Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Menegakan Shalat : Dikdik Dahlan L.

“Permulaan amalan yang akan diperhitungkan di hari akhirat kelak dari seorang hamba ialah shalat. Jika shalatnya baik, baiklah seluruh amalannya, dan jika rusak shalatnya, rusaklah sejumlah amalannya yang lain”. (H.R. Thabrani)

Sesuatu yang akan menjadi prioritas/pertamakali untuk diperhitungkan, dipertanyakan, dipersoalkan dari seorang hamba pada hari qiyamat adalah tentang shalatnya. Apabila shalatnya baik dan benar maka sekalian amalnya yang lain akan baik dan benar. Sebaliknya, apabila shalatnya ternyata tidak beres maka sekalian amalnya pun disinyalir akan berantakan. Shalat, menjadi barometer kesalehan seseorang.
Pantas, apabila Ibrahim as., selalu memohon agar diri dan anak-cucu serta keturunannya menjadi pengabdi-pengabdi Allah yang senantiasa menegakkan kewajiban shalatnya “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku” (Q.S. 14 : 40) Karena itu pula pantas apabila shalat dijadikan tolok ukur keberimanan seseorang, keberimanan yang sebenar-benarnya Mu’minuna Haqqa : “Sesunguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya . Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan-Nya dan ampunan serta rezki yang mulia”(Q.S. 8 : 2-4).
Shalat sebagai manifestasi dzikir kepada Allah dinilai sebagai dzikir yang paling tinggi nilainya dibandingkan ibadah lainya, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lainnya). Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29 : 45). Apabila diasosiasikan sebagai sebuah perniagaan, dalam pandangan Allah, menegakan shalat seperti sebuah perniagaan yang tidak mungkin mengalami kerugiaan : “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (Q.S. 35 : 29). Rasulullah bersabda : “Sekiranya seorang diantara kamu tinggal di tepi sungai, ia mandi lima kali setiap hari, adakah kiranya kotoran yang menempel di tubuhnya ? Beliau berkata : “Maka yang demikian itu serupa dengan mengamalkan shalat, Allah akan menghapuskan dosa-dosanya”. (Abu Daud)
Sebaliknya, orang – orang yang tidak shalat, meninggalkan shalat, Allah akan menimpakan kepada mereka tiada lain kecuali kesesatan. Allah berfirman : “Maka datanglah sesudah mereka , pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu-Nya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (Q.S. 19 : 59). Bahkan Rasulullah bersabda : “Perkara yang membedakan antara kita (kaum muslim) dengan mereka (kafir) adalah shalat. Maka barang siapa yang meninggalkan shalatnya, sesungguhnya ia telah menjadi kafir” (H.R. Amad, Abu Daud, Nasai dan Turmudzi)
Shalat sebagai bentuk peribadatan ritual, ketetapan waktu dan cara serta bacaanya sudah ditentukan dengan pasti (kitaban Mauquta). Ia adalah pembentuk kedisplinan. Dalam kondisi bagai-manapun, seseorang tetap dituntut menegakkan shalat lima waktu sekalipun sambil duduk, berbaring atau hanya sekedar isyarat. Orang yang tertidur, maka ketika bangun dari tidurnya itu kewajiban shalatnya datang, orang yang lupa maka ketika sadar dari lupanya itulah kewajiban shalatnya datang. “Barang siapa yang tidak shalat, maka shalatlah pada saat engkau ingat, tidak ada penebusnya kecuali itu. (H.R. Bukhari).
Shalat, adalah pembentuk kejujuran. Orang yang di tengah-tengah shalatnya mengeluarkan kentut, sekalipun tidak terdengar orang lain, sekalipun tidak tercium baunya, akan tetapi orang itu yakin kalau Allah Maha Mengetahui, dan dengan sukarela membatalkan serta mengulangi shalatnya, itulah kejujuran yang dibentuk oleh shalat, sehingga dengan demikian antara Shubuh sampai Dzuhur ia senantiasa mempertahankan kejujurannya, antara Dzuhur sampai Ashar ia tidak menggasak uang rakyat, uang perusahaan atau menipu kliennya guna mendapat keuntungan yang lebih besar. Demikian pula antara Ashar dengan Maghrib, antara Maghrib dengan Isya bahkan sampai Shubuh menjelang ia tetap jujur dihadapan istri, anak maupun tetangganya.
Sekalipun hanya dilakukan dalam hitungan beberapa menit saja, shalat yang sebenar-benarnya shalat, menuntut kekhusuan yang tinggi. Shalat dianjurkan untuk dilakukan pada awal waktu. Shalat yang dilakukan dengan lalai, baik lalai sebelum maupun ketika melaksanakanya : menunda-nunda, bermain-main, gerakannya tidak tumaninah (tidak sempurna), ngalamun, adalah shalatnya orang-orang munafik, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berusaha menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia , Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali” (Q.S. 4 : 142) Ia menegakkan shalat, tapi ia digolongkan munafik. Ia susah payah shalat tapi ia tidak mendapatkan apa-apa, karena dalam shalatnya ia memang tidak menemukan apapun kecuali rasa payah, capek, dan kesel.
Shalat adalah ibadahnya orang bersih badan dari najis dan hadats, ibadahnya orang yang bersih pakaian, ibadahnya orang yang bersih niat, bersih hati, bersih pikiran. Shalat terlarang bagi orang yang mabuk, orang yang tidak waras, Artinya, mu’min yang meninggalkan shalat adalah mu’min yang tidak waras, hilang akal, gila atau paling tidak, sedang mabuk : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…..” (Q.S. 4 : 43)
Sekalipun shalat adalah bentuk ibadah ritual, tapi bukan berarti orang mukmin harus meninggalkan kehidupan dunia. Sebaliknya, justru shalat harus menjadi tempat pemberangkatan, awal pemberangkatan sekaligus ragi atau jiwa, ruh dan napas kehidupan dunia yang kita upayakan “ Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. 62 : 10).
Mukmin penegak shalat, senantiasa khusu’ dalam ibadahnya tapi tidak meninggalkan kehidupan duniawi. Mukmin penegak shalat senantiasa giat bekerja, meraih keuntungan tanpa menanggalkan kejujuran. Karena itu di balik segala kelemahannya, di balik segala ketamakkanya, di balik segala keangkuhannya, di balik dorongan hawa nafsunya sebagai manusia, orang mukmin senantiasa pandai mengendalikan semua itu melalui penegakkan shalat yang ia tunaikan. Ia selalu optimis, ia tidak kikir, ia tidak pernah berkeluh kesah, dan ia tidak pernah putus asa dari rahmat Allah “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluah kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. 70 : 19 – 22).
Kiranya pantaslah orang-orang yang pandai menegakkan shalat, tutur katanya senantiasa membawa bekas, perilakunya melahirkan wibawa dan keberadannya menjadi panutan dan pemimpin ummat. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol yang Allah berikan dalam shalat berjama’ah. Imam patut diikuti segala gerakannya sepanjang ia melakukannya dengan baik, benar, dan tertib. Ketika Imam melakukan kesalahan karena lupa, maka jama’ah, makmum atau ummat berkewajiban menegurnya, dan sebaliknya, imam pun mesti sadar dan mau memperbaiki kesalahannya. Ketika shalat usai, maka status dan fungsi ke-imaman-nya pun seketika berakhir, karena itu seorang imam tatkala usai mengucapkan salam di akhir shalatnya dianjurkan untuk beringsut kembali menghadap jama’ah. Ini berarti bahwa pangkat, status sosial, jabatan, kepemimpinan semuanya adalah bersifat sementara. Kalau dipercaya ummat, shalat menitahkan untuk menjalankan kepemimpinan itu dengan baik, benar dan tertib, tapi kalau sudah berakhir, sudah selesai, segeralah beringsut dan menghadap jama’ah, adalah simbol dari Allah bahwa kepemimpinan itu tidak selamanya melekat dalam diri seseorang, kepemimpinan itu datang, dan suatu saat harus direlakan pergi atau diserahkan kepada orang lain. Tidak untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar