Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Bab II : Dikdik Dahlan L.

BAB II
SEJARAH PROPINSI JAWA BARAT

1. Selayang Pandang Kerajaan Sunda
Menurut Yoseph Iskandar dalam Bukunya Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa) Kerajaan Sunda adalah nama pengganti untuk kerajaan Tarumanagara. Perubahan nama ini dilakukan oleh Sang Tarusbawa menantu Sang Maharaja Linggawarman, raja kedua belas Kerajaan Tarumanagara yang wafat pada tahun 699 M. Sang Tarusbawa mengantikan mertuanya dengan nama nobat Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sunda Sembawa. Nama Sunda sendiri diambilnya dari nama bekas Ibukota Tarumanagara yang juga tempat kelahiranya, yaitu Sundapura yang kemudian berubah menjadi Sunda Sembawa (Tanah kabuyutan).
“Menurut R.W. van Bemelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km.” (Ekajati, 1995 : 1- 2)
Istilah Sunda sendiri yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat pulau Jawa beserta segala aktivitas manusia di dalamnya, baru muncul pada abad ke 11 M. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Cibadak Kabupaten Sukabumi. Dalam prasasti yang berangka 952 tahun Saka (1030 M) itu diterangkan bahwa Sri Jayabhupati – penguasa yang mengeluarkan prasasti itu – adalah seorang raja Sunda. Namun tidak berarti bahwa tahun prasasti itu adalah tahun pendirian kerajaan Sunda. Berbagai petunjuk, selama ini diyakini bahwa nama kerajaan Sunda dipergunakan sejak naik tahtanya Sang Tarusbawa yang memerintah pada tahun 591 – 645 Saka atau 699 – 723 Masehi. Artinya kerajaan Sunda sudah berdiri sejak abad ke 7 Masehi. Hampir bersamaan dengan naik tahtanya Sang Tarusbawa, raja kerajaan Kendan yaitu Sang Wretikendayun yang merupakan bawahan kerajaan Tarumanagara memisahkan diri kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Pakuan. Dengan demikian, sejak tahun 669 M itu kerajan Tarumanagara sebagai sebuah kerajaan besar di Jawa Barat berakhir dan kemudian muncul dua kerajaan baru yaitu :
1. Kerajaan Galuh yang menguasai wilayah timur sungai Citarum
2. Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah barat sungai Citarum
“Kendan adalah nama sebuah bukit yang terletak di 500 meter di sebelah stasiun Nagreg sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit tersebut terdapat sebuah kampung bernama Kendan, termasuk Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka”(Iskandar, 1997 : 101). Selain nama kerajaan, Kendan juga adalah nama ibukota kerajaan. Pada masa Sang Kandiawan ibukota kerajan Kendan pindah ke Medang Jati dan penguasa selanjutnya yaitu Sang Wretikendayun kembali memindahkan ibukotanya ke Galuh (permata). “Galuh berada di lahan yang diapit oleh sungai Cimuntur dan Citanduy. Lokasi bekas Galuh tersebut, sekarang dikenal sebagai Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis” (Iskandar, 1997 : 101).
Mengenai eksistensi kerajaan Sunda dapat dilihat dalam laporan Tome Pires seorang Portugis yang melakukan perjalanan keliling di kepulauan Nusantara pada tahun 1513. Dalam catatan Tome Pires, pada waktu kerajaan Sunda menempati wilayah yang disebut tanah Sunda. Saleh Danasasmita menyimpulkan keterangan Tome Pires dimaksud sebagai berikut :
a. Di pulo Jawa, ti Cimanuk ka kulon jadi wewengkon kakawasaan raja Sunda.
b. Dayeuh tempat kalungguhan raja Sunda ayana di pagunungan, anggangna dua poe perjalanan ti palabuan Kalapa nu aya di muara Ciliwung” (Danasasmita, 2003 : 55)
Artinya :
a. Di pulau Jawa dari sungai Cimanuk ke arah barat menjadi daerah kekuasaan raja Sunda.
b. Ibukota (tempat) kediaman raja Sunda berada di daerah pegunungan yang jaraknya kira – kira memakan waktu dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kelapa yang berada di muara sungai Ciliwung.
Selanjutnya oleh Saleh Danasasmita disimpulkan bahwa berdasarkan keterangan Tome Pires di atas dapat dipastikan kalau ibukota kerajaan Sunda itu adalah Pakuan Pajajaran yang berarti istana berjajar yang jumlahnya terdiri dari 5 keraton dengan bentuk dan tata letaknya sama dan sejajar yaitu keraton Bima-Punta-Narayana-Madura dan Suradipati. Menganai hal ini Drs. Yoseph Iskandar menguraikan :
“Ihwal keraton Pakuan Pajajaran diberitakan juga oleh Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 halaman 204 – 205, yang kutipannya adalah sebagai berikut :
Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan kedatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa.
Terjemahannya antara lain :
Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima-Punta-Narayana-Madura Suradipati adalah Sang Prabu Tarusbawa” (Iskandar, 1997 : 228)
Nama keraton sering berubah menjadi nama ibukota atau bahkan akhirnya menjadi sebutan sebuah negara atau kerajaan. Sebagai contoh adalah Saunggalah di Kuningan. Saunggalah yang berarti bangunan memanjang adalah nama sebuah keraton, tapi kemudian berubah menjadi nama sebuah tempat. Demikian pula dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Keduanya adalah nama keraton . Sekarang meluas menjadi nama kota bahkan propinsi. Dalam penyebutannya sendiri orang cukup dengan menyebut Yogyakarta atau malah Yogya.
Hal ini berlaku juga terhadap kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Sejak abad ke 17 Masehi sumber yang berasal dari Jawa cenderung menyebut Pajajaran sebagai nama kerajaan di bagian barat pulau Jawa. Begitupula dalam sumber yang berasal dari Banten dan Cirebon, sesudah abad ke 18 Masehi selalu menyebut kerajaan itu dengan Pajajaran bukan kerajan Sunda lagi. Bahkan secara internal penggunaan Pajajaran untuk menyebut nama kerajaan sudah tercatat sejak abad ke 15 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Susuktunggal.
Timbulnya gejala tersebut kemungkinan akibat sering terjadinya perpecahan dan bersatunya kembali antara kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, dimulai sejak terpecahnya Tarumanagara pada tahun 669 Masehi. Mungkin penduduk Jawa Barat pada waktu itu, tingkat kejenuhannya oleh perang dan damai sudah mencapai titik kulminasi. Kurang lebih 8 abad peristiwa tersebut berlangsung sehingga mereka lebih senang menyebut kerajaan Pajajaran dari pada dibingungkan oleh dua sebutan (Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda) yang hakikatnya adalah satu. Mungkin mereka merasa solid dalam satu identitas etnis Pajajaran saja.” (Iskandar, 1997 : hal 229).
Seiring dengan itu, di awal abad ke 16 Masehi ajaran Islam sudah mulai diterima oleh penduduk Jawa Barat. Tidak hanya itu, bahkan Banten dan Cirebon berangsur melepaskan diri dari kerajaan Pajajaran dan kemudian dikenal sebagai kerajaan Islam. Sebaliknya, pada masa itu kerajaan Pajajaran sudah memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk menentukan keyakinan sendiri. Agama Budha berkembang pesat di kerajan Talaga, Hindu berkembang di daerah Cangkuang Garut. Bahkan ketika Sri Baduga Maharaja meresetui penobatan Walangsungsang, puteranya itu telah bergelar Haji Abdullah Iman. Artinya, penyebaran agama Islam yang berpangkal dari Kerajaan Demak dan sudah mulai menyentuh penduduk JawaBarat itu sebenarnya tidaklah menjadi kekhawatiran sama sekali bagi Pajajaran. Kekhawatiran itu muncul justru karena Demak menjadi saingan perdagangannya. Selain itu, Demak juga dikenal sebagai kerajaan yang memiliki armada laut yang tanggguh, kontradiksi dengan Pajajaran yang justru hanya memiliki ketangguhan di darat. Terlebih hal ini kemudian diperparah oleh kehadiran armada laut Demak di Cirebon. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian Pajajaran melakukan perjanjian bilateral dengan Portugis yang berlangsung pada tahun 1512 M. Perjanjian kedua negara ini terus berlanjut, sementara di lain pihak Demak pun terus berupaya untuk melumpuhkan Portugis yang telah berulang kali berhasil memukul mundur serangan Demak. Untuk menggapai impiannya itu maka Demak mulai memancangkan pertahanannya di Cirebon dan Banten yang sekaligus semakin memperlemah eksistensi Pajajaran. Puncak keruntuhan kerajaan Sunda ini terjadi pada tahun 1579 setelah Maulana Yusuf Raja Banten ketiga yang dibanu oleh kerajan Cirebon dapat menguasai Pakuan Pajajaran ibukota kerajaan Sunda. Selain didukung bala bantuan dari kerajaan Cirebon, orang dalam yang yang sakit hati juga turut mempermulus keruntuhan Benteng Pakuan yang dulu terkenal tangguh. Bahkan lima keraton berjajar lambang kemegahan Pajajaran yaitu Sri Bima-Punta-Narayana-Madura –Suradipati dibakar dan dibumi hanguskan.
Setelah meluluh-lantakan lambang kebesaran kerajan Sunda di Pakuan Pajajaran, serangan diteruskan ke Pulosari – Pandeglang tempat “pengungsian” raja terakhir Pajajaran yaitu Prabu Ragamulya Suryakancana. Secara kebetulan, ternyata daerah Pulosari yang tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang Kampung Kadu Hejo Kecematan Menes Kabupaten Pandeglang ini juga adalah tempat dahulu Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota kerajan Salakanagara pada tahun 130 Masehi sebagai cikal bakal kerajaan Tarumanagara yang kemudian berubah nama menjadi Kerajaan Sunda dan lebih dikenal dengan kerajaan Pajajaran. Menurut catatan Pangeran Wangsakerta Cirebon pada tahun 1677 dalam Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219 disebutkan bahwa “Pajajaran lengnyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka bertepatan dengan tanggal 11 Rabiu’awal 987 Hijriyah atau tanggal 8 Mei 1579 Meshi” (Iskandar, 1997 : 294).

2. Pembentukan Propinsi Jawa Barat
Pasca runtuhnya kerajaan Sunda, selanjutnya wilayah yang selama ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda terbagi menjadi beberapa kerajaan, yaitu Sumedanglarang, Cirebon, Galuh, dan Banten. Pada perkembangan selanjutnya, wilayah bekas kerajaan Sunda ini lebih dikenal dengan sebutan Tanah Sunda, atau tatar Sunda atau Pasundan. Sedangkan Galuh dan Sumedanglarang lebih khusus disebut daerah Priangan dan dipandang sebagai pusat Tanah Pasundan. Daerah Priangan yang dianggap pusat Tanah Pasundan itu memang merupakan daerah pegunungan dengan puncak – puncaknya yang cukup tinggi. Tidaklah mengherankan apabila orang – orang yang tinggal di daerah pesisir pantai sering menyebut orang Sunda dengan sebutan urang gunung, wong gunung atau tiyang gunung yang berarti orang gunung.
Adapun istilah Jawa Barat disinyalir diambil dari istilah yang digunakan oleh Belanda sebagai terjemahan dari West Java yang mulai muncul pada abad ke 19 ketika pulau Jawa telah dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Untuk kepentingan pemerintahan dan militernya, pulau Jawa kemudian dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jawa Barat, Tengah dan Jawa Timur.
Menurut orang Belanda sendiri pembagian seperti itu telah terjadi sejak tahun 1705 M. “Pada tahun tersebut Mataram menyerahkan wilayah bagian barat Pulau Jawa kepada Belanda (VOC) kecuali wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Banten. Pada tahun berikutnya ditentukanlah batas wilayah antara Mataram dan Kumpeni, yaitu sungai Cilosari di utara dan sungai Cidonan di selatan. Batas di sebelah selatan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels (1808 –1811) digeser ke sebelah barat, sehingga batasnya menjadi sungai Citanduy (Ali, 1975: 11 – 12) Akan tetapi pada waktu itu belum dikenal istilah West Java” (Edi S. Ekadjati, 1995 : 10)
Istilah West Java yang menunjukkan wilayah bagian barat pulau Jawa secara resmi dan populer digunakan mulai tahun 1925 dengan batas – batas sebagaimana telah ditetapkan oleh Mataram dan pemerintah Hindia Belanda tahun 1705 yang meliputi wilayah – wilayah Banten, Batavia, Priangan, dan Cirebon sesuai Staatsblad no 235 dan 378 tahun 1925.

2.1. Geografis
Secara geografis Jawa Barat terletak berbatasan wilayah sebelah utara dengan Laut Jawa, bagian barat dengan Propinsi Banten, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Jawa Barat setelah dikurangi propinsi Banten sekarang menjadi 35.746, 26 Km2.
Di lihat dari letaknya, Jawa Barat juga merupakan daerah penyangga Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Karena itu Jawa Barat mempunyai peranan dan fungsi yang sangat penting terutama dalam menunjang eksistensi DKI Jakarta. Kondisi ini menuntut Jawa Barat berfungsi ganda, yaitu membangun dan mengembangkan wilayahnya sendiri di lain pihak juga harus berfungsi sebagai pendukung utama keberadaan ibukota Negara Republik Indonesia.
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit bukit dengan sedikit pantainya sedangkan di kawasan tengahnya dataran tinggi bergunung gunung. Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat berada hampir di tengah – tengah wilayah Jawa Barat. Kota ini terletak kira kira 187 Km dari Jakarta, 129 Km dari Kota Bogor, 130 Km dari Kota Cirebon dan 106 Km dari Kota Tasikmalaya.

2.2. Lingkungan Alam
Jawa Barat memiliki wilayah pegunungan yang lebih luas dibandingkan dengan dataran rendahnya. Secara detail Jawa Barat dibagi atas empat bagian (zone), yaitu zone Jakarta, Bogor, Bandung dan Pegunungan Selatan.
Zone Jakarta merupakan dataran rendah yang lebarnya sekitar 40 Km dan terbentang dari Serang di sebelah Barat sampai ke daerah Cirebon di sebelah timur. Dataran ini sebagian besarnya terdiri atas endapan alluvial yang terbawa oleh aliran sungai dan lahar dari gunung – gunung berapi di daerah pedalaman. Sebagian besar daratan ini merupakan hamparan pesawahan dengan perairan teknis.
Zone Bogor adalah merupakan komplek perbukitan dan pegunungan yang terletak di sebelah selatan zone Jakarta dengan lebar kira kira 40 Km. Zone ini terbentang dari daerah Jasinga (Kabupaten. Bogor) di sebelah barat sampai ke sungai Cipamali dan Bumiayu Jawa Tengah. Zone ini secara garis besar terdiri dari dua bagian. Pertama, bagian barat yang berpusat di Bogor dan berakhir di gunung Sanggabuana Kabupaten Purwakarta. Sedangkan bagian kedua adalah bagian timur yang dibentuk oleh gunung – gunung baru, seperti komplek gunung Ciremai, Komplek Gunung Tampomas dan komplek Gunung Sunda yang terdiri dari gunung Burangrang, Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Manglayang.
Zone Bandung yang lebarnya sekitar 20 – 40 Km terbentang dari Teluk Pelabuhan Ratu melalui Lembah Cimandiri, Sukabumi, dataran Cianjur, dataran tinggi Bandung, Garut Tasikmalaya, sampai ke Citanduy dan berakhir di Sagara Anakan. Antara zone Bandung dengan zone Bogor dibatas oleh barisan gunung yang terbentuk pada zaman kuarter, yaitu gunung Gagak, Salak, Pangrango, dan gunung Gede.
Zone Pegunungan Selatan dibentuk oleh pegunungan di Priangan Selatan. Zone ini memiliki lebar kurang lebih 50 km dan menyempit ke arah timur (Nusakambangan). Zone ini secara fisiografis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu seksi Jampang dengan rata rata ketinggian 1.000 m, kemudian di bagian tengah adalah seksi Pangalengan yang merupakan seksi tertinggi. Bagian ketiga adalah seksi Karangnunggal. Pada seksi ini hampir mirip dengan seksi Jampang, ketinggiannya tidak lebih dari 1000 m, kecuali gunung Bongkok yang mencapai 1.144 m.
Dari uraian di atas, nampak bahwa Jawa Barat banyak dipasak oleh gunung gunung baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Karena banyaknya gunung, maka di sela-sela gunung itu tentu saja mengalir sungai sungai yang mengalir menuju ke daerah yang lebih rendah letaknya dan berakhir di laut. Banyaknya aliran sungai bagi penduduknya mengilhami untuk mengaitkan air (Cai dalam bahasa Sunda, dan kemudian penyebutannya disingkat menjadi “Ci”) dengan nama tempat seperti Cimahi, Cianjur, Ciamis, Cibinong, Cibeo, Cibeureum, Cibodas dan lain – lain.
Banyaknya sumber mata air dan aliran sungai yang meliuk – liuk di bumi Jawa Barat berakibat munculnya kemudahan pembentukan danau, baik yang terbentuk secara alamiah maupun hasil buatan dan rekayasa manusia. Danau alam misalnya adalah situ Patenggang dan Ciburuy di Bandung, Situ Talagawarna di Bogor, Situ Bagendit dan Cangkuang di Garut, dan Situ Panjalu di Ciamis. Adapun danau-danau buatan sekarang ini terdapat di Kuningan (Waduk Darma), Jatiluhur di Purwakarta, Cirata di Cianjur dan Saguling di Bandung.
Seperti wilayah – wilayah lainnya, Jawa Barat juga memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Umumnya, pada enam bulan pertama, yaitu sejak Maret hingga Agustus terjadi musim kemarau disebabkan oleh arah angin yang datang dari arah timur dan tenggara. Tiupan angin ini adalah angin kering yang tidak membawa uap angin. Sebaliknya ketika angin bertiup dari arah barat (daratan Asia) angin ini mengandung banyak air dan mengakibatkan terjadinya musim penghujan selama kurang lebih enam bulan mulai bulan September sampai Februari. Rata rata curah hujan mencapai 2.000 mm, bahkan di beberapa daerah tertentu mencapai angka 3.000 – 5000 mm seperti di daerah Bogor yang dikenal dengan kota hujan.
Lapisan atas tanah di wilayah Jawa Barat banyak mengandung endapan alluvial dan vulkanis yang berasal dari letusan gunung berapi. Inilah yang menyebabkan wilayah Jawa Barat terkenal subur yang memungkinkan tumbuh suburnya beraneka ragam tanaman, seperti di Gunung Gede tercatat lebih dari 300 macam tanaman tumbuh dengan suburnya.

2.3. Demografi
Pada tahun 1971, jumlah penduduk Jawa Barat tercatat sebanyak 21,62 juta orang. Sembilan tahun kemudian meningkat menjadi 27,67 juta jiwa dan pada tahun 1988 tercatat berjumlah 33,1 juta jiwa. Setelah Banten terpisah, berdasarkan sensus penduduk jumlah penduduk Jawa Barat tercatat sebanyak 35.500.611 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Selama sepuluh tahun, yaitu 1990 – 2000 laju pertumbuhan penduuk mencapai angka 2,17 %. Sensus tahun 2003 penduduk Jawa Barat menunjukkan angka 38.059.540 jiwa dengan kepadatan penduuk mencapai angka rata – rata 1.064 jiwa per Km2. Data kependudukan terakhir, yaitu tahun 2005 tercatat sebagai berikut : (Hasil internet)

3. Jawa Barat di Masa Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang
Di kawasan Eropa, sekitar abad 15 dan 16, Portugal merupakan bangsa yang unggul sebagai bangsa pelaut. Tidaklah mengherankan kalau pada saat itu Portugal memonopoli seluruh perdagangan rempah – rempah yang berasal dari belahan Asia, bahkan belakangan Portugal justru menghadapi kesulitan untuk mengatur monopoli yang dimilikinya.
Kesempatan ini tercium oleh para saudagar Belanda, dan kemudian mengatur strategi untuk menjadi pesaing terbesar bagi Portugal. Untuk kepentingan itulah Belanda mengirimkan sebuah armadanya yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman menjelajah Asia. Armada Houtman berangkat dari Belanda pada tanggal 2 April 1595. Pada tahun itu, Houtman berhasil membeli rempah – rempah dari raja-raja di Jawa, Sumatera dan Bali setelah sebelumnya singgah terlebih dahulu di sebelah timur India. Sejak itulah para saudagar Belanda berebut dan bersaing ketat untuk misi perdagangan rempah – rempah di Asia khususnya di kepulauan Nusantara. Melihat gelagat tidak sehat ini parlemen Belanda membentuk Verenigde Oostindische Compagnie disingkat VOC yang berarti Persatuan Perusahan Hindia Timur pada tanggal 20 Maret 1602. Bagi Belanda VOC.adalah sebuah perusahan multi nasional pertama di dunia sekaligus pembawa kemakmuran bagi negerinya.
Selain memonopoli perdagangan, Pangeran Mauritz juga memberikan mandat yang lebih dari sekedar berdagang kepada VOC. Pangeran Belanda ini bahkan melengkapi mandat VOC dengan hak hak kekuasaan raja dan pemerintahan. Dengan demikian, atas nama negaranya (Belanda) VOC memiliki kewenangan untuk mengadakan perjanjian dengan para penguasa atau raja-raja di wilayah Asia, membangun benteng sebagai sistem pertahanan, membentuk pasukan militer, membentuk peradilan bahkan mengeluarkan mata uang sendiri. Karena keluasan mandat itu, dari tahun ke tahun VOC terus berkembang merajai dunia perdagangan khususnya di benua Asia. Bahkan tidak hanya itu, berdalih misi perdagangan, dalam kenyataannya VOC adalah penguasa sekaligus pengendali pemerintahan di setiap jengkal tanah yang diinjaknya. Mereka melakukan perjanjian perdagangan dengan penguasa daerah yang tentu saja menguntungkan VOC. Tidak jarang penguasa yang menolak dipaksanya dengan menggunakan kekerasan militer. Karena itu para penguasa daerah yang melakukan perjanjian kerja, nampaknya lebih cocok untuk disebut “taklukan” ketimbang mitra kerja.
Sebagai ilustrasi adalah apa yang pernah terjadi di Cirebon. “Dalam hubungan perjanjian dengan VOC, para sultan Cirebon harus pula meminta persetujuan Komisaris VOC apabila akan melakukan kebijakan -–kebijakan yang meliputi berbagai bidang terutama politik dan perdagangan. Selain itu, mereka harus menyediakan tenaga kerja sejumlah 400 orang setiap tahunnya sebagai tenaga kerja wajib. Soal – soal lain yang tidak berkaitan dengan masalah monopoli perdagangan VOC, biasanya tidak digubris oleh VOC. Misalnya yang berkaitan dengan kehidupan kebudayaan kraton”(Lubis, 2000 : 43)
Hal ini berlanjut selama abad ke 17 dan 18. Di akhir abad ke 18 VOC mengalami kebangkrutan akibat pemberontakan – pemberontakan, peperangan antara Belanda dengan Spanyol dan Portugal disamping degerogoti oleh korupsi yang sudah akut di tubuh VOC. Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC resmi bubar. Namun demikian bukan berarti petualangan Bangsa Belanda di Nusantra berakhir.
Sejak berakhirnya eksistensi VOC, dengan sendirinya seluruh daerah bekas jajahan VOC di Indonesia dipindah-tangankan dan dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan gubernur jenderal pertamanya Herman Willem Daendels (1808 –1811). Sekalipun VOC suah bubar, dalam kenyataan sehari – hari di Indonesia seolah tidak terjadi apa apa. Hindia Belanda engan ibukota di Batavia tetap berjalan terus bahkan sejak tanggal 1 Januari 1800 Hindia Belanda adalah benar-benar merupakan sebuah negara. Peubahan hanya bersifat aministratif di atas kertas saja. Semuanya berjalan seperti sebelumnya, kerja rodi masih tetap berlanjut, pemerasan rakyat lewat penanaman kopi, lada, tebu, kapas dan lain-lain tidak pernah berhenti bahkan semakin mencapai puncaknya karena pemerintah Belanda harus melunasi utang – utang peninggalan VOC yang sudah menggunung. Bahkan dalam kondisi seperti inilah peranan Jawa Barat nampak lebih menonjol bagi eksistensi pemerintah Belanda karena daerah Jawa Barat yang betul – betul dapat memenuhi segala kebutuhan Belanda. Tanpa eksport kopi dan lada yang dihasilkan Jawa Barat, tiak mungkin Belana apat mengeruk uang dan keuntungan. Seluruh tindakan Belanda di daerah kekuasaanya telah berubah menjadi tinakan sebuah negeri penjajah yang apapun kebijakannya adalah untuk meraup keuntungan yang sebesar besarnya untuk kepentingan di negeri asalnya yang tengah mengalami kemorosotan ekonomi disamping secara politis mendapat ancaman dri berbabagai negara besar yang setiap setiap saat bisa mengancam eksistensinya. Salah satu tindakan fenomenal yang dilakukan oleh orang Belanda adalah kerja paksa (rodi) untuk membuat jalan raya yang menghubungkan Anyer dan Panarukan. Pembuatan jalan ini dimaksudkan untuk memuahkan pengangkutan militer dalam menghadapi peperangan dengan Inggris disamping tentu saja mempunyai pernan penting pula dalam kaittanya dengan perekonomian. Kerja paksa yang memakan korban puluhan ribu orang pribumi ini diperintah oleh Gubernur Jenderal Deandels yang terkenal bengis dan kejam.
Tidak hanya itu, kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia berangsur pula telah mengakhiri kekuasaan para raja khususnya di Jawa Barat yang ditutup dengan berakkhirnya kekuasan raja-raja di Banten (1813) dan Cirebon (1815). Sejak itulah secara de facto Jawa Barat menjadi tanah jajahan murni yang diperintah langsung dari Batavia. Dengan berbagai dalih seperti Cultuurstelsel (1830-1870) yang slogannya untuk memajukan dan mendidik rakyat, seluruh potensi Jawa Barat dikuras oleh penjajah Belanda baik sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya. Bayangkan saja pada tahun 1902 di Jawa Barat tercatat ada sekitar 81 buah perkebunan teh dari 100 perkebunan teh di seluruh Hindia Belanda. Dari 82 perkebunan kina di seluruh Hindia Belanda 60 diantaranya berlokasi di daerah Jawa Barat.
Bagi Belanda sistem tanam paksa ini mendatangkan keuntungan yang sangat berlimpah. Namun sebaliknya, bagi bangsa Indonesia tindakan ini semakin memperpanjang kenestapaan. Tidaklah mengherankan apabila kebijakan ini pada akhirnya melahirkan berbagai pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tidak hanya dari kalangan pribumi, tercatat sedikitnya Douwes Dekker dan Baron van Houvell yang mengutuk dengan pedas kebijakan ini.
Menanggapi protes dan kritikan ini, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan baru dalam bidang agraria yang pada dasarnya pemerintah membuka pintu untuk penanaman modal di bidang perkebunan. Kebijakan ini mengakibatkan menjamurnya berbagai perusahaan Eropa yang bersaing menanamkan modalnya di bidang perkebunan dan pabrik gula. Melihat perkembangan ini pemerintah Hindia Belanda memandang bahwa untuk mengimbangi berkembangnya perusahaan – perusahaan itu iprlukan pemerintahan yang kuat disamping penyediaan pekerja upah dari kalangan penduduk pribumi. Untuk menjawab tuntutan itu disamping juga karena muncul berbagai desakan untuk meminimalisir penderitaan penduduk pribumi, pemerintah Hindia Belanda secara resmi sejak tahun 1901 melancarkan ethisce Politik Salah satu kebijakan berkenaan dengan diberlakukannya ethische politik itu adalah berdirinya beberapa sekolah seperti tersebut di bawah ini :
1. Tahun 1906, Sekolah teknik (Koning Willem III School) di Jakarta . Sekolah ini untuk mempersiapkan tenaga ahli bangunan an pembuatan jalan.
2. Tahun 1909, Sekolah kehakiman (Recht School) di Jakarta. Sekolah ini untuk memprsiapkan tenaga ahli hukum.
3. Tahun 1912, Sekolah Pertanian (Cultuur School) Mula mula didirikan di Bogor, tapi kemudian pindah ke Sukabumi. Sekolah ini untuk mempersiapkan tenaga ahli pertanian.
4. Tahun 1913, Sekolah Pertanian Menengah (Middelbare Landbouw School) di Bogor. Sekolah ini untuk mempersiapkan tenaga pimpinan pertanian rakyat dan perkebunan.
5. Tahun 1914, Sekolah Dokter Hewan di Bogor.
6. Tahun 1914, Sekolah Pamongpraja (Bestuur School) di Jakarta. Sekolah ini merupakan penyempurnaan dari sekolah calon pegawai pamongpraja yang berdiri sejak tahun 1878. Sekolah ini terutama diperuntukkan bagi para anak bupati.

Secara geografis tentu hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Jawa Barat, karena Jakarta yang pada waktu itu dikenal dengan nama Batavia masih termasuk wilayah Jawa Barat. Disamping itu, tentu saja hal ini memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat karena sekalipun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, melalui perkenalannya dengan dunia pendidikan telah membuka cakrawala berfikir yang lebih luas.
Salah satu dampak yang banyak dirasakan dari terbukanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi adalah meluasnya penggunaan huruf latin. Padahal sebelumnya, yaitu pada abad 19 masyarakat Jawa Barat terutama di kalangan bangsawan lazim mempergunakan aksara Sunda yang berpangkal pada hurup Jawa Mataram atau justru menggunakan huruf Arab yang banyak tersebar penggunaanya di kalangan santri.
Selain itu, tidak lama berselang setelah Pemerintah Hindia Belanda melancarkan kebijakan tadi, di Jawa Barat berdiri beberapa organisasi perjuangan, diantaranya:
1. Indisce Partij, didirikan di Bandung tanggal 25 Desember 1912 dengan tokohnya E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat yang kemudian berjuluk Ki Hajar Dewantara..
2. Pagoeyoeban Pasoendan pada tanggal 22 September 1914 dengan ketuanya Daeng Kanduruan Ardiwinata, seorang putera Sunda keturunan bangsawan Bugis.
3. Perserikatan – yang kemudian pada kongres I diganti dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdiri pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Salah satu tokohnya adalah Ir. Soekarno.
4. Isteri Sedar, didirikan pada tanggal 22 Maret 1930 di Bandung.
Organisasi – organisasi di atas pada dasarnya bergerak untuk membuka peluang merebut kemerdekaan. Pagoeyoeban Pasoendan misalnya, untuk menumbuhkan dan menanamkan kepercayaan diri orang Sunda, sejak pemerintah Hindia Belanda membagi pulau jawa menjadi 3 propinsi pada tahun 1925 mengusulkan agar penyebutan Jawa Barat sebagai terjemaan dari West Java diganti menjadi “Provincie Pasundan”. Usul tersebut ternyata diterima pemerintah, Karena pemerintah rupanya menyadari kenyataan bahwa hampir sembilan puluh persen penduduk Jawa Barat terdiri dari suku Sunda. Secara kenyatan penduduk Jawa Barat memang memiliki kebudayaan, kesenian, adat-istiadat tersendiri yang khas, berbeda dengan daerah lain. Maka resmi pada tahun 1925 digunakan nama “Provincie Pasoendan” untuk Jawa Barat.” Pada waktu itu Jawa Barat terbagi atas 5 keresidenan dan terdiri dari 18 Kabupaten dan 6 stadsgeementen (kotapraja), yaitu :
1. Keresidenan Banten meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Lebak.
2. Keresienan Batavia meliputi Kabupaten Batavia, Kabupaten Meester Cornelis, dan Kabupaten Karawang.
3. Keresidenan Buitenzorg (Bogor) meliputi Kabupaten Buitenzorg, Sukabumi dan Cianjur.
4. Keresidenan Priangan yang meliputi Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis.
5. Keresidenan Cirebon yang meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan dan Majalengka.
Sedangkan Stadsgemeente (kotapraja) terdiri dari enam gemeente, yaitu Batavia, Meester Cornelis, Buitenzorg, Bandung, Cirebon dan Sukabumi.
Sebuah kabupaten dibagi dalam beberapa kewedanan (distrik) yang dikepalai oleh seorang wedana. Tiap distrik dibagi lagi menjadi beberapa kecamatan (onderdistrik) dan dikepalai oleh seorang camat (asisten wedana). Sedangkan satu kecamatan terdiri dari beberapa desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa.
Sekalipun pemerintah Hindia Belanda telah memperkenalkan sistem pemerintah barat yang modern, namun dalam kenyataanya masih tetap menunjukkan feodalisme yang kuat. Sebagai contoh adalah kekuasaan Bupati. “Sistem pemerintahan maupun gaya hidup para bupati merupakan replika raja – raja” (Sofianto, 2001 : 30). Bahkan pada umumnya, pergantian bupati identik dengan yang berlaku pada pergantian raja raja. Apabila bupati meninggal atau karena sesuatu hal harus berhenti maka yang berhak menggantikannya adalah putera sulung atau menantu laki-lakinya.
Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya sejak tanggal 7 Maret 1942 Kepulauan Nusantara hanya dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu :
1. Jawa dan Madura berada di bawah Komando Militer Angkatan Darat Jepang (Rikugun) ke 16 yang berkedudukan di Jakarta.
2. Sumatera berada di bawah Komando Militer Angkatan Darat Jepang (Rikugun) ke 25 yang berkedudukan di Bukit Tinggi.
3. Kepualaun lain selain yang tersebut diatas, berada di bawah Komando Militer Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang berkedudukan di Makasar.
Setelah itu, secara berurutan struktur pemerintahan yang diberlakukan oleh Jepang di Indonesia adalah :
1. Syu (Keresidenan) yang dipimpin oleh seorang syuco (residen)
2. Ken dan Si (Kabupaten dan Kotamadya) yang dipimpin oleh seorang ken (Bupati) atau sico (Walikota)
3. Gun (Kewedanaan) yang dipimpin oleh seorang Gunco (Wedana)
4. Son (Kecamatan) yang dipimpin oleh seorang Sonco (Camat)
5. Ku (Desa) yang dipimpin oleh seorang Kuco (Kepala Desa)
Melihat struktur di atas berarti bahwa kekuasaan tertinggi di daerah adalah Syu yang dipimpin oleh seorang Syuco (Residen). Ini berarti pula bahwa di jaman pendudukan Jepang pemerintahan propinsi yang sudah diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1925 dihapuskan. Pulau Jawa dan Madura, dibagi oleh Jepang menjadi 16 Syu (Keresidenan). Di wilayah yang sebelumnya disebut propinsi Jawa Barat terdapat 5 syu, yaitu Banten Syu, Jakarta Syu, Bogor Syu, Priangan Syu, dan Cirebon Syu. Priangan sendiri terdiri dari 5 Ken dan 1 Si, yaitu Bandung Ken, Bandung Si, Garut Ken, Tasikmalaya Ken, Sumedang Ken, dan Ciamis Ken. Pada masa pendudukan Jepang ini, sekalipun para kepala pemerintahan diangkat dari kalangan Bumi Putera, namun pada dasarnya kekuasaan mutlak sepenuhnyaaa di tangan Balatentara Jepang.
Pada awalnya kehadiran tentara – tentara Jepang dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang akan membebaskan mereka dari kekangan penjajah Belanda. Hal ini diperkuat oleh diperkenankannya pengibaran bendera merah putih, pengumandangan lagu-lagu kebangsaan, disamping bangsa Jepang sendiri yang selalu mengaku dirinya sebagai Saudara Tua bagi bangsa Indonesia.
Perubahan sosial politik baru terasa berubah setelah beberapa bulan Jepang berkuasa. Sikap mereka yang tadinya ramah dan simpatik berubah menjadi kejam dan bengis. Berbagai peraturan berangsur dilahirkan oleh mereka sekalipun bertentangan dengan hati nurani masyarakat. Misalnya adalah keharusan menghormat bendera Jepang Hinomaru, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo sebaliknya mengibarkan benera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan sendiri dilarang. Bahkan lebih dari itu, beberapa upacara diharuskan pula kepada seluruh masyarakat diantaranya upacara makuto yaitu upacara pengheningan cipta atau seikerai yaitu melakukan penghormatan kepada kaisar Jepang Tenno Heika enggan cara menundukan kepala ke arah Tokyo ibukota Jepang.
Setelah mengalami berbagai kekalahan dalam perang di Pasifik tentara Jepang dihadapkan dengan berbagai kesulitan terutama untuk memenuhi kebutuhan personil militer an logistik. Untuk kepentingan itu, maka Jepang merekrut penduduk jajahan disamping menguras sumber daya alamnya. Melalui unit – unit desa terkecil, rakyat diwajibkan mengumpulkan hasil bumi berupa padi, jagung dan buah – buahan. Para petani bahkan dipaksa untuk menanam tanaman tertentu sesuai dengan kebutuhan Jepang. Para penddukuuk juga dipaksa untuk mengikuti kerja Romusha seperti dalam pembuatan lapangan terbang di Cilampeni atau gua – gua pertahanan militer, untuk pembuatan jalan kereta api dan lain lain. Saking menedritanya rakyat saat itu, khususnya di Jawa Barat mengkonsumsi umbi – umbian seperti ubi jalardan singkong seperti sudah menjadi makanan pokok pengganti nasi pakaian dari karung atau karet yang menyebabkan gatal – dan borok
Dalam bidang pendidikan, diawal kedatangan hampir dapat dikatakan bahwa sekolah-sekolah bentukan atau juga warisan pemeritah Hindia Belanda dibubarkan oleh Jepang. Menyusul kemudian sekitar bulap April 1942 sekolah sekolah tersebut dibuka kembali dengan nama Sekolah Rakyat (Kokumin Gokko) dengan lama pendidikan 6 tahun.
Jepang memberlakukan bahwa seluruh sekolah memiliki derajat yang sama dan tidak hanya hak monopoli golongan masyarakat tertentu. Penghapusan dikriminasi alam biang peniikan ini melahirkan damapak yang sangat positif karena seluruh penduduk memiliki kesamaan hak untuk menikmati pendidikan tanpa membedakan satatus sosial. Hanya saja seluruh sekolah sangat ipengaruhi oleh kepentingan tentara Jepang yang pada dasarnya menanamkan kepada seluruh peserta didik untuk mengabdi kepada Pemerintahan Pendudukan Jepang. Hal ini tiaada lain dalam rangka memupuk kesiapan untuk menghaapi perang melawan tentara sekutu dengan semboyan “Asia Timur Raya untuk kemakmuran bersama”.

4. Jawa Barat di Masa Kemerdekaan
Sekalipun Jepang berupaya untuk mnyembunyikan berita tentang malapetaka di negerinya yaitu jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara sekutu, akhirnya berita ini tercium juga oleh bangsa Indonesia, terutama kalagan pemua an terpelajar. Oleh meraka, kesempatan ini tiak disia-siakan dan kerja kerasnya kemudian berbuah dengan berkumandangnya Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Menyusul bergemanya kemerdekaan Indonesia, setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menetapkan Undang undang Dasar (UUD) 1945, dan menetapkan Presdien danWakil Presiden pertama, pada sidangnya tangal 19 Agustu 1945 ditetapkan pembagian daerah Indonesia ke alam 8 Propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
“Menurut Undang – undang No. 1 tahun 1945 Daerah Djawa Barat djadi Daerah Otonom Propinsi dengan M. SUTARDJO KARTO HADIKUSUMO sebagai Gubernur dan berkedudukan di Djakarta…. Pada saat itu Daerah Djawa Barat terdiri dari :
(1). 5 Kota Otonom (Kota2; Djakarta, Bandung Bogor, Tjirebon, dan Sukabumi).
(2). 5 Keresidenan (Keresidenan2 ; Djakarta-Raja, Priangan, Tjirebon, Bogor dan Banten).
(3). 17 Kabupaten (Kabupaten2; Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Tjiamis, Tjirebon, Kuningan, Madjalengka, Indramaju, Purwakarta, Tangerang, Tjiandjur, Sukabumi, Bogor, Serang, Rangkasbitung, dan Pandeglang. (Koordinasi Pembangunan Daerah tingkat I Jawa Barat. TT : 4 – 5)
Sukacita bangsa Indonesia yang telah mengenyam kemerdekaan, ternyata tidak berlangsung lama. Tentara Sekutu yang bertugas melucuti senjata Jepang ternyata membonceng Belanda di belakangnya. Berulang kali pertempuran antara penduduk dengan tentara Belanda akhirnya menyeret warga Bandung untuk bersikap tegas, 24 Maret 1946 Kota Bandung dibumi-hanguskan dan dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api.
Namun demikian, pada bulan Juli 1947 seluruh kota di Jawa Barat berhasil juga dikuasai Belanda. Sejak itu seluruh badan dan lembaga pemerintahan yang dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dihapuskan dan muncul surat keputusan Ltn. G.G. tanggal 11 Juni 1948 No 10 yag berisi bahwa Propinsi Jawa Barat dihapuskan yang bersamaan dengan itu dibentuk pula negara Pasundan dengan Walinegara R. A. A. Wiranatakusuma yang kemudian menjadi salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, atas kegigihan para pejuang, pada tanggal 17 Agustus 1950 Jawa Barat kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Undang-undang No 11 tahun 1950 dan Peraturan pemerintah No 31 tahun 1950 yang mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus tahun 1950 dengan Gubernur Sanoesi Hardjadinata.
Sampai tahun 2000, setelah kurang lebih 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok (1999). Padahal dalam kurun waktu itu telah banyak perubahan baik menyangkut ekonomi, pemerintahan maupun kemasyarakatan.
Dengan lahirnya UU Nomor 23 tahun 2000 tentang Propinsi Banten maka wilayah administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi sebuah propinsi yang terpisah dari Jawa Barat. Propinsi Banten memiliki wilayah yang terdiri dari Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kota Cilegon. Sedangkan Jawa Barat sendiri kini memiliki 16 Kabupaten, 9 Kota dengan membawahi 584 Kecamatan dan 5.201 Desa serta 609 Kelurahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar