Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

FBI, eh bukan FPI : Dikdik Dahlan L.

Sekolah – sekolah di liburkan. Jalanan sepi, seperti tak ada kehidupan. Warung dan toko, sekalipun tetap buka tapi nyaris tak ada pengunjung maupun pelayanan. Seluruh mata, terutama para pria, anak atau dewasa, tak mengenal umur, tertuju ke layar televisi yang saat itu masih hitam putih, dan termasuk barang mewah. Tayangan menarik itu, tiada lain tarian dan pukulan sang legendaris Muhammad Ali. Sekalipun tontonan itu bernama Tinju yang nota bene adu jotos antara dua manusia berotot kekar dan terlatih, tapi Muhammad Ali mampu mengubah tinju sebagai tontonan yang indah dan nikmat.
Memasuki era Mike Tyson, si Leher Beton. Ring tinju seakan akan dibuatnya sebagai tempat “pemuasan”. Setiap lawan adalah lawan, tak perlu dikasih hati, di beri kesempatan, apalagi peluang. Kalau perlu, dilumat habis berikut celana kolornya. Dua insan di atas ring seakan sebagai sepasang mangsa dan pemangsa.
Konon, Abah Uca dulu amat periang, dan yang mengubahnya seperti beberapa waktu ke belakang adalah pertunjukan Mike Tyson. Abah sering terlihat melamun, tidak terlalu banyak bicara dan bahkan sekali-kali secara tiba- tiba suka menunjukan kegetiran, sampai tangan dan pundaknya terlihat bergeletar.
Menurut cerita yang dipercaya, kondisi yang dialami Abah Uca tersebut berawal dari kematian salah seorang teman dekatnya. Pada waktu itu, Abah Uca dan beberapa tetangganya termasuk teman dekatnya sedang ramai – ramai menonon televisi, menanti si Leher beton beraksi. Padahal mereka menongkrongi televisi itu sudah sejak satu jam sebelumnya, menonton partai – partai tambahan. Ketika Mike Tyson dipanggil, Abah Uca bergerak mencari posisi yang paling baik. Ketika bel terdengar tanda pertandingan dimulai, matanya tertuju ke layar televisi, dan beberapa saat setelah itu, teman dekat Abah Uca terkulai lemas dipangkuan Abah Uca seiring tak berdayanya lawan Mike Tyson, sebelum bel tanda berakhirnya ronde pertama dibunyikan.
Sebenarnya, sudah beberapa bulan yang lalu Abah Uca terlihat agak mending. Tidak terlalu banyak menyendiri apalagi, sering ngobrol dan tertawa lepas dengan tetangganya, bahkan tangan dan pundaknya tak pernah lagi terlihat bergeletar. Tapi, Jum’at pagi, tanggal 4 Oktober 2002 bertepatan dengan peringatan Isra Mi’raj, sesaat setelah shalat dan mengikuti kuliah shubuh, justru Abah Uca nyaris mengalami nasib yang sama dengan almarhum teman dekatnya beberapa tahun yang lalu. Abah Uca sempat menggisik-gisik bola matanya, mendekatkan matanya ke layar televisi, mengamati tulisan atau hurup yang tertera di punggung beberapa pria yang tengah mengamuk di sebuah diskotek.
“FBI ? Eh, bukan, FPI….” Tidak puas dengan hasil penglihatan matanya. Abah Uca yang agak terganggu pendengarannya itu memperbesar volume televisinya, sampai habis.
“Astagfirullah…. ! ! !” Ia sempat akan terjatuh, bahkan dahinya sempat membentur ujung tangan kursi bututnya. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Gema Mujahidin - Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar