Abah Uca

Minggu, 18 April 2010

Menghindari Kesombongan : Dikdik Dahlan L.

Di awal surat al Furqan ayat 63 Allah menyebut satu golongan manusia dengan ungkapan Ibadur Rahman, kata majemuk yang terdiri dari kata ‘Ibad dan Rahman. ‘Ibad adalah bentuk jama’ dari ‘abdun yang berarti hamba. Adapun Rahman adalah salah satu asma’ul husna, nama Allah yang Maha Agung yang berarti Maha Pengasih. ‘Ibadur Rahman berarti Hamba – hamba dari yang Maha Pengasih (Allah), sebuah ungkapan yang banyak menanam misteri.
Misteri tersebut akan segera terjawab tatkala membaca kelanjutan ayatnya. Dalam kelanjutan ayat itu, Allah menerangkan tentang ciri - ciri Ibadur Rahman, bahkan sampai meliputi 13 ayat ke depan. Ciri pertama Ibadur Rahman diungkapkan oleh Allah dengan Alladziina yamsyuuna ‘alaa al ardli haunan, yang berarti orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan tulisan ini hanya akan mengupas ciri pertama dimaksud.
Dalam bahasa sehari-hari, ungkapan rendah hati sangat berbeda dengan rendah diri. Rendah hati sangat dianjurkan oleh Allah bahkan oleh keseluruhan ajaran agama, sedangkan rendah diri justru ditentang untuk dimiliki. Rendah diri adalah perilaku yang cenderung menghinakan diri sendiri, tidak memiliki kepercayaan diri dan selalu memupuk serta melestarikan sikap pesimisme. Hal ini ditentang oleh Allah dalam berbagai ayatnya. Justru sebaliknya, dengan bekerja keras, bertawakal, dan sikap optimis Allah menganjurkan untuk senantiasa melahirkan karya-karya terbaik yang bermanfaat, agar mampu memegang kendali di masa depan : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (Q.S. 94 Alam Nasyrah : 7 – 8). Lebih lanjut Allah berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. 59 al Hasyr : 18)
Rendah hati adalah ungkapan yang biasa dipergunakan untuk sikap seseorang yang tidak membanggakan atas apa yang dimiliki, dikuasai, diperoleh maupun jasa yang dilakukannya. Lawan dari sikap rendah hati adalah sombong atau takabur. Sedangkan kesombongan adalah perilaku yang dibenci Allah, bahkan digambarkan oleh Allah sebagai sikap asli yang dimiliki oleh iblis, musuh manusia “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Q.S. 2 al – Baqarah 34). Berbeda dengan Malaikat, mereka justru sebaliknya “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri”.
Manusia, memiliki dua potensi yang secara kebetulan satu dengan lainnya bertolak belakang. Setiap manusia memiliki potensi taqwa, juga potensi fujur-nya. Manusia memiliki potensi untuk berlaku rendah hati juga potensi untuk berlaku sombong dan takabur.
Potensi manusia untuk berlaku sombong dan takabur akan muncul ketika manusia diberi anugerah berupa kenikmatan dan kesenangan.
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”. (Q.S. 17 Al Isra : 83)
Akan tetapi, secara tegas Allah melarang untuk berlaku sombong, sebab kesombongan adalah bentuk lain dari ketidak-jujuran. Tidak jujur mengakui bahwa dirinya tercipta serta lahir dengan proses dan asal kejadian yang sama dengan manusia lainnya. Tidak jujur mengakui bahwa segala kelebihan yang dimilikinya adalah anugerah dari Allah, yang besok atau lusa anugerah itupun bisa dicabut dari genggamannya, beralih kepada orang lain. Tidak jujur mengakui bahwa dirinya memiliki kelemahan. Tidak jujur mengakui bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Kesombongan, juga adalah bentuk lain dari upaya penyiksaan diri. Ketika seseorang berbangga diri atas sesuatu maka sejak saat itu ia harus mempertahankan apa yang dibanggakannya supaya tidak terkalahkan atau tersaingi oleh orang lain. Padahal setiap manusia memiliki keterbatasan masing-masing. Ia akan tersiksa oleh angan-angannya sendiri. Ia pun tersiksa oleh keterbatasannya sendiri. Bahkan hati dan perasaannya selalu dihantui rasa takut dan khawatir oleh sikap dan perbuatannya sendiri.
Kalau pun tidak berakibat menyiksa diri, kesombongan akan berakibat seseorang lupa diri. Merasa bahwa dirinya memiliki kelebihan, ia lengah dengan kelebihan yang dimiliki orang lain yang bukan mustahil suatu saat mengancam eksistensi dirinya. Merasa bahwa dirinya selalu mampu untuk memiliki dan mendatangkan segala yang diinginkannya, yang muncul kemudian adalah sikap malas. Ia berbangga diri dengan kondisinya saat ini, tapi tidak pernah berpikir untuk meraih kehidupan di masa yang akan datang.
Terakhir, ada baiknya untuk mengambil pelajaran dari kisah Nabi Sulaiman. Ia adalah seorang raja sekaligus seorang hartawan. Ia sebenarnya dipandang wajar untuk berbangga diri, tapi ternyata Nabi Sulaiman hanya berkata : “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (Q. S. 27 An Naml : 40)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar