Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Bab V : Dikdik Dahlan L.

PIMPINAN WILAYAH MUHAMMADIYAH JAWA BARAT

1. Proses Pembentukan
Sekitar satu bulan setelah resmi Muhammadiyah berdiri, tepatnya tanggal 20 Desember 1912 K. H. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru terkabul pada tahun 1914 dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus. Izin itu hanya berlaku terbatas untuk daerah Yogyakarta, sehingga dengan izin ini pergerakan persyarikatan Muhammadiyah masih terbatas pula hanya di daerah Yogyakarta.
Meskipun demikian, ternyata gagasan dan pemikiran K. H. Ahmad Dahlan terus mengalir menyentuh lekuk-lekuk kehidupan terutama kepada mereka yang telah tersentuh oleh pemikiran pembaharuan. Di beberapa daerah, di luar Yogyakarta bermunculan gerakan – gerakan Muhammadiyah sekalipun tanpa menggunakan nama Muhammadiyah.
Melihat hasrat yang besar ini, pada tanggal 7 Mei 1921 K. H. Ahmad Dahlan kembali mengajukan permohonan agar izin yang pernah diberikan kepada Muhammadiyah diperluas sehingga Muhammadiyah dapat mendirikan cabang – cabangnya di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Tidaklah mengherankan kalau sejak itu bermunculan secara resmi cabang – cabang Muhammaddiyah di berbagai daerah. Dengan adanya penyebaran organisasi seperti ini maka diperlukan struktur organisasi yang bertingkat (vertikal) sehingga informasi, komunikasi, koordinasi bahkan instruksi organisasi dapat berjalan sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
Di awal perkembangannya, struktur pimpinan Muhammadiyah hanya ada Hoofdbestuur dan Bestuur Afdeeling, yang berarti Pimpinan Pusat dan Pimpinan Perwakilan atau cabang dari pimpinan pusat tadi. Pimpinan Pusat berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan keberadaan Afdeeling atau Bestuur Afdeeling sendiri tidak jelas berada di tingkat daerah atau wilayah, serta apa dan sampai sejauh mana batas – batas gerakannya. Dalam anggaran dasar yang pertama (yang berlaku dari tahun 1912 – 1914), keberadaan Bestuur Afdeeling itu hanya disebutkan di dalam sebuah tempat di residensi Yogyakarta. Sedangkan pada anggaran dasar yang berlaku pada tahun 1921 – 1934, setelah mendapat izin mengembangkan ke seluruh Nusantara, yang dimaksud dengan “tempat” adalah mencakup seluruh wilayah di Hindia Nederland.
Dalam perkembangan selanjutnya, “istilah Afdeeling Persyarikatan dalam AD 1941 Fasal 7 diganti menjadi Cabang Persyarikatan” (Yusuf, 2005 : 265), namun demikian kedudukannya masih belum jelas, baru disebutkan di suatu tempat yag mencakup seluruh wilyah di Indonesia. Baru pada tahun 1946, yaitu dalam Anggaran Dasar yang berlaku saat itu, selain Pimpinan Pusat dan Cabang muncul juga istilah Ranting Persyarikatan, namun letak dan keberadaannya pun masih samar, hanya disebut di suatu tempat.
Sampai tahun 1951, struktur pimpinan yang terdiri dari tiga tingkatan seperti di atas masih tetap berlaku. Hanya saja dalam Anggaran Dasar hasil keputusan Sidang Tanwir tahun 1951 di Yogyakarta itu sudah ada batas – batas yang jelas terutama antara cabang dan ranting. “Kedudukan group atau Ranting dan Cabang-cabang berada di daerah-daerah sebagai berikut :
a. Group atau Ranting berkedudukan pada tingkat kampung dan kadang-kadang pada awal berdirinya berkedudukan pada tingkat Onderafdeeling.
b. Status Cabang berkedudukan pada daerah afdeeling”. (Ibrahim Polontalo, 1995: 90).
Mencermati perkembangan istilah dan struktur organisasi seperti diuraikan di atas, tidaklah mengherankan apabila di Jawa Barat sendiri kemunculan dan kelahiran Muhammadiyah secara resmi dalam sebuah tempat kebanyakan berstatus sebagai Pimpian Cabang, seperti Cabang Garut yang sampai saat ini dianggap sebagai cabang tertua. Dari Garut kemudian lahir Cabang Muhammadiyah di Tasikmalaya, Cabang Kuningan, setelah itu lahir Cabang Cirebon, Cabang Bandung dan lain – lain.
Di Bogor, proses kelahiran Muhammadiyah ternyata agak berbeda dengan yang terjadi di daerah Priangan. Di Jasinga tahun 1926 pendirian Muhammadiyah berawal dari Ranting atau Group. Demikian pula di Leuwiliang, di sini Muhammaiyah lahir pada tahun 1928 sebagai Ranting (Group) yang menginduk ke Cabang Muhammadiyah Betawi, oleh karena itu pelantikannya sendiri dilakukan oleh Kartosudharmo dan Jaya Sukarta dari Cabang Muhammadiyah Betawi. Leuwiliang baru meningkat statusnya sebagai cabang pada tahun 1936 dengan Surat Ketetapan Hoofdbestuur Muhammadiyah Nomor 603 tanggal 28 Ramadhan 1355 H. bertepatan dengan tanggal 13 Desember 1936. Fenomena seperti ini tentu saja menggelitik kita semua untuk meneliti lebih lanjut. Di satu pihak menurut catatan Ensiklopedi Muhammadiyah, istilah Ranting atau Group baru diketemukan dalam Anggaran Dasar yang berlaku pada tahun 1946, sementara dalam kenyataan di beberapa tempat khususnya di Jasinga dan Leuwiliang, pendirian Muhammadiyah justru berawal sebagai Ranting padahal itu terjadi sebelum tahun 1930, sekitar delapan tahun setelah resmi Muhammadiyah mendapat kewenangan untuk memperluas gerakannya ke luar Yogyakarta.
Selain ketiga tingkat pimpinan seperti di atas, terdapat pula istilah Konsul yang nampaknya merupakan struktur tidak resmi namun memiliki tugas dan fungsi yang cukup vital dalam pergerakan persyarikatan. Tidak kurang dari A. R. Sutan Mansur yang pernah menjadi Konsul Daerah Minangkabau dan Kyai Mas Mansur yang setelah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur.
Di Jawa Barat istilah Konsul baru ditemukan pada tahun 1930 setelah berlangsungnya Konferensi Kerja antara Daerah Priangan dengan Daerah Jakarta yang kemudian disebut Konferensi Jawa Barat I. Kegiatan ini dilaksanakan di kota Jakarta dan mengangkat Kartosudharmo sebagai Konsul pertama untuk Jawa Barat. Forum permusyawaratan seperti ini berlanjut beberapa kali, dan sepanjang literatur yang dapat ditemukan diperoleh keterangan bahwa setelah Konferensi I ini pernah dilaksanakan :
1. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke 2 di Kota Garut pada tanggal 9 – 11 Nopember 1935.
2. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat di Rangkasbitung sekitar tahun 1936 setelah Muktamar Seperempat Abad di Jakarta tahun 1936.
3. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke 7 di Bogor pada tanggal 11 – 13 Mei 1940
4. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke 8 di Tasikmalaya pada tahun 1941
Rupanya, pada awal pembentukan konsulat pergerakan Muhammadiyah di Jawa Barat masih banyak menemui hambatan. Buktinya, jarak waktu dari konferensi I ke konferensi II terpaut jauh, selama 5 (lima) tahun. Setelah Konferensi kedua di Garut nampaknya Konferensi itu berjalan tiap tahun, yaitu Konferensi ke III tahun 1936 di Rangkasbitung, ke IV tahun 1937 tidak diketahui, ke V tahun 1938 tidak diketahui, ke VI tahun 1939 tidak diketahui, ke VII tahun 1940 di Bogor dan ke VIII tahun 1941 di Tasikmalaya.
Memasuki jaman Pendudukan Jepang, sebagaimana umumnya gerakan lain yang ada di tengah masyarakat, nampaknya Muhammadiyah pun sedikitnya mendapat hambatan yang cukup berarti yang menyebabkan aktivitas Muhammadiyah tidak begitu menonjol kalau tidak dikatakan mengalami kevakuman. Keadaan seperti ini terus berlanjut karena segenap penduduk kemudian disibukkan dengan upaya Belanda untuk kembali menduduki Indonesia melalui Agresi Militer. Keadaan dapat dikatakan pulih ketika memasuki tahun 1950 yang pada waktu itu lahir kembali Jawa Barat sebagai Propinsi yang utuh berdasarkan UU No 11 tahun 1950.
Sejalan dengan pulihnya situasi politik dan keamanan, berdasarkan catatan Mahyudin Kahar pada tahun itu, yaitu tahun 1950 tercatat bahwa H. R. Sutalaksana menjabat sebagai Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jawa Barat sebagai pengganti dari istilah Konsulat/konsul yang hanya berlaku pada masa – masa sebelum kemerdekaan terutama di jaman kolonial Belanda. Hal ini diperkuat oleh keterangan yang tertera dalam buku Kenangan Konferensi Muhammadiyah Daerah Priangan ke VI di Garut yang berlangsung pada tanggal 7 s.d. 10 Nopember 1954. Pada halaman 18 buku tersebut selain ditampilkan susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1953 – 1956 dan Susunan Anggota Majelis Perwakilan PP Muhammadiyah Daerah Priangan 1953 – 1956 ditulis pula Susunan Anggota Majelis Perwakilan Propinsi Jawa Barat, yaitu :
1. Ketua (Wk. P.P.M.) H. R. Sutalaksana
2. Penulis/Bendahari D. Rasjidi
3. Tabligh K. H. Asnawi Hadisiswojo
4. Pengajaran Suto Adiwidjojo
5. P.K.U. Ahmad Hadidjojo
6. ‘Aisjijah Ibu D. Pardjaman
7. Pemuda / H. W. A. Malik Syafe’ie
Dengan demikian di luar struktur resmi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah yang hanya menyebutkan tiga tingkat pimpinan yaitu Pusat, Cabang dan Ranting, sejak tahun 1950 itu dikenal juga istilah Majelis Perwakilan Pusat yang tugas dan fungsinya hampir sama dengan Konsul yang berlaku di masa penjajahan. Hanya saja, Majelis Perwakilan Pusat ini tidak hanya ada di tingkat Propinsi melainkan juga diberlakukan di tingkat keresidenan.
Jawa Barat sendiri, sebagaimana yang berlaku di struktur pemerintahan terbagi ke dalam 5 daerah keresidenan, yaitu Daerah Priangan, Cirebon, Bogor, Banten dan Jakarta yang meliputi Kabupaten/Kotamadya Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. Di Daerah Priangan mengutip keterangan dari Mahyudin Kahar, secara berurutan Majelis Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Daerah Priangan dipimpin oleh Asnawi Hadisiswojo (periode 1951 – 1953), H. Adang Affandi (periode 1953 – 1956), H. Zainuddin (periode 1956 – 1962), Hambali Ahmad (periode 1962 – 1965) dan H. Sulaeman Faruq (periode 1965 – 1968). Pada perkembangan selanjutnya, Daerah Priangan ini dibagi dua menjadi Daerah Priangan Timur yang meliputi Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Sedangkan Priangan Barat terdiri dari Kabupaten Bandung, Kotamadya Bandung, dan Kabupaten Sumedang.
H. R. Sutalaksana sendiri nampaknya berkedudukan sebagai Ketua Majelis Perwakilan Propinsi Jawa Barat berlangsung dari tahun 1950 – 1959. Hal ini didasarkan kepada keterangan dari Mahyudin Kahar bahwa pada tanggal 19 September 1959 telah diselenggarakan Konferensi Majelis Pimpinan Muhammaiyah se Jawa Barat, yang salah satu keputusannya mengusulkan dua orang nama yaitu H. Adang Affandi dan Ahmad Syihabuddin untuk ditetapkan menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah (MPM) Jawa Barat periode 1959 – 1962. Pada tanggal 25 Oktober 1959 bertempat di Kantor Cabang Muhammadiyah Bandung Jl.Karapitan No 93 Djindar Tamimy atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah melantik susunan pengurus Majelis Pimpinan Muhammadiyah Jawa Barat yang terdiri dari :
Ketua : H. Adang Affandi
Wk. Ketua : Suto Adiwidjojo
Sekretaris : Mahyudin Kahar
Bendahara : H. Anda
Anggota : H. Zainuddin
Ahmad Syihabuddin
Muhammad Fadjri
Zainal Abidin Syu’eb
Sulaiman Amir
Muhktar Sutan Pangulu
Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat sendiri terbentuk melalui Surat Penetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor J/02/W/PP/66 tanggal 20 Maret 1966. Penetapan berdirinya Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat ini merupakan respons dari hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung tahun 1965 yang mengamanatkan penyempurnaan struktur pimpinan Persyarikatan yang terdiri dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Muhammadiyah Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting sebagaimana berlaku saat ini. Hanya saja istilah yang dipergunakan saat itu adalah Pimpinan Muhammadiyah Wilayah disingkat PMW, di tingkat kabupaten dan kota bernama Pimpinan Muhammadiyah Daerah disingkat PMD, demikian seterusnya sampai tingkat ranting.
Perubahan istilah terjadi setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1986 tentang Ruang lingkup, Tata-cara Pemberitahuan kepada Pemerintah serta Papan nama dan Lambang Organisasi Kemasyarakatan. Peraturan Mendagri ini direspons oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan keluarnya Surat Keputusan Nomor 15/PP/1987 yang menetapkan bentuk, ukuran, isi dan tulisan pada papan nama organisasi Muhammadiyah. Berdasarkan keputusan dan peraturan tersebut di atas, maka Pimpinan Muhammadiyah Wilayah (PMW) diganti dengan nama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, dengan ukuran papan nama maksimum panjang 180 cm dan lebar 150 cm.
Pasca Muktamar ke 36 di Bandung tahun 1965 yang salah satu keputusannya mengamanatkan penyempurnaan struktur pimpinan persyarikatan itu, dan kemudian dipertegas Sidang Tanwir tahun 1966 maka perwakilan – perwakilan Muhammadiyah di tingkat Kabupaten dan Kotamadya berubah statusnya dari Pimpinan Cabang menjadi Pimpinan Daerah, sedangkan perwakilan Pimpinan Pusat di tingkat Keresidenan secara otomatis sejak itu tidak dikenal lagi.
Di Jawa Barat sendiri sampai tahun 1990 yang lalu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat membina 20 Pimpinan Daerah, yaitu Kotamadya Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten & Kotamadya Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten dan Kota Bogor, Kotif Depok, Kabupaten dan Kota Sukabumi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Sedangkan Bekasi dan Tangerang sudah lama berada di bawah pembinaan PWM DKI Jakarta.
Pada tahun 1995 berdasarkan keputusan Musyda Muhammadiyah Kabupaten & Kotamadya Bogor di Leuwiliang, menyesuaikan administrasi pemerintah dimekarkan menjadi PD. Muhammadiyah Kota Bogor dan PD. Muhammadiyah Kabupaten Bogor. Lima tahun kemudian, tepatnya pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat tahun 2000 di Lembang – Bandung PDM Lebak, Serang dan Pandeglang tidak mengirimkan utusannya ke arena Musywil. Ketiga PDM itu hanya diwakili oleh Drs. H. Hasan Alaydrus (Ketua PD. Muhammadiyah Lebak) yang secara resmi atas nama ketiga PDM tersebut berpamitan untuk membentuk PWM sendiri mengikuti pembentukan Propinsi Banten yang terpisah dari Jawa Barat. Hal ini kemudian direspons oleh PW. Muhammadiyah Jawa Barat dengan terbitnya Surat PWM Jawa Barat nomor I-A/1.a/025/2001 tertanggal 3 Februari 2001 perihal Rekomendasi Pembentukan Wilayah Muhammadiyah Propinsi Banten. Penetapan resmi berdirinya PW. Muhammadiyah Propinsi Banten melalui Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 30/SK-PP/I-A/1.b/2001 tertanggal 7 Maret 2001 dengan ketuanya Drs. H. Hasan Alaydrus mantan Ketua PD. Muhammadiyah Kabupaten Lebak.
Di Kabupaten Bandung sendiri, Kota Administratif Cimahi dikembangkan menjadi Pemerintahan Kota. Hal ini kemudian diikuti oleh Muhammadiyah dengan mengembangkan Cabang Muhammadiyah Cimahi menjadi Daerah. Muhammadiyah Kota Cimahi resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 2003 dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 2/KEP/I.0/B/2003. Dengan demikian, pada tahun 2005 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat membina 19 PDM yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten & Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Sukabumi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara Bekasi masih tetap berada dalam pembinaan PWM DKI Jakarta, sedangkan PD. Muhammadiyah Tangerang dibina oleh PW. Muhammadiyah Banten.
Pergerakan Muhammadiyah di Jawa Barat secara keseluruhan dan khususnya di Bandung menunjukan perkembangan yang cukup pesat memasuki awal tahun 1950-an. Pada Muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950 tokoh – tokoh Muhammadiyah dikenal sebagai raja podium seperti H. R.Sutalaksana dari Bandung dan H. Djamal Dasuki dari Cirebon. Demikian juga dengan ‘Aisyiyah-nya yang ketika itu diantara tokohnya adalah Ibu D. Parjaman dan Ibu Hadijah Salim. Pergerakan Muhammadiyah di Kota Bandung khususnya bertambah semarak setelah banyak tokoh – tokoh Muhammadiyah di lingkungan militer menetap di Bandung seperti Yunus Anis, Bakri Syahid dan Hadijoyo yang kemudian didukung oleh tokoh birokrat di lingkungan Departemen Agama seperti Asnawi Hadisiswoyo dan Arhatha penggerak Muhammadiyah di Cirebon. Pada masa – masa inilah perguruan Muhammadiyah seperti PGA, SMEA dan SMA Muhammadiyah khususnya yang sekarang terletak di Jl. Kancil menunjukan perkembangan yang sangat menggembirakan. Tidaklah mengherankan di tengah kemajuan yang pesat itu Muhammadiyah Jawa Barat melamar agar Kota Bandung dijadikan tuan rumah penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke 36 tahun 1965. Lamaran yang disampaikan dalam Muktamar ke 35 (setengah abad) di Jakarta ini dikabulkan oleh Pimpinan Pusat. Di bawah kepemimpinan H. Adang Affandi Muktamar Muhammadiyah menjelang runtuhnya Orde Lama ini berlangsung dengan sukses dan semarak dari tanggal 19 s.d. 24 Juli 1965.
Adang Affandi pria kelahiran Kadungora Garut yang sukses membuka usaha dalam bidang percetakan dan penerbitan ini memimpin Muhammadiyah Jawa Barat selama tiga periode dari tahun 1965 – 1974 ditambah periodisasi sebelumnya yang masih memakai istilah Majelis Perwakilan Pimpinan Pusat Jawa Barat. Setelah Adang Affandi, kepemimpinan Muhammadiyah Jawa Barat beralih ke tangan Moh. Fadjri setelah sebelumnya berhasil memimpin Muhammadiyah Cabang dan daerah Garut selama lebih kurang 44 (empat puluh empat) tahun dari tahun 1931 sampai dengan tahun 1975. Di masa – masa kepemimpinannya Kota Garut pernah menjadi tuan rumah berbagai acara persyarikatan tingkat nasional seperti Sidang Tanwir (1940), Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke 3 (1963), Muktamar Tarjih dan lain – lain.
Pada tahun 1978, selepas memimpin Muhammadiyah Daerah Kotamadya Bandung H. Sulaeman Faruq mendapat amanat untuk memangku jabatan sebagai Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat. Mubaligh yang dikenal sangat luwes ini memimpin Muhammadiyah Jawa Barat selama kurang lebih 12 tahun dari tahun 1978 sampai tahun 1990. Setelah H. Sulaeman Faruq, giliran Dr. Ir. H. E. Hidayat Salim yang memegang amanah sebagai Ketua PWM Jawa Barat. Pada Musywil berikutnya, yang berlangsung pada tanggal 17 – 19 Desember 1995 bertempat di Aula Masjid Raya Mujahidin Dr. H. E. Hidayat Salim, Ir. MS. kembali terpilih untuk yang kedua kalinya memimpin Muhammadiyah Jawa Barat pada periode 1995 – 2000. Hanya saja di kepemimpinan yang kedua kalinya ini beliau mundur dari jabatannya berkenaan dengan aspirasi yang berkembang khususnya di kalangan warga Muhammadiyah agar beliau memelopori sekaligus menakhkodai kepemimpinan Partai Amanat Nasional di tingkat Jawa Barat. Karena jabatan barunya itu, beliau secara lisan mengundurkan diri dihadapan pleno PWM Jabar tanggal 25 Maret 1999. Atas pengunduran dirinya itu, maka atas dasar Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 44/SK-PP/I-A/2.b/1999 tertanggal 18 Juni 1999 sejak itu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat dipimpin oleh Drs. H. Muslim Nurdin.
Aktivitasnya di Partai Amanat Nasional ternyata tidak berlanjut, dan memang seperti yang selalu diucapkannya beliau hanya ingin mengantarkan DPW PAN dari Deklarasi sampai penyelenggaraan Pemilu 1999. Setelah bebas dari tugas – tugasnya di Partai Amanat Nasional Jawa Barat, pada Musywil Muhammadiyah Jawa Barat tahun 2000 yang berlangsung dari tanggal 17 sampai 19 Nopember 2000 di Lembang kembali Prof. Dr. H. E. Hidayat Salim, Ir. MS. terpilih sebagai Ketua PWM periode 2000 – 2005 yang kelengkapan susunannya adalah sebagai berikut :
Ketua : Prof. Dr. H. E. Hidayat Salim, Ir. MS.
Wk. Ketua : Drs. H.A. Halim Basyarah, SH.
Wk. Ketua : Dr. H. Barchoya Mansur.
Sekretaris : Dr. Makhmud Syafe’I, MA
Wk. Sekretaris : Drs. A. Suparman Asm
Wk. Sekretaris : Drs. Asep Zaenal Muttaqien
Bendahara : Drs. H.A. Munawir Rifadhi
Wk. Bendahara : Drs. H. Idrus Rusdiana
Pembina Bidang :
1. Diktilitbang : Drs. H. Akhlan Husen
2. Tabligh, Tarjih & Tajdid : Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si.
3. Ekonomi, Kesj. & Pemb. Masy : Prof. Dr. H. Tb. Hasanudin, M.Sc.
4. Ekstern dan HAM : Prof Dr. H. Rachmat Djatnika
5. Organisasi & Manaj Persyarikatan : Dr. H. Sanusi Uwes, M.Pd.
6. Kaderisasi & Pemb.Ortom : Drs. H. Muslih Thayib

Di tengah perjalanan kepemimpinanya, kembali beliau mendapat amanat untuk memimpin Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI). Jabatan Rektor di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah mengharuskannya melepaskan jabatannya sebagai Ketua PWM Jabar. Peraturan rangkap jabatan di lingkungan Persyarikatn tersebut kemudian melahirkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 79/KEP/I.0/D/2003 tertanggal 22 September 2003 yang menetapkan Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si. sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat periode 2000 – 2005 melanjutkan pendahulunya Prof.Dr.H.E.Hidayat Salim, Ir. MS. Adapun susunan lengkap jabatan dan personalia PW. Muhammadiyah Jawa Barat setelah dipegang oleh Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si. adalah :
Ketua : Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si.
Wk. Ketua : Drs. H.A. Halim Basyarah, SH.
Wk. Ketua : Dr. H. Makhmud Syafe’i, MA.
Sekretaris : Drs. H. A. Suparman Asm
Wk. Sekretaris : Drs. Asep Zaenal Muttaqien
Bendahara : Drs. H.A. Munawir Rifadhi
Wk. Bendahara : Drs. H. Idrus Rusdiana*
Pembina Bidang :
1. Diktilitbang : Drs. H. Akhlan Husen
2. Tabligh, Tarjih & Tajdid : Prof. Dr. H. Sanusi Uwes, M.Pd.
3. Ekonomi, Kesej. & Pemb. Masy : Prof. Dr. H. Tb. Hasanudin, M.Sc.
4. Hubungan Eksternal : Prof.Dr.H.E.Hidayat Salim, Ir. MS.
5. Politik, Hukum & HAM : Prof Dr. H. Rachmat Djatnika**
6. Organisasi & Kelembagaan : Drs. H. Barchoya Mansur
7. Kaderisasi & Pemb.Ortom : Drs. H. Muslih Thayib
8. Anggota : Dra. Hj. Siti Maemunah ***
*) Wafat pada hari Rabu 23 Nopember 2005
**) Wafat pada hari Kamis, 7 Juli 2005
***) Anggota Tanwir unsur Perempuan

2. Pertumbuhan Amal Usaha Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat
2.1. Masjid Raya Mujahidin
“Tanggal 30 Januari 1954 sekitar pukul 16.30 Wib. Sekitar 25 warga dan tokoh masyarakat Kewedanaan Karees berkumpul di Kantor Kewedanaan Karees Kota Besar Bandung. Mereka dengan khusyu mendiskusikan perencanaan jihad untuk membangun sebuah masjid jami. Alasannya saat itu belum ada masjid besar di Kewedanaan Karees” (Republika, 7 Maret 2003). Usulan yang disampaikan oleh R. Sulaeman Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Karees itu disambut baik oleh Oemar Soeraatmadja, Ketua Fraksi Islam DPRD Kota Praja Bandung. Secara kebetulan Pemerintah Kota Praja sendiri telah menyediakan lahan sekitar 2.800 M2 untuk pembangunan mesjid di wilayah karees. Tidak lama kemudian terbentuklah Panitia Pembangunan dengan Ketua Oemar Soeraatmadja.
Awalnya, masjid ini akan diberi nama Ju’ama (Pahlawan). Peletakan batu pertama pembangunan mesjid inipun dilakukan oleh Walikota Bandung Enuh Danubrata.
Setelah satu tahun kepanitiaan berjalan, tepatnya pada tanggal 25 Juli 1955 bertempat di Kantor Muhammadiyah Cabang Bandung Jl. Karapitan No 93 pembangunan masjid yang kemudian namanya berubah menjadi Mesjid Raya Mujahidin itu diserahkan kepada Pimpinan Muhammadiyah Cabang Bandung. Dari pihak pertama, yaitu panitia pembangunan pertama diwakili oleh R. Oemar Suraatmadja (Ketua), H. Kusnadi Djaja (Sekretaris), dan H.A.M. Sofwan (Bendahari) sedangkan dari Cabang Muhammadiyah selaku pihak kedua yang menerima penyerahan diwakili oleh H. Adang Affandi (Ketua), Baharudin Karim (Sekretaris), dan H. Anda (Bendahari).
Setelah menerima penyerahan pembangunan dan pengelolaan masjid ini, Muhammadiyah Cabang Bandung segera membentuk kepanitiaan dengan mengangkat Yoesoef Noer (Majelis Tabligh) sebagai Ketua pembangunan. Yusuf Nur adalah suami Ibu Hadijah Salim salah seorang anggota DPRDS Kota Praja Bandung yang turut memperjuangkan lahan/tanah di Jl. Sancang itu untuk pembangunan Masjid Muhammadiyah.
Sejak diserahkan kepada Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bandung dan kemudian diserahkan kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat pembangunan masjid mengalami berbagai perubahan, baik arsitektur, maupun pelaksanaan dan pembiayaanya. “Alhamdulillah pada tahun 1989 beberapa orang pengurus dan jama’ah masjid yang dirintis oleh Bapak KH. Sulaiman Faruq, H. Koswara (Notaris), H. Zainal Arifin dan yang lain-lainnya bertekad untuk menyelesaikannya dalam waktu tiga tahun”(Buku Panduan Masjid Raya Mujahidin hal 1)
Tekad itu menjadi motivasi yang sangat kuat, atas pertolongan Allah setelah melalui kurang lebih 34 tahun membangun, pada tanggal 6 Agustus 1992 pembangunan itu dianggap selesai dan pada saat itu juga dilakukan penyerahan segala asset dan inventaris panitia kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat yang keseluruhannya bersumber dari partisipasi tidak kurang dari 623 orang dermawan.
Selama pembangunan, program kemakmuran masjid tetap berjalan seperti biasa. Di bawah tanggung jawab Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat sejak tahun 1960 telah terbentuk kepengurusan DKM Masjid Raya Mujahidin dengan Ketua K. H. Sulaeman Faruq (sejak tahun 1960 – 1995). Namun demikian bukan berarti periodisasi tidak berjalan, beberapa sekretaris pernah mendampinginya, diantaranya adalah Imam Syamsudin (1960 – 1980), Kasjvul Anwar (1980 – 1990), Maman Setiawan (1991 – 1995). Pada periode selanjutnya karena kondisi kesehatan yang sudah udzur, jabatan Ketua DKM periode 1995 – 2000 dipegang oleh Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika yang ditengah perjalanan digantikan oleh Drs. H. Farid Ma’ruf Noor sampai habis masa jabatan tahun 2000.
Periode tahun 2000 – 2005, Ketua Badan Ta’mir Masjid Raya Mujahidin dipercayakan kepada H. Zainal Masduki yang merangkap sebagai Imam Mesjid. Di tahun 2004, Allah berkehendak lain, beliau wafat. Untuk meneruskan pengelolaan kemakmuran mesjid, PW. Muhammadiyah Jawa Barat memberikan kepercayaan kepada Drs. Dikdik Dahlan L. yang pada saat dipegang oleh H. Zainal Masduki dipercaya mendampinginya sebagai sekretaris. Sedangkan tugas Imam Mesjid diserahkan kepada Dahlan Ramli, mantan sekretaris Majelis Tabligh PW. Muhammadiyah Jawa Barat periode 1995 – 2000.
Sejak peresmian tahun 1992, Mujahidin terus membangun dan menyempurnakan fasilitasnya. Selain menyelenggarakan TKA/TPA yang kemudian dikembangkan menjadi Madrasah Diniyyah, membangun fasilitas rumah imam mesjid (1999) terakhir juga membangun Taman Kanak kanak yang kegiatan belajar mengajarnya baru dibuka tahun 2005/2006.

2.2. Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung
Salah satu keputusan yang dihasilkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke 36 tahun 1965 di Bandung adalah mengupayakan pendirian Rumah Sakit Muhammadiyah, Sekolah Perawat, dan Sekolah Kebidanan di seluruh propinsi di Indonesia. Di Jawa Barat sendiri, keinginan itu sudah muncul beberapa waktu sebelum penyelenggaraan Muktamar, hal ini didorong pula oleh harapan Gubernur Jawa Barat Mayjen Mashudi agar Muhammadiyah segera memprakarsai pendirian Rumah Sakit Islam di Bandung. Mengingat tuntutan masyarakat disamping sedikitnya ada 5 yayasan yang telah melamar untuk mendirikan rumah sakit Islam, tapi tidak pernah terwujud. Sementara di sisi lain, di kota Bandung juga telah berdiri 5 (lima) buah rumah sakit swasta yang dikelola oleh non muslim.
Atas beberapa tuntutan itu, setelah melewati beberapa kali rapat pleno di Pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah Wilayah, disamping digulirkan pula dalam Rapat Kerja Majelis Pendidikan dan Kesejahteraan Ummat (PKU), langkah awal ditempuh dengan meminta pertimbangan dan saran baik dari Walikota Bandung E. Sukarna Widjaja maupun Kepala Dinas Kesehatan Dr. Uton Muchtar Rafe’i, MPH. Keduanya menyambut baik prakarsa ini dan menyarankan agar pembangunan rumah sakit itu segera direalisasikan dengan mengambil lokasi di wilayah Karees dengan pertimbangan bahwa wilayah Karees belum tersentuh pelayanan kesehatan yang maksimal.
“Pimpinan Wilayah Muhammadiyah saat itu mengadakan musyawarah dengan pimpinan Muhammadiyah Daerah Priangan, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Bandung Lama, Bagian PKU Cabang, Pimpinan ‘Aisyiyah Cabang Bandung Lama dan dari Musyawarah tersebut dihasilkan suatu keputusan bahwa lokasi gedung Panti Asuhan Taman Harapan Muhammadiyah dan asrama Putri ‘Aisyiyah setuju ditukar amal usahanya dengan RS. Islam Muhammadiyah.
Sesuai dengan berita acara serah terima gedung No. 130-47/13 tertanggal 1 September 1967, maka Panti Asuhan Taman Harapan Muhammadiyah yang semula terletak di Jl. Banteng No 53 dipindahkan ke Jl. Nilem No 9 (bekas Poliklinik Bersalin Muhammadiyah Cabang Lengkong), sedangkan Asrama Putri ‘Aisyiyah dipindah ke Asrama Muslihat Jl. Buahbatu Bandung.”(Profil RS. Muhammadiyah Bandung, hal 1-2).
Untuk mewujudkan pembangunan Rumah Sakit itu, maka dibentuklah kepanitian yang terdiri dari :
Ketua (merangkap usaha & dana) : H. Adang Affandi
Ketua I (Pembangunan Fisik & Logistik) : Abu Bakrin
Ketua II (Medis dan Perijinan) : Dr. Uton Muchtar, MPH.
Sekretaris : H. Asikin Sonhaji
Bendahara : H. M. Musa
Anggota (Urusan Medis) : dr. Sachron Fadjar
Anggota (Urusan Dana ) : H. Ahmad Wiraatmadja
Anggota (Publikasi) : H. Sulaeman Faruq
Renovasinya sendiri dipimpin oleh Ketua II yang diserahkan kepada Sdr. Tengku Z. Abidin dibantu oleh para Mahasiswa ITB dan Himpunan Mahasiswa Islam dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dilaksanakan pada bulan Juli 1968.
Akhirnya pada hari Sabtu, tanggal 17 Nopember 1968 bertepatan dengan tanggal 27 Sya’ban 1338 H. Rumah Sakit Islam Muhammadiyah dibuka secara resmi oleh Gubernur Jawa Barat Mayjen Mashudi dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bapak HM. Yunus Anis dan dinyatakan mulai beroperasi pada tanggal 18 Nopember 1968 di bawah tanggung jawab langsung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. Adapun diantara yang pernah menjabat sebagai Direktur diantaranya dr. Soenarko Sarwono (1968-1971), dr. H. Chasan Boesoirie (1971), dr H. Sachron Fadjar (1972 – 1978), dr. H. Sugiat AS (1989 – 1991), dr. H. Koesbiyanto Bakrin (1991 - 1993), dr. H. Husni Abdullah (1993 – 1995), dr. H. Danial Malik Hadibrata, Sp.PK, MM. (1995 – 2005)

2.3. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muhammadiyah Bandung
Sekitar tahun 1968, menurut Siti Maemunah, Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat di Bandung pernah dibuka Universitas Muhammadiyah. Bahkan perkuliahan pun sempat berjalan dengan lokasi yang berpindah – pindah. Namun tidak jelas program studi apa yang dibuka dan sampai kapan perkuliahan itu berjalan. Konon karena Sumber Daya Manusia yang ada pada waktu itu terkonsentrasi kepada pengembangan Universitas Islam Bandung, Universitas Muhammadiyah itu tidak pernah terdengar lagi kelanjutannya.
Gagasan untuk mendirikan universitas Muhammadiyah di Bandung kembali muncul pada kepengurusan PW. Muhammadiyah Jawa Barat periode 1980 – 1985. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam Musywil Muhammadiyah tahun 1986 yang tertuang dalam Program Persyarikatan Muhammadiyah Wilayah Jawa barat Periode 1985 – 1990 Bidang Pendidikan dan Kebudayaan point F : “Pada tahun ajaran 1986/1987 merencanakan pendirian Sekolah Tinggi Muhammadiyah, dimulai dengan STKIP dan STAI, dan pada tahun berikutnya didirikan Sekolah Tingi yang lain yang sangat dibutuhkan, sehingga pada akhir tahun 1989 sudah berdiri Universitas Muhammadiyah di Jawa Barat” (Tanfidz Keputusan Musywil Muhammadiyah Jawa Barat di Garut 6 – 8 Maret 1986 hal 14)
Dari sembilan fakultas yang direncanakan, ternyata hanya 2 (dua) proposal yang masuk ke tangan panitia, yaitu ilmu pendidikan (Drs. H. Tasria H) dan adab (Drs. H. Dadang Kahmad). Dari dua fakultas yang dibuka, ternyata hanya fakultas pendidikan yang mendapat respons dari calon mahasiswa. Karena itu, yang berjalan pada saat itu adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan (STKIP) dengan Direktur/Dekan dipercayakan kepada Brigjen TNI (Purn) HMJ. Irawan dibantu oleh seorang wakil yaitu Drs. H. Tasria Hardjasasmita.
Keluarnya Peraturan Pemerintah cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang pembatasan pembukaan jurusan baru non eksak mamaksa merubah status STKIP yang memang belum mendapat status menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Perubahan ini tentu saja membawa dampak yang cukup besar terhadap kestabilan Mahasiswa yang diantaranya ada yang fushing out ke perguruan lain. Menyusul perubahan nama dan status ini HMJ. Irawan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur, dan kemudian pimpinan berpindah tangan kepada Drs. H. Tasria Hardjasasmita sejak tahun 1990.
Di bawah kepemimpinannya, pada bulan Juli 1993 STIT Muhammadiyah berhasil mewisuda 34 orang sarjana Tarbiyah untuk yang pertama kalinya. Namun pada bulan Maret 1994 Drs. H Tasria Hardjasasmita meninggal dunia dan kemudian digantikan posisinya oleh Drs. H. O Bachtiar Ar., MA.
Pada tahun 1995 keluar lagi Peraturan Pemerintah yang dalam hal ini dikeluarkan oleh Departemen Agama yang berisi bahwa STIT harus berubah menjadi STAI dengan syarat harus minimal memiliki dua jurusan. Peraturan itu diikuti oleh STIT dengan membuka program studi Al Ahwal Syakhsiyyah (Syariah) melengkapi jurusan yang sudah ada yaitu Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah).
Kepemimpinan Drs. H. O. Bachtiar Ar., MA. berlanjut pada periode selanjutnya, yaitu 1999/2000 – 2003/2004. Dari Drs. H. O. Bachtiar Ar., MA. saat ini STAI Muhammadiyah Bandung dipimpin oleh Drs. H. Abdul Adhim yang memangku jabatan sejak tahun 2004. Sampai tahun 2000 yang lalu STAI Muhammadiyah Bandung telah berhasil melakukan wisuda sebanyak 5 kali dengan jumlah kelulusan sebanyak 338 orang yang terdiri dari 324 orang sarjana PAI, 6 orang Diploma 2 PGMI/PGSDI dan 8 orang Diploma 1 PGTKI.

2.4. Ma’had ‘Ali al Urwatul Wutsqa
Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat tahun 2000 di Lembang mengamanatkan khususnya kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat periode 2000 – 2005 untuk segera merintis pendirian sebuah pondok pesantren tingkat tinggi sebagai wadah kaderisasi ulama tarjih Muhammadiyah. Amanat ini direalisasikan dengan berdirinya Ma’had ‘Ali al Urwatul Wutsqa, yang lebih dikenal dengan istilah Pesantren Luhur.
Dalam pendiriannya PW. Muhammadiyah Jawa Barat mempercayakan secara penuh kepada Majelis Tarjih & Pengembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Jawa Barat yang dibantu oleh Badan Ta’mir Masjid Raya Mujahidin sebagai penyedia sarana dan prasarana kegiatan belajar – mengajarnya.
Pesantren Luhur mulai beroperasi pada tahun ajaran 2003/2004 dengan jumlah mahasantri angkatan I sebanyak 15 orang dari 20 orang yang dinyatakan lulus test. Sejak pendiriannya Pesantren Luhur berlokasi di Masjid Raya Mujahidin dengan Direktur dipercayakan langsung kepada Drs. H. Ayat Dimyati (Ketua Majelis Tarjih & PPI) dibantu Drs. Dadang Syaripudin, M.Ag. & Drs. Karman (Asdir I & II).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar