap di Garut. Ia datang ke Indonesia tahun 1890 atas pengutusan satu perkumpulan Pekabar Injil di Negeri Belanda yang bernama Nederlandsche Zending Vereeniging (NZV). Atas usahanya, di Garut, tanggal 4 Juni 1900 B.M. Alkema telah dapat melayani pembaptisan kepada tiga orang, yakni Enok (Maria), Miumah, dan Oesman. Pada tahun 1925 Gereja di Ciwalen dipindahkan ke Talun dengan nama Gereja Kristen (Protestan) Pasundan (GKP), sedangkan tanah dan bangunan gereja di Ciwalen dijual. (Sofianto, 2001 : 60 – 61)
Selain penduduk asli yang kini kebanyakan memeluk agama Islam, kemudian penjajah Belanda membawa missi dan zendingnya, di Jawa Barat atau umumnya di Nusantara terdapat beberapa etnik yang berbaur dengan penduduk, diantaranya etnik Arab, Cina, India dan Pakistan serta yang lainnya. Diantara beberapa etnik itu, Cina atau Tionghoa, atau etnik Tiongkok barangkali perlu dikupas dalam tulisan ini karena beberapa kekhususannya.
Kunto Sofianto menjelaskan bahwa “kedatangan imigran – imigran Cina di Jawa Barat pada akhir abad ke –19 karena tertarik oleh cepatnya perkembangan Kota Batavia dan dibukanya daerah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis) untuk para pedagang Cina. Pemukiman kaum etnis Cina di daerah Priangan mendapat izin dari pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1872. Para imigran Cina tersebut terdiri dari suku bangsa Hokkien, Teo Chiu, Hakka (Khek), dan Kanton yang berasal dari propinsi Fukkien dan Kwangtung (Sofianto, 2001 : 18). Mereka umumnya menganut kepercayaan tradisional Cina dan setiap tanggal 1 dan tanggal 15 menurut kalender Cina, mereka datang ke kelenteng. Hal lain yang masih berhubungan dengan kepercayaan mereka adalah perayaan tahun baru imlek yang dirayakan setaiap tanggal 1 bulan pertama kalender Cina.
Pasang surut kehidupan etnik Cina di Indonesia juga dialami oleh mereka yang tinggal di wilayah Jawa Barat. Puncaknya adalah intruksi Mendagri No 455.2-360/1968 yang mengatur tentang kelenteng dan Surat Edaran No 02/1988 yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan beraksara Cina. Akibat beberapa aturan itu, kebanyakan diantara mereka mengganti nama dari nama berbahasa etniknya sendiri diganti dengan nama Sunda, Indonesia, Barat atau bahkan campuran, sebagai contoh misalnya Willian Soerjadjaja. William biasa dipakai oleh orang Eropa sementara nama belakangnya jelas –jelas nama orang Sunda.
Tidak hanya berganti nama, mereka pun berlomba –lomba berganti agama dan kepercayaan. Diantara mereka ada yang masuk agama Budha, namun menurut beberapa penelitian lebih banyak diantara mereka yang memilih Kristen sebagai agama pilihannya. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan penduduk Jawa Barat berdasarkan agama dan kepercayaan yang dipeluknya, berikut ini disampaikan Jumlah penduduk berdasarkan agama dan kepercayaannya dalam tiga periode :

No Agama
/ Kepercayaan Jumlah
Tahun 1964 Jumlah
Tahun 2000 Jumlah
Tahun 2003 **)
1
2
3
4
5
6 Islam
Kristen/Protestan
Katholik
Budha
Hindu
Lain - Lain 19.344.622
65.000
24.272
43.128
2.500
*) 207.789 37.606.313
340.260
235.417
98.782
58.390
34.864.322
656.534
282969
341.128
184987
T o t a l 19.677.311 38.339.162 36.329.940

*) Diantaranya Kong Hu Chu yang mencapai jumlah 150.000 orang
**) Setelah Banten berdiri sebagai Propinsi
***) Sumber dari Buku Saku Statistik Jawa Barat dan Sejarah Perkembangan & Pembangunan Daerah Djawa Barat Tahun 1945 – 1965

Berkaitan dengan kata “Sunda” sebagai istilah yang menunjukan etnik masyarakat yang menempati sebagian besar wilayah Jawa Barat, pernah heboh dengan munculnya “Agama Jawa – Sunda (ADS)” namun kemudian berkembang menjadi agama Katholik. Aliran kebatinan ini muncul pada pertengahan abad ke 19 di Cigugur – Kuningan yang didirikan oleh Madrais Alibasa Kusuma Wijayaningrat. Karena itu, di luar pemeluknya agama ini lebih dikenal dengan sebutan agama Madrais atau Madraisme.
Pangeran Madrais sendiri adalah putra Pangeran Alibasa (Sultan Gebang) yang dilahirkan pada tahun 1833. Ia pernah mesantren sejak usia 10 tahun, namun pengembaraan pemikirannya menyebabkan ia pernah mengurangi tidur dan mati-raga (bertapa). Ia kemudian menetap di Cigugur, menyiarkan ajaran – ajarannya secara terus menerus dan menurut para pengikutnya ia adalah seorang yang dianut baik oleh Cahyaning Tunggal atau Nurwahid maupun oleh mereka sendiri (para penganutnya) “Nu kaanutan ku Cahyaning Tunggal atawa Nurwahid sarta anu dianut ku abdi-abdi sadaya”.
Madrais dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1901 sampai 1908 ke Merauke. Menurut tanggapan orang – orang awam, agama Jawa - Sunda semata – mata mengingatkan orang kepada kepercayan kepada api dan karena itu agama semacam itu mengingatkan orang kepada agama Zaratustra dari Persia Kuno. Menanggapi hal ini PD. Muhammadiyah Kuningan menyatakan patut disayangkan bahwa perselisihan faham antara ummat Islam dengan pengikut Madrais yang kemudian Madrais dinyatakan kalah oleh pengadilan ternyata ummat Islam mengekspresikan kegembiraan ini dengan berlebihan, sehingga para pengikut Agama-Djawa-Sunda (ADS) dimaksud merasa terlukai dan sulit berhubungan dengan orang Islam, yang akhirnya dirangkul oleh ummat Kristiani.

2. Proses Masuknya Islam ke Jawa Barat
Salah seorang putera Sang Bunisora yang bertahta di kerajaan Sunda pada tahun 1357 – 1371 sebagai pengganti sementara kakaknya (Prabu Wangi) yang gugur di Palagan Bubat adalah Bratalegawa. Pusat kerajaan Sunda pada saat itu telah berpindah ke Kawali, tepatnya sejak tahun 1333 pada masa kekuasaan Prabu Ajiguna Linggawisesa.
Berbeda dengan saudaranya yang lain Sang Bratalegawa memilih hidupnya di dunia perdagangan. Ia terbiasa berlayar ke Sumatera, Cina, Campa, India, Sri Langka dan Persia untuk mencari barang perdagangan seperti emas dan perak. Dari pergaulannya yang luas inilah Sang Bratalegawa menemukan jodoh seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Sang Bratalegawa juga masuk Islam dan menunaikan Ibadah Haji kemudian mendapat julukan Haji Baharudin al Jawi. Ketika kembali ke kampung halamannya (Galuh) ia lebih dikenal dengan nama Haji Purwa Galuh atau Haji Purwa (Haji Pertama). Dari keterangan ini Sang Bratalegawa adalah orang muslim pertama sekaligus penyebar agama Islam pertama di Kerajaan Sunda.
Penyebaran Islam di Jawa Barat selanjutnya mengalami kesempatan yang lebih luas terutama di masa Kerajaan Sunda Pajajaran dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja, Bahkan beliau sendiri menikah dengan Subanglarang puteri Ki Gedeng Tapa penguasa Kerajaan Singapura Muara Jati Cirebon. Subanglarang juga adalah salah seorang cucu Sang Mahaprabu Niskala Wastukancana yang menjadi santri di Pondok Quro Karawang, pesantren pertama di Jawa Barat yang didirikan oleh Syeh Hasanudin.
Syeh Hasanudin adalah seorang ulama berasal dari Campa yang sengaja ikut dalam rombongan armada angkatan laut Cina yang melakukan perjalanan keliling pada tahun 1416 dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Dalam perjalanannya menuju Majapahit, armada ini singgah di Pura Karawang, dan pada saat itulah Syeh Hasanudin yang berniat menyebarkan Islam di pulau Jawa turun memisahkan diri sedangkan armada lainya meneruskan perjalanan ke Majapahit.
Dari perkawinannya dengan Subanglarang, Sri Baduga Maharaja memperoleh tiga orang anak yang kesemuanya muslim, yaitu Walangsungsang, Rara Santang, dan Rajasangara. Pangeran Walangsungsang alias Cakrabuana dan Rara Santang setelah ibunya wafat menetap bersama kakeknya di Cirebon. Di Cirebon, Walangsungsang atau Ki Samadullah pernah membuka perkampungan baru yang diberinya nama Cirebon Larang atau Cirebon Pesisir. Dua tahun setelah menetap disana bersama penduduknya mendirikan sebuah tajug di tepi pantai “dan diberi nama Jalagrahan (rumah air), mesjid tertua yang pertama di Cirebon (bahkan mungkin di Jawa Barat). Setelah menunaikan ibadah haji Walangsungsang yang mendapat nama baru yaitu Haji Abdullah Iman, sekembalinya ke Cirebon dengan modal warisan dari kakeknya ia mendirikan Keraton Pakungwati disamping membentuk tentara kerajaan. Inilah kerajaan Islam pertama di Pajajaran. Dengan demikian, di Jawa Barat mesjid tertuanya adalah Tajug Jalagrahan, Kerajaan Islam pertama adalah Pakungwati. Kedua-duanya didirikan oleh Pangeran Walangsungsang, alias Ki Samadullah, alias Cakrabuana atau juga yang disebut dengan Haji Abdullah Iman. Sedangkan Pondok Pesantren yang pertama adalah Pondok Quro Karawang yang didirikan oleh Syeh Hasanudin.
Cirebon melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran dan merdeka sebagai kerajaan Islam terjadi “pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Masehi (antara Maret – April 1428), Syarif Hidayat menjadi Raja Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati” (Iskandar, 1997 : 261). Susuhunan Jati atau Syarif Hidayatullah adalah cucu Sri Baduga Maharaja dari putrinya Rara Santang, ia juga sekaligus menantu Walangsungsang (Kakak Rara Santang) yang menikah dengan Nyai Pakungwati. Ketika penobatannya, Raden Fatah hadir memberikan dukungan, bahkan sebagian pasukkanya ditinggalkan di Cirebon untuk berjaga – jaga, melindungi Susuhunan Jati. Duet pasukan Cirebon Demak ini pada saatnya berhasil melumpuhkan Pertahanan Galuh di Talaga yang membuka ekspansi Kerajaan Islam di wilayah timur Pajajaran disamping juga merebut Banten Pesisir cikal bakal pendirian Kerajaan Islam Surosowan Banten yang di kemudian hari, raja keduanya, yiatu Panembahan Yusuf berhasil melumpuhkan ibukota Pajajaran. Sejak itulah kerajaan Sunda - Pajajaran sirna dari bumi dan kemudian yang nampak adalah kerajaan – kerajaan Islam yang berpangkal dari Cirebon dan Banten, menular ke pedalaman Jawa Barat.

3. Pemahaman & Pengamalan Keagamaan (Islam) di Jawa Barat.
Pada umumnya proses Islamisasi di Nusantara dilakukan melalui perdagangan dan perkawinan. Sebagai salah satu contoh adalah Cirebon yang diyakini sebagai daerah pertama yang masyarakatnya memeluk agama Islam di Jawa Barat. Di awal perkembangan Islam, Cirebon sudah banyak dihuni oleh para saudagar dari berbagai negeri seperti Parsi, Arab, Pasai, India, Malaka, Tumasik dan Cina. “Kedatangan mereka di Cirebon semata-mata untuk berniaga dan memenuhi kebutuhan pelayaran lainnya. Sebagian besar dari mereka terdiri atas saudagar-saudagar yang telah memeluk agama Islam. Kedatangan mereka di Cirebon sudah tentu memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan Islam”. (Depdikbud Proyek Inventaris, TT : 94)
Lain halnya dengan yang terjadi di Sumedang. Sebagaimana juga diungkapkan oleh Drs. H. Kusnadi mantan Ketua PDM Sumedang, di sini Islam masuk melalui cara perkawinan yaitu antara Pangeran Santri (Penguasa daerah Sumedang) dengan puteri Cirebon. Peristiwa pengangkatan Pangeran Santri sebagai bupati Sumedang merupakan suatu peristiwa penting bagi perkembangan Islam di daerah itu. Karena dengan cara itu masuk an berkembangnya agama Islam menjadi lebih lancar. Dalam hal – hal tertentu media seni baik seni tari, sastra dan lain – lain turut juga mempengaruhi perkembangan Islam di Jawa Barat.
Kecuali itu saluran tasawuf dan pendidikan khususnya di pondok – pondok pesantren juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam penyebaran Islam khususnya di Jawa Barat. Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga yang memeiliki peranan penting dalam penyebaran dan penguatan ajaran Islam di tengah - tengah masyarakat. Para santri yang telah menyelesaikan studinya di pesantren, mereka kembali ke kampung halamannya, dan di tempat asalnya itulah mereka menjadi guru agama, muballigh sekaligus tokoh keagamaan. Semakin banyak santri yang berhasil menjadi tokoh di tengah masyarakat maka semakin harum dan dikenal keberadaan kyai pemimpin pesantren dimaksud. Tidaklah mengherankan apabila banyak kyai – kyai yag memimpin pesatren kemudian diangkat menjadi penasihat raja/penguasa wilayah dalam bidang keagamaan. Bahkan lebih dari itu, dalam kondisi tertentu bisa sangat mempengaruhi peta politik kerajaan atau kebijakan daerah yang dipimpinnya.
Proses Islamisasi seperti itu nampaknya cukup banyak berpengaruh terhadap pemahaman dan pengamalan Islam yang berkembang di tengah masyarakat. Islam yang dikembangkan di tatar Pasundan menampilkan ciri pokok praktis, akrab dengan alam dan lebih menekankan kepada isi (niat). Islam yang dikembangkan di Jawa Barat khususnya, nampaknya dilakukan dengan seakrab mungkin sehingga menyentuh emosi dan perasaan masyarakat. Penyebutan “Haji Purwa” yang berarti haji yang pertama dialamatkan kepad Sang Bratalegawa yang setelah haji mendapat julukan Haji Baharudin al Jawi. Namun sekembalinya ke tatar Sunda ia mengawinkan kata “haji” dengan kata “purwa” yang merupakan bahasa /ungkapan yang sangat dikenal oleh masyarakat Sunda. Ketika Syarif Hidayat berkuasa dan membangun mesjid, maka mesjid itu dinamai dengan Tajug Sang Ciptarasa, sebuah nama yang tentu sangat menyentuh hati penduduk karena ungkapannya yang sangat akrab dengan telinga meraka. Karena itulah beberapa istilah yang sebenarnya tidak dikenal dalam kamus ajaran Islam tapi sampai saat ini seakan – akan memang lahir dari Islam, seperti Surga dan naraka sebagai terjemahan dari al jannah dan an Naar.
Mungkin karena saking akomodatifnya proses islamisasi di tatar sunda atau umumnya di Nusantara sehingga tidak disadari banyak perilaku atau kegiatan – kegiatan baik yang dilakukan secara individual maupun kelompok dalam bentuk upacara yang sepertinya dianggap “ibadah” tapi hakikatnya justru bertolak belakang dengan inti ajaran Islam. Ketika seseorang akan meninggalkan kampung berkunjung ke tempat asing atau tanpa sengaja melewati sebuah tempat yang asing maka secara spontan keluar ucapan dari mulutnya berupa mantra atau jampe yang pada intinya untuk meminta ijin, uluk salam kepada penghuninya (nu ngageugeuh). Bagi mereka , tempat tempat atau benda – benda yang memiliki kekhususan baik karena lokasi atau bentuknya yang tidak lazim, diyakini merupakan tempat berdiamnya roh – roh halus arwah – arwah manusia yang semasa hidupnya memiliki jasa dan banyak dikenang, sehingga muncul keinginan untuk tetap mengabadikan penghormatan kepada mereka.
Secara umum ummat Islam di Jawa Barat merupakan penganut/ummat yang sangat patuh dalam menjalankan segala kewajiban agamanya, terutama terhadap pelaksanaan empat bentuk ibadah ritual yaitu shalat, puasa, membayar zakat (terutama fitrah) dan menuniakn ibadah haji di tanah suci. Namun demikian disamping pelaksanaan pokok – pokok ajaran Islam itu, masih banyak yang masih mencampurkan antara kepercayaan tauhid khususnya dengan kepercayaan lain yang sudah berkembang sebelumnya. Mereka masih percaya bahwa hidup dan kehidupan manusia selalu ada dalam pengaruh “alam ghaib”. Mereka terbiasa mengunjungi makam – makam yang dianggap keramat seperti makam – makam di Cirebon, Banten, Cipatujah – Tasikmalaya, Godog – Garut (Makam Prabu Kiansantang) dan lain – lain.
Dalam kehidupan keagamaan ummat Islam di Jawa Barat upacara selamatan merupakan wujud dari rasa syukur atas anugerah kelebihan nikmat yang diterima, seperti selamatan panen yang berhasil, selamatan membangun dan menempati rumah baru dan lain sebagainya. Kegiatan selamatan ini biasanya dilakukan pada hari kamis (malam Jum’at) selepas shalat isya. Biasanya selamatan ini terbatas bagi para tetangga terdekat dan umumnya hanya dihadiri oleh kaum pria, dipimpin oleh seorang ustadz yang biasanya bertugas sebagai wakil penyelenggara selamatan dalam menyampaikan maksud selamatannya sekaligus juga bertugas untuk memimpin do’a di akhir acara.
Upacara lain yang biasanya dilakukan adalah Marhaba dan Tahlil. Marhaba adalah selamatan atas kelahiran seorang bayi. Dalam upacara itu selain dibacakan barjanji, doa keselamatan kepada si anak, juga sekaligus sebagai ajang pemotongan rambut. Karena itu upacara ini biasanya dilakukan pada hari ke tujuh atau ke empat puluh setelah bayi lahir. Masyarakat justru lebih mengenal istilah marhaba ketimbang aqiqah. Adapun tahlil adalah upacara duka yang diselenggarakan oleh ahli waris/keluarga orang yang meninggal dunia. Biasanya, tahlil dilakukan pada hari pertama, hari ketiga, ke tujuh, ke empat puluh (matang puluh), ke seratus (natus) dan terakhir di hari ke sribu setelah si mayit meninggal dunia. Pada setiap upacara selamatan maupun tahlilan, mereka yang datang, ketika pulang biasanya mendapat bingkisan berupa makanan siap santap berupa nasi dan lauk pauknya yang lebih dikenal dengan sebutan “berekat”.
Berkenaan dengan upacara adat yang dianggap sebagai pengamalan agama dan dihubungkan dengan pemberian dikenal beberapa macam diantaranya pemberian Bubur Asyura, Saparan, Muludan, Mi’rajan, Rewahan, Manakiban dan lain – lain. Bubur yang disajikan biasanya diberi warna yang berbeda, antara tiga, lima sampai tujuh warna. Ketika datang peringatan hari – hari besar Islam seperti peringatan Maulud Nabi, Mi’raj Nabi dan Nuzulul Qur’an, biasanya beberapa tokoh masyarakat atas kesadaran sendiri atau dengan cara gotong royong membuat beberapa nasi tumpeng dengan lauk pauk telor ayam, daging ayam, tempe dan urap. Pada malam hari besar, tumpeng-tumpeng itu dibawa ke mesjid disantap bersama – sama dengan masyarakat sekampung setelah sebelumnya para tetua kampung atau ustadz menguraikan hikmah – hikmah hari besar itu.
Berkenaan dengan peringatan hari – hari besar itu, biasanya bulan – bulan seperti Rabi’ul Awal (Mulud), Dzulhijjah (Bulan Haji), Rajab merupakan bulan-bulan yang dianggap membawa berkah sehingga di bulan – bulan itu merupakan waktu yang tepat untuk menyelenggarakan selamatan baik pernikahan, khitanan dan lain – lain. Sebaliknya, bulan Safar merupakan bulan yang dihindari untuk melakukan selamatan, terutama pernikahan. Bulan safar disebut-sebut sebagai bulan mengawinkan anjing (ngawinkeun anjing), sehingga setiap pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Safar dipercaya rumah tangganya tidak akan mulus, banyak pertengkaran dan tidak membawa berkah.
Ketika seseorang akan membangun rumah, biasanya tetua kampung, dukun atau malah yang dikenal ustad dimintai tolong untuk meminta izin kepada “Nu Ngageugeuh”. Dalam upacara itu selain dibacakan mantra – mantra selanjutnya memotong ayam, khususnya ayam cemani (yang keseluruhan tubuhnya berwarna hitam) yang darah sembelihan dari lehernya ditampung untuk kemudian diteteskan di setiap sudut tanah yang akan dibangun.
Kebiasaan lain yang berhubungan dengan kepercayaan ummat Islam adalah dalam menyambut, mengisi dan melepas bulan Ramadhan. Biasanya beberapa hari menjelang Ramadhan mereka membersihkan diri dengan cara mandi junub (kuramas), membersihkan kuburan keluarga, bahkan mereka yang merantau di kota lain sengaja pulang kampung untuk berkumpul dan merayakan sahur pertama dengan keluarga (munggah). Selama bulan Ramadhan semakin banyak melakukan aktivitas di mushala dan mesjid, tadarus al Qur’an sampai khatam (tamat), shalat qiyamu Ramadhan (taraweh). Mengakhiri Ramadhan, gema takbir bersahutan dengan bedug yang ditabuh dari sudut – sudut mesjid. Keesokan harinya setelah menunaikan shalat Id dan bersalaman dengan seluruh keluarga dan tetangga berziarah ke makam keluarga sambil menaburkan bunga (nadran).

4. Proses Masuknya Muhammadiyah ke Jawa Barat
Masuk dan tersebarnya Muhammadiyah di Jawa Barat nampaknya bisa dipastikan berpangkal dari dua arah, yaitu jalur utara dan selatan. Dari jalur utara berpangkal dari Jakarta yang pada waktu itu masih dikenal dengan sebutan Batavia, sementara dari jalur selatan berpangkal dari kota Garut.
Muhammadiyah di kota Garut secara resmi berdiri pada tanggal 30 Nopember 1923 dengan Surat Ketetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta nomor 18. Tercatat beberapa nama sebagai perintis pendirian Muhammadiyah di kota Garut adalah H. M. Djamhari, Wangsa Eri, Masjamah, dan H.M. Gazali Tusi yang telah mengusahakan pendiriannya sejak awal tahun 1922 berbarengan dengan upaya pendirian Muhammadiyah di Jakarta yang dirintis oleh Kartosudharmo. Menurut Djarnawi Hadikusumo “Dalam tahun 1921 diresmikan berdirinya cabang Srandakan dan Imogiri, keduanya terletak di daerah Yogyakarta. Lalu Blora, Surabaya, dan Kepanjen, Tahun 1922 berdiri cabang Surakarta, Garut, Jakarta, Purwokerto, Pekalongan dan Pekajangan” (H.Djarnawi Hadikusumo, TT, Hal 78).
Meskipun tahun resminya berdiri cabang Muhammadiyah Garut baru tercatat pada tahun 1923, namun dapat dipastikan kalau ajaran dan pemahaman keagamaan sebagaimana paham agama yang dikembangkan oleh K.H.Ahmad Dahlan telah terpatri di sebagian kecil penduduk kota Garut beberapa tahun sebelumnya, hal ini dapat dipahami mengingat beberapa hal seperti :
1. Di Garut telah berdiri sebuah Madrasah ibtidaiyyah bernama Al Hidayah berangka tahun 1919. Istilah ibtidaiyyah adalah “Istilah yang biasa dipakai oleh oleh madrasah – madrasah milik Muhammadiyah saat itu, untuk membedakan madrasah yang dikelola oleh organisasi lain, seperti PSII dengan istilah Madrasah Islamiyyah” (Lukman, 1996 ; 16).
2. Madrasah itu berdiri di atas tanah wakaf dari keluarga Masjamah yang merupakan salah seorang perintis Muhammadiyah dan pada tahun 1923 secara resmi tanah dan bangunannya diserahkan kepada Muhammadiyah.
3. Madrasah itu terletak di kampung Lio sebutan untuk sebuah perkampungan pengrajin batu-bata yang sejak awal perkembangan Muhammadiyah tempat itu dijadikan pusat kegiatan Muhammadiyah di Garut. Kampung Lio juga berdekatan dengan kampung Pasar Baru dan Ciledug yang merupakan kampung - kampung basis bakal anggota Muhammadiyah.
4. Nama “Al Hidayah” pada waktu itu adalah nama sebuah kelompok pengajian di Garut yang sebenarnya adalah nama lain untuk gerakan Muhammadiyah yang pada saat itu pergerakan Muhammadiyah baru terbatas di keresidenan Yogyakarta sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Nomor 81 tahun 1914. Sempitnya izin yang diberikan, tidak mempersempit gerakan Muhammadiyah. Pada saat itu K. H. Ahmad Dahlan menganjurkan agar gerakan Muhammadiyah di luar kota Yogyakarta menggunakan nama lain seprti Nurul Islam di Pekalongan, Sidiq Amanah Tabligh Fathonah di Solo, al Munir di Ujung Pandang dan lain – lain. Izin diperbolehkannya Muhammadiyah bergerak di luar Yogyakarta sendiri baru keluar pada tanggal 2 September 1921.
Perintisan Muhammadiyah di kota Garut banyak dilakukan oleh para pendatang dari luar kota Garut. Salah seorangnya adalah H. Djamhari putra Dasiman yang berasal dari kota Kudus. Dasiman mengasingkan diri ke tanah Pasundan (Garut) untuk menghindari fitnah dari pemerintah Belanda sesudah perang Diponegoro. Menurut Kunto Sofianto mereka datang dan menetap di Garut sekitar awal tahun 1900-an. Bahkan kelompok pengajian al Hidayah yang menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah sendiri pada saat itu banyak diikuti oleh para pedagang batik dan kain bodasan di lingkungan pasar baru, pajagalan dan Ciledug yang merupakan domisili para pedagang pendatang itu. Fenomena penyebaran gerakan Muhammadiyah di kota Garut ini nampaknya memiliki kesamaan dengan yang terjadi di daerah – daerah lain. Penyebaran Muhammadiyah sedikit banyak terjadi melalui intraksi para pedagang. Konon, masuknya Muhammadiyah ke Minangkabau juga melalui jalur perdagangan. Bermula dari perkenalan para pedagang Minangkabau yang berada di Pekalongan dengan Kyai Dahlan yang sering melakukan tabligh di daerah itu. Interaksi ini membawa pengaruh yang sangat besar dan akhirnya faham keagamaan yang disampaikan oleh Kyai Dahlan terbawa ke ranah minang.
Demikian juga dengan perintisan Muhammadiyah di Garut. H. Djamhari adalah seorang pedagang batik yang sering mengambil barang dagangannya ke Yogyakarta. Dalam perjalanannya itu ia sangat tertarik dengan madrasah Muhammadiyah di Suronatan yang begitu maju dan banyak memiliki siswa. Teringat dengan madrasah al Hidayah yang dikelolanya di Garut memotivasi untuk mengenal lebih jauh terhadap pergerakan Muhammadiyah. Pada perkembangan selanjutnya, ia berkenalan dengan Tobamin (Ketib Amin) yang tiada lain adalah K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang dikaguminya. Menurut catatan Acep Muharram yang melakukan wawancara dengan beberapa anggota keluarga H. Djamhari, K. H. Ahmad Dahlan pernah berkunjung ke Garut bersama Kyai Fachrudin untuk memperkenalkan gerakan Muhammadiyah.
Tidaklah mengherankan kalau Muhammadiyah di awal penyebarannya lebih nampak sebagai gerakan kaum kelas menengah dari pada sebagai organisasi keagamaan yang lazimnya didominasi oleh kaum santri. Catatan sejarah Muhammadiyah mencatat bahwa pada tahun 1916, sekitar 47 % anggota Muhammadiyah berasal dari kalangan saudagar/wiraswastawan mengungguli kalangan pegawai/pamongpraja maupun ulama dan profesi lainnya.
Interaksi antara para pedagang ini biasanya kemudian ditindaklanjuti dengan kegigihan para ulama dan mubaligh. Demikian juga yang terjadi di Garut. Selain ditunjang oleh para pedagang yang banyak berkorban dengan harta kekayaannya, pengaruh para ulama dalam menanamkan pemahaman keagamaan pun tidak kalah besar pengaruhnya. Diantara mereka tercatat nama nama K.H.Badjuri, K.H.Kafrawi dan K.H.Gazali Tusi sebagai corong terdepan penyebaran Muhammadiyah di Garut.
Dari kota Garut, Muhammadiyah merangkak menyentuh beberapa kota yang berdekatan. Salah satu kota yang mendapat pengaruh besar penyebaran Muhammadiyah dari Garut adalah Tasikmalaya. Di kota ini Muhammadiyah mulai tercium keharumannya di tahun 1935. Beberapa orang yang tercatat memiliki banyak jasa masuknya Muhammadiyah di Tasikmalaya adalah Hidayat, Moh. Fadjri (Ketua PMC Garut), A. S. Bandy, dan Sutama yang kemudian nama terakhir ini dtetapkan sebagai Ketua PMC pertama di Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya, Muhammadiyah kemudian mencium Kota Ciamis, Kuningan, dan Cirebon. Para Mubaligh Cirebon, kemudian mengepakan sayapnya ke arah Indramayu dan Majalengka.
Di Jakarta, sebagaimana perkiraan sementara ini cabang Muhammadiyah berdiri tidak selang lama waktunya dengan pendirian cabang di Garut. Tokoh yng tercatat sebagai perintis Muhammadiyah di tanah Batavia ini adalah Kartosudharmo. Dari Jakarta Muhammadiyah dibawa oleh Asep Mujtaba alumnus perguruan Al Irsyad Jakarta yang juga kenal dekat dengan Yunus Anis.
Perguruan al Irsyad Jakarta didirikan pada tahun 1915. Di perguruan yang didirikan oleh Syek Ahmad Syurkati ini banyak putra – putra pemimpin Muhammadiyah yang mempelajari agama terutama bahasa Arab. Salah seorangnya adalah Yunus Anis. Setelah menyelesaikan studinya, dan mengabdi beberapa waktu di almamaternya itu, sejak tahun 1924 Yunus Anis sudah aktiv sebagai salah seorang pengurus cabang Muhammadiyah Jakarta (Batavia).
Kalau Asep Mujtaba membawa Muhammadiyah ke kampung halamannya karena pengaruh Yunus Anis, maka bisa diperkirakan persahabatan kedua alumnus al Irsyad itu sudah terjalin antara tahun 1924 – 1926, sebab di tahun 1926 itulah Asep Mujtaba merintis Muhammadiyah di Jasinga, kemudian merambat ke daerah terdekatnya Leuwiliang yang berdiri tahun 1928. Selain menyentuh wilayah Bogor, dari Jakarta pemahaman Muhammadiyah merambat juga ke Cianjur dan Sukabumi yang diperkirakan sudah berdiri secara resmi pada tahun 1930.
Angka tahun itu mungkin saja pendirian resminya, namun bisa jadi Muhammadiyah dalam arti pemahaman keagamaannya sudah menyentuh kota – kota itu jauh sebelumnya. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan salah satu sisi riwayat kehidupan KH. Ahmad Dahlan. Selain beristri Nyai Walidah, Kyai Dahlan juga pernah menikah dengan beberapa orang janda yang salah satunya adalah janda Aisyah asal Cianjur, bahkan dari istrinya yang berdarah Pasundan ini Kyai memperoleh seorang anak perempuan bernama Dandana. Dari perkawinannya ini kita bisa menduga – duga kalau Kyai Dahlan pernah berkunjung atau mungkin berdomisili sekalipun dalam waktu yang sangat singkat di Cianjur.
Kalau saja untuk sementara kita juga duga bahwa Kyai Dahlan pernah berkunjung ke Cianjur sekalipun hanya dalam hitungan hari, maka bisa dipastikan hal itu beliau lakukan jauh sebelum tahun wafatnya yaitu tahun 1923, karena pada saat wafat beliau sudah berumur 55 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar