Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Orang Besar : Dikdik Dahlan L.

Kami duduk berhadapan beralaskan selembar tikar. Matanya yang indah, sesekali menatap wajahku. Di balik keindahan matanya, aku juga merasakan keteduhan. Barangkali karena keteduhannya itulah aku selalu merasakan kasih sayang sejati kalau ia melemparkan pandangan, hingga aku makin larut dalam naungannya.
Diantara kami, akulah yang paling banyak diam. Nyaris hanya mampu menundukkan kepala. Namun begitu, aku masih bisa mengintipnya ketika ia sesekali membetulkan kerudungnya, membetulkan bahu bajunya, membetulkan duduknya atau mempermainkan jemari dan tikar alas duduk kami berdua. Dari mulut tipisnya, jelas sekali kudengar seluruh ucapannya. Bahkan hampir seluruh kata-katanya selalu kusimak dan kucerna dengan baik. Dan kata-katanya itulah yang membuatku menangis.
Kata-katanya halus tidak ada yang menyulitkan. Ia lontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana tanpa ada kesan menginterogasi atau menggurui. Setiap ucapannya seakan menggiring untuk menengok kembali seluruh perjalanan hidupku. Aku sangat terkesan dengan gaya bicaranya, dengan keteduhan kata-katanya, karena itu ingin sekali aku memanggil ibu kepadanya, atau paling tidak : mbak. Padahal belum lama kami saling mengenal. Satu bulan pun belum.
Sebaliknya, ia mengaku sudah sejak lama mengenalku. Kupinta bukti kalau memang sudah lama mengenalku. Ia tidak bisa menyodorkannya, tapi dari caranya ia bicara, caranya ia menyampaikan sesuatu, caranya ia menyadarkanku, aku semakin yakin kalau ia memang sudah lama mengenalku. Ia tahu tentang segala hal dalam hidupku, tapi sama sekali ia tidak bermaksud menelanjangiku. Aku merasa hanya dialah saat itu orang yang paling dekat denganku. Dia yang paling tahu siapa diriku sebenarnya. Ia bahkan seperti yang lebih tahu tentang diriku ketimbang diriku sendiri. Aku malah bertanya : kenapa mesti dia ? bukan ayahku, ibuku, kakak-kakakku atau teman-teman dekatku ?
Barangkali karena caranya yang lain, ia temukan dulu bagaimana semestinya ia bicara denganku, kemudian ia menggiringku pada suasana yang lebih akrab, tapi keakraban itu sama sekali tak mengurangi kewibawaanya. Sebagai seorang pria, wajar kalau aku bersikap sebaliknya, tapi ternyata tidak berhasil. Perasaanku, semestinya aku bersujud di bawah senyumannya. Dalam kepenatan seperti itulah seakan seluruh kebebasanku diikatnya. Kejantananku sebagai seorang pria ia lumpuhkan dalam waktu yang sangat singkat.
Tubuh seorang laki-laki yang duduk di atas tikar saat itu, tidak ada arti sama sekali di matanya. Kurasakan semua itu. Kuakui dan mesti kuakui : aku tidak ubahnya seorang bocah bloon, bahkan super bloon. Aku pun merasakan betapa kasih sayangnya ia tampakkan untukku. Ia bukan ibuku, ia bukan guruku, apalagi dewa. Ia hanya seorang teman yang baru kukenal beberapa minggu lalu.
Seakan akan ia berdiri, bernafas dan semua hidupnya hanya untuk memata-mataiku, kemudian dengan kata-kata bijak, saat itu, ia perlihatkan semua koreng koreng di tubuhku yang tidak pernah kusadari sebelumnya. Ia sebenarnya hanya seorang wanita biasa, tak banyak kelebihan bahkan aku pun menilai masih banyak sikap dan pribadinya yang perlu diluruskan. Tapi lagi – lagi aku harus mengulang pertanyaan : mengapa ia tahu tentang aku segalanya ? Lebih dari itu, harus kuakui : kalau pada saat itu ia bersikap sangat dewasa dan bijaksana, Bahkan terlalu bijaksana. Bijaksana sekali.
Untuk kesekian kalinya, diantara kami kembali diam seribu bahasa. Tidak ada yang bicara. Aku sendiri hanyut dalam kata-katanya yang menggiring benakku untuk mengenang semua liku dan sikap butaku.
Sejak dari dulu, bahkan dulu sekali mungkin juga telah menjadi salah satu sifatku : aku selalu ingin menang sendiri. Kompromi hanya bagian kecil dalam hidupku, kecil sekali bahkan nyaris tidak ada. Jauh, jauh sekali aku harus menerima pendapat orang lain dengan begitu saja. Paling tidak aku harus mengomentarinya terlebih dahulu. Tidak jarang aku berapologi untuk sebuah gengsi, berkelit lidah, menepiskan semua argumen orang sekalipun aku menyadari akan kebenarannya.
Suatu saat, pernah mataku memerah karena argumenku terdesak beberapa buah pertanyaan. Tidak hanya apalogi, teori – tori orang besar berbahasa Inggris pasih kuucapkan. Aku sempat memukul meja segala. Alasanya sangat mudah ditebak : aku tidak mau kalah.
Keakuanku : akulah orang besar. Duniaku tak lagi mengenal kehidupan nyata. Makananku hanya teori-teori yang tak pernah mengenyangkan. Alamku hanya kata-kata yang tersusun rapi dalam helai buku tebal sampai super tebal yang membebalkan. Sementara tangis si miskin yang kehilangan kesempatannya mendapatkan sesuap nasi tadi pagi, brutalnya budak zaman yang senantiasa dijadikan kambing hitam, tajamnya sikut-sikut runcing pejabat berperut gendut dan sejuta kenyataan hidup tak pernah masuk dalam agenda telaahanku.
“Ya Allah jadikan ia salah seorang sahabatku, dekatkanlah ia denganku…” pintaku, di sela-sela derai air mataku.
“Agaknya lebih baik kita sadari, bahwa semua orang punya kepala ? Kita tak hidup sendiri, apalagi sampai melupakan orang lain, yang akhirnya kita merasa besar dan berbesar kepala” ucapnya.
Sesaat, kembali aku hanyut dalam kata-kata itu hingga tak sadar aku menatap tajam wajahnya yang bulat keibuaan. Ia menundukan kepala, jemari lentiknya saling dipermainkannya. Perlahan kepala itu diangkatnya kembali. Sampai kedua mata kami saling bertatapan. Tapi aku tak kuasa melawan tatapan matanya itu. Ada rasa malu. Ada rasa hormat. Lalu kepalaku tertunduk lagi, padahal degup jantungku seakan menggigilkan tubuhku.
Masih saja ia menatapku. Betapa berat rasanya untuk sekedar menengadahkan kepala. Apalagi untuk memberanikan diri menatap kembar wajahnya. Perasaanku saat itu seperti diburu sejuta dosa. Hingga hiduplah kembali dalam benakku beribu ulah-ulah nista yang pernah kulakukan. Ingin rasanya saat itu mengguling-gulingkan tubuhku karena rasa sesal yang sangat dalam. Kalau saja tak tertahan. Barangkali saat itu juga pangkuanku sudah basah kuyup oleh air mataku sendiri. Aku merasa kecil dihadapannya. Kecil sekali.
“Ya Allah, dekatkanlah ia denganku. Jadikan ia salah seorang sahabatku” selalu kupintakan doa itu kepada-Nya.
“Akhirnya kita merasa besar, dan selalu berbesar kepala “ ucapannya itu seperti sebilah anak panah yang berhasil merobek dan menembus relung paling dalam sanubariku.

“Sungguh, aku tak percaya kalau kau melakukan ini”. Aku menatap sorot matanya yang berbinar. Dari caranya ia memandang, sepertinya ia tak merasa berdosa dengan apa yang diperbuatnya. Aku kehilangan teduh matanya yang kemarin sempat menyejukkan hati. Aku kehilangan indah matanya yang kemarin sempat berkacak penuh wibawa.
“Tapi, kita tidak sedang tidur saat ini” jawabnya, tanpa beban.
“Tapi, tapi ini tak semestinya dilakukan oleh seorang wanita sesuci dirimu !”
“Kata siapa aku suci ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar